Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Jejak Taring Babi Besar Sulawesi

Fosil babi besar Sulawesi, yang hidup sekitar dua juta tahun lalu, menjadi koleksi terbaru Museum Geologi. Butuh 32 tahun untuk merekonstruksinya.

1 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Fosil babi besar Sulawesi, yang hidup sekitar dua juta tahun lalu, menjadi koleksi terbaru Museum Geologi. Butuh 32 tahun untuk merekonstruksinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FACHROEL Aziz tampak bersemangat menjelaskan setiap detail fosil kerangka binatang purba endemis Sulawesi di Ruang Patio di sayap timur Museum Geologi Bandung. Koleksi terbaru yang dipamerkan kepada publik mulai Sabtu malam empat pekan lalu itu diidentifikasi sebagai Celebochoerus heekereni atau babi besar Sulawesi. Lebar kerangka babi jantan itu setengah meter dengan tinggi 1 meter dan panjang hampir 2 meter. "Fosil babi besar ini berumur sekitar dua juta tahun," kata Fachroel, bangga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Fachroel, secara umum, bentuk kerangka tubuh babi besar Sulawesi, termasuk kakinya, mirip dengan berbagai jenis babi lain. Yang unik adalah taring atasnya yang besar dan mencuat seperti tanduk kerbau. Taring itu berfungsi sebagai senjata dan pencungkil tanah saat babi mencari makan berupa dedaunan non-rumput dan umbi-umbian. "Ada bekas cungkilan tanah di taring," ujar pria kelahiran Siak Sri Indrapura, Riau, 31 Maret 1946, itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut ahli paleovertebrata yang memimpin penelitian fosil babi Sulawesi tersebut, Celebochoerus heekereni diperkirakan hidup berkeliaran di kawasan hutan lembap, seperti daerah rawa dekat pantai. Perkiraan tersebut bersandar pada fosil gigi buaya dan hiu yang ditemukan di dekat temuan fosil babi Sulawesi itu.

Sekitar dua juta tahun silam, kata Fachroel, Pulau Sulawesi masih tercerai-berai. Daratannya terpotong-potong oleh air laut. Danau Tempe masih berupa lautan sampai sejuta tahun silam. Adapun di bawah kanopi hutan tropisnya, aneka satwa, seperti gajah, kura-kura, babi, juga buaya dan hiu, hidup menyebar.

Fachroel dan timnya mengumpulkan ribuan keping fosil tulang mamalia endemis dalam penelitian mereka di kawasan Lembah Walanae, Sulawesi Selatan. Potongan fosil tidak ditemukan di satu area penggalian, melainkan di berbagai lokasi yang tersebar di Lembah Walanae. Sebagian besar serpihan fosil yang ditemukan itu milik Celebochoerus. Dalam perakitan kerangka, mereka memakai potongan fosil yang paling bagus dan pas.

Para peneliti membutuhkan 32 tahun untuk menyusun fragmen demi fragmen fosil Celebochoerus yang ditemukan melalui penelitian selama 1986-1992 itu. "Penelitiannya memakan waktu lama dan biaya besar," kata Rudy Suhendar, Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, saat membuka pameran khusus fosil fauna endemis Sulawesi bertajuk "Jejak Terpendam dari Lembah Walanae" yang akan berlangsung sampai 11 November 2018 di Museum Geologi.

Menurut Fachroel, keterbatasan sumber daya manusia dan dana membuat kerangka fosil itu menunggu 32 tahun untuk selesai dirangkai. "Secara teori, kalau barang dan modal ada, enam bulan jadi," ucapnya di kantornya, tiga pekan lalu. "Fosil babi besar ini 85 persen asli, selebihnya adalah tambahan supaya lengkap," Iwan Kurniawan, Kepala Museum Geologi Bandung, menambahkan.

Sejauh ini, tercatat ada tiga jenis babi di Sulawesi, yaitu Celebochoerus, yang telah punah, serta babi rusa (Babyrousa babyrussa) dan babi hutan Sulawesi (Sus celebensis), yang masih hidup hingga sekarang. Ketiganya berbeda jenis dan nenek moyang mereka belum jelas diketahui.

Celebochoerus pun unik ketika dibandingkan dengan babi besar di Cina, serta warthog-jenis babi hutan Afrika (Phacochoerus africanus) yang kini masih berkeliaran. Dasar pembedanya terletak pada tengkorak dan taring. Dibanding babi rusa, badan Celebochoerus sedikit lebih besar. "Bentuk gerahamnya juga sama dengan babi rusa," tutur Fachroel.

Dicocokkan dengan babi hutan Afrika, Celebochoerus punya taring serupa. Tapi geraham dan bentuk tengkoraknya berbeda. Fachroel menduga Celebochoerus dan babi rusa adalah keturunan babi di Afrika yang hidup sekitar 10 juta tahun silam pada masa Miosen. Sejauh ini, sebaran fosil Celebochoerus di Sulawesi baru ditemukan di Lembah Walanae.

Masa hidup Celebochoerus diperkirakan 2 juta hingga 300-400 ribu tahun silam (masa Pleistosen). Faktor penyebab kepunahan hewan itu, kata Fachroel, bisa jadi perburuan atau letusan gunung api. "Kami belum tahu pasti karena belum mendapat bukti-buktinya."

l l l

FACHROEL Aziz mulai meneliti fosil fauna mamalia endemis Sulawesi pada 1986 untuk Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi hingga 1988. Instansi itu kini bernama Pusat Survei Geologi di bawah Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Bandung.

Timnya melibatkan tiga anggota staf kantor, yakni Iwan Kurniawan yang kini menjadi Kepala Museum Geologi, Slamet, dan Eko Edi Susanto. Fachroel menggunakan hasil riset pertama pada 1986-1988 itu untuk menyusun tesis doktoralnya di Kyoto University, Jepang, pada 1990.

Sulawesi jadi pilihan karena sudah banyak yang meneliti hewan endemis Jawa. Merujuk pada buku dan hasil riset peneliti Belanda sebelumnya, lembah yang dialiri Sungai Walanae di Sulawesi sampai sekarang terhitung subur sebagai ladang fosil.

Sejarah penelitian mencatat Hendrik Robert van Heekeren sebagai pengumpul fosil makhluk bertulang belakang (vertebrata) di Sulawesi pada 1947. Saat itu, ia sedang melakukan survei arkeologi di Desa Beru dan Sompoh, Kecamatan Cabenge sekarang, di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan.

Lahir di Semarang pada 1902, Bob-panggilan akrab Van Heekeren-adalah ahli analisis ekspedisi prasejarah di Hindia Belanda. Koleksi aneka fosil milik penulis buku populer The Stone Age of Indonesia (1957) itu kemudian diperiksa dan diteliti paleontolog Belanda, Dirk Albert Hooijer. Sepotong taring buntung mencuri perhatiannya.

Taring itu, kata Fachroel, ditemukan di permukaan tanah. Hooijer mempublikasikan hasil riset taring buntung itu pada 1948. Salinan makalahnya, yang disimpan Fachroel, berupa buku tipis berbahasa Inggris dengan gambar-gambar taring. Benda itu lantas diklaim milik babi purba, yang dinamai Celebochoerus heekereni untuk menghormati Bob.

Selanjutnya, dalam serial publikasi pada 1948-1972, Hooijer mendeskripsikan fosil lain yang dikelompokkan sebagai fauna Cabenge, yang juga dikenal sebagai fauna Archidiskodon-Celebochoerus. Fachroel cs melanjutkan riset temuan fosil itu di Cabenge, sekitar 100 kilometer di utara Makassar, sambil mencari kejelasan sejumlah hal, seperti umur dan pada lapisan tanah seperti apa temuan fosilnya.

Fachroel dan timnya sama sekali tidak melakukan penggalian, hanya menyurvei. Lokasinya antara lain di Paroto dan Calio. Di sana, mereka memunguti fosil yang terlihat di tanah dan tebing Sungai Walanae. Fosil temuan terhitung banyak, tapi jumlah spesies masih sedikit. Fosil babi besar sudah mulai didapatkan, begitu pula Elephas (gajah). "Cuma, kami baru nemu giginya, perlu lengkap," ucap Fachroel.

Ragam fauna itu bisa langsung diketahui paleontolog dari anatomi tubuhnya, seperti tulang kaki. "Dari temuan fosil gigi juga bisa dibedakan antara gajah, harimau, dan manusia," tutur Fachroel, yang meraih gelar master di bidang palaeontologi vertebrata dari University of Utrecht, Belanda, pada 1985. Identifikasi awal tersebut baru bersifat umum. Kalau temuan sudah lengkap, spesiesnya baru bisa diketahui.

Kawan sekelas Fachroel ketika mengambil program master di Belanda, Gert Van den Berg, tertarik pada temuan itu. Ahli gajah purba tersebut lantas bergabung. Begitu juga guru mereka di University of Utrecht, P.Y. Sondaar dan John de Vos. Berbekal dana hibah riset dari pemerintah Belanda, tim ini bekerja pada 1989-1992.

Kerja sama riset tersebut melibatkan University of Utrecht dan National Museum of Natural History, yang kini bernama The Biodiversity Centre alias Naturalis di Leiden, Belanda. Tim melakukan penggalian. Sesuai dengan kesepakatan, semua fosil temuan tidak dibawa terbang ke luar negeri.

Di area lembah seluas 5 x 10 kilometer, kata Iwan Kurniawan, mereka menggali tujuh lubang. Masa kerja di tiap lokasi dua-tiga bulan. "Kesulitan menggali di sana adalah berbenturan dengan lahan masyarakat yang berkebun kakao," ucapnya. Tim memberikan kompensasi sewa tanah dan menutup kembali lubang galian.

Ekskavasi itu menjaring ribuan fosil. Sesuai dengan kapasitas tim, yang diidentifikasi hanya mamalia darat. Pada 1992, riset di Sulawesi itu berhenti seiring dengan menipisnya dana hibah. Menurut Fachroel, penelitian fosil ini tak mudah dan banyak masalah. Biayanya terhitung mahal, seperti untuk transportasi, akomodasi, dan upah pekerja. Kendala lain terkait dengan pengurusan izin yang prosesnya bisa sepekan hingga penolakan warga.

Berbekal sisa dana riset di Sulawesi, Fachroel menambahkan, tim kemudian terbang ke Flores, Nusa Tenggara Timur, untuk melakukan penelitian baru pada 1993. Singkat cerita, pada 2014, tim itu menemukan fosil geligi manusia purba di Mata Menge, Flores. Usianya 500 ribu tahun atau jauh lebih tua daripada manusia Hobbit dari Liang Bua di Flores, yang fosilnya yang berusia 13-94 ribu tahun ditemukan pada 2003.

Anwar Siswadi (Bandung)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus