Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Sultan Agung Dan Formula Film Sejarah

Sebuah film dengan niat dan cita-cita besar. Film biopik Hanung yang mulai formulaik.

1 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sebuah film dengan niat dan cita-cita besar. Film biopik Hanung yang mulai formulaik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG lelaki bertubuh menjulang, berlengan kekar, dan wajahnya tertutup bayang-bayang pepohonan itu melangkah perlahan memasuki sebuah padepokan yang luluh-lantak, nyaris tak berpenghuni. Siang itu, puluhan tahun silam, si lelaki mengenang betapa hangat dan gayengnya suasana padepokan tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada masa muda, lelaki itu dikenal dengan nama Raden Mas Rangsang (Marthino Lio). Bersama para pemuda lain, jiwa dan raganya ditempa habis-habisan oleh Guru Ki Jejer (Dedy Soetomo). Di sana pula Mas Rangsang mengenal cinta pertamanya bernama Lembayung (Putri Marino). Dia tidak hanya cantik, tapi juga mandiri dan jago silat seperti kawan-kawan sepadepokannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dan saatnya tiba ketika dua orang lelaki berpakaian bukan kepalang mewahnya datang serta seolah-olah menentukan masa depan pemuda itu. Raden Mas Rangsang yang sehari-hari dikenal santun dan tampan itu ternyata putra Prabu Hanyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati (Christine Hakim). Demi mendengar berita kematian ayahandanya, yang pertama dia lakukan adalah berlari mencari Lembayung untuk berpamitan karena sudah pasti ia akan dijodohkan dengan putri keturunan ningrat.

Itu semua kejadian puluhan tahun silam. Kini padepokan itu luluh-lantak oleh peperangan yang selama ini dia wajibkan, karena "tak akan kubiarkan kita menjadi budak Belanda!".

Adegan film Sultan Agung ini adalah bagian terakhir menjelang usainya film yang berdurasi panjang ini. Sebuah upaya baik dengan niat edukatif karena pelajaran sejarah di negeri ini masih sangat inferior perwujudannya dibanding mata pelajaran lain, terutama pelajaran eksakta. Maka medium film, novel, teater, atau serial televisi menjadi alat jitu untuk membangun pintu gerbang bagi generasi muda yang sangat miskin daya kritisnya terhadap masa lalu tanah air ini.

Karena Sultan Agung diambil dari sejarah Jawa tiga abad lalu, tak mengherankan jika sutradara Hanung Bramantyo tak hanya mengandalkan riset pustaka dan penjelasan para ahli waris keturunan subyek film ini. Dia juga menggunakan daya imajinasi.

Bahwa selalu ada pengkhianatan di dalam "keluarga" akan selalu menjadi kisah sedap. Soal pengkhianatan itu pula yang selalu didengungkan guru sejarah di masa sekolah dasar jika kita mulai bertanya kritis: mengapa Jawa atau bagian mana pun di Nusantara selalu saja bisa dipatahkan pihak Belanda? Bukan hanya senjata mereka lebih canggih, tapi karena di dalam kerajaan pasti saja ada pengkhianat. Bagian ini sebetulnya yang akan jauh menarik dieksplorasi.

Namun Hanung-mungkin menyadari bahwa film silat di Indonesia sedang naik daun-lantas membuka film ini dengan berbagai adegan laga, termasuk Lembayung (yang setelah dewasa diperankan Adinia Wirasti), yang dalam film ini muncul bak seorang Lady Warrior yang seolah-olah datang dari jagat Marvel dan mencelat ke Pulau Jawa. Saya tidak tahu seberapa akurat tokoh Lembayung yang bisa menghantam puluhan lelaki di halaman keraton ataupun di medan perang itu. Bahkan dia lebih paham strategi perang daripada para pemimpin perang yang sudah lelah dan menderita encok setelah berkali-kali kena gempur Belanda itu. Senang? Tentu saja, sebagai penonton perempuan feminis, saya senang melihat tokoh perempuan kuat. Cuma, problem saya adalah, pertama, kalaupun ini sebuah imajinasi atau hasrat Hanung dan para penulis skenario, seberapa jauh imajinasi ini bisa meyakinkan kita yang sedikitnya membaca literatur kultur Jawa abad ke-16 di masa itu. Kedua, alasan "ini kan fiksi, boleh dong saya menggunakan artistic license" adalah pernyataan berharga untuk dikemukakan para kreator. Tapi, sejauh apa pun lisensi itu, para penonton perlu yakin bahwa gabungan "artistic license" dengan narasi sejarah tersebut adalah sebuah jagat yang "memungkinkan" dan masuk akal.

Ini belum lagi kita mempersoalkan kecenderungan Hanung mendramatisasi konflik dan mengobral musik yang suaranya meledak-ledak hampir di setiap filmnya, kecuali Tanda Tanya (2011) dan Catatan Akhir Sekolah (2005), yang memang karya terbaiknya. Misalnya adegan peperangan. Adegan yang menurut saya sudah dibangun dengan baik oleh Hanung itu diselingi drama pertemuan Lembayung dan kakaknya yang sudah lama dicarinya. Lantas, mereka saling mengenang dan tangis-menangis-di tengah riuhnya pertempuran pedang dan hamburan panah, lho. Apa tak bisa tangis-menangis tersebut digusur ke babak lain agar peperangan tidak terganggu oleh reuni keluarga itu?

Lantas, soal musik. Mungkin Hanung perlu merenung kembali apakah scoring tersebut harus selalu meledak seperti itu dan apakah harus berpanjang-panjang. Bukankah keheningan adalah salah satu bagian dari kultur Jawa? Bukankah kesunyian juga merupakan "musik"? Jika film-film biopik Hanung selalu mempunyai tekanan harus ditonton sekian juta penonton sehingga sajiannya menjadi sedemikian formulaik, saya kira para produser dan sineas harus juga menyadari betapa makin cerdas dan kritisnya penonton Indonesia. Mereka ogah disajikan repetisi formula yang sama.

Saya masih tetap ingin percaya pada bakat Hanung yang pertama kali saya saksikan dari film Brownies dan Catatan Akhir Sekolah. Di dalam film-film "kecil", Hanung tampak bersinar. Tak berarti ketika membuat film kolosal, beranggaran tinggi dan megah, Hanung harus tersendat. Ini sekaligus sebuah keinginan menyaksikan film berikutnya yang bukan hanya besar anggaran, tapi diangkat dari karya sastrawan bernama besar di dunia internasional itu dieksekusi dengan baik.

Leila S. Chudori

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus