AUSTRALIAN Dance Theatre (ADT) merupakan kelompok tari pertama dari mancanegara yang tampil dalam Jakarta International Festival of the Performing Arts (JIFPA) ke-2 di Gedung Kesenian Jakarta, pekan lalu. ADT menyuguhkan tiga nomor tarian: Let's Do It, Never Mind the Bindies, dan Tu Tu Wha. Ketiganya koreografi Leigh Warren, yang selama 15 tahun (1977-1992) menjadi Direktur Artistik ADT. Let's Do It, yang diiringi nyanyian klasik Cole Porter (dibawakan oleh Ella Fitzgerald), adalah interpretasi Warren atas tari ballroom ala Hollywood tahun 1930-an, yang ditata kembali untuk panggung dan layar perak oleh Fred Astairedan Ginger Rogers. "Untuk dapat menampilkan suasana romantis ceria khas Hollywood, para penari harus menguasai langkah berayun dengan baik dan memendam pemahaman dan keterampilan syncopated timing," ujar Warren. Tarian sosial yang dibawakan oleh empat pasang penari ini anggun, penuh vitalitas, dan mengajak penonton tersenyum mengenang masa silam. Tarian kedua, Never Mind the Bindies, ditarikan oleh enam lelaki tegap yang memakai T-shirt dan celana kombor hitam. Ketika layar terangkat, backdrop dibasuh warna merah dari sudut kiri bawah. Satu per satu penari memasuki panggung mengambil posisi menghadap penonton dalam siluet. Pukulan gendang The Drums of Chaos terdengar satu-satu. Keenam penari bergerak serempak, kuat, dan kontinu, kadang dengan langkah diseret, sering dengan kedua tangan mengepal. Kemudian bloking berubah: 33, 15, dan serempak lagi seiring tabuhan gendang yang semakin cepat dan kuat. Selama 15 tahun memimpin ADT, Leigh Warren telah menemukan gaya tariannya yang khas. Penari ADT bergerak dengan tegangan tinggi dan bagai camar yang haus ruang. Keras dan panas, lembut membuai, kedua tangan terjuntai adalah beberapa ciri geraknya. Warren menggarap tari dengan berani, inovatif, dan cerdas. Tetapi kecerdasan bisa juga merepotkan, terutama bagi penonton yang tak siap. Usai pertunjukan, seorang teman menghambur sambil melapor bahwa ia dapat menikmati dua nomor pertama tetapi sulit mencerna Tu Tu Wha, nomor ketiga. Sebaliknya, seorang penari menganggap nomor pertama biasa-biasa saja, sajian kedua dan ketiga sangat menantang. Tu Tu Wha, yang digarap Warren dengan pendekatan surealis, memang lain dari yang lain. Tutu adalah kostum khas penari balet wanita Wha adalah drama Alfred Jarry yang anarkistis. Tu Tu Wha adalah kritik Leigh Warren terhadap zaman edan yang penuh "schizophrenia" lewat berbagai simbol gerak dan imaji visual yang diakrabi masyarakat Barat. Yang tampil di GKJ adalah sepertiga bagian akhir dari karya seutuhnya dan hanya menampilkan empat karakter utama: Manusia berkepala TV (yang tampil pertama dan mengkritik bahwa kini banyak orang berbuat tanpa tanggung jawab), Tu Tu dan Wha (dua lelaki yang mengenakan Tutu), dan rakyat kelompok penari yang menari dengan gaya dan busana aneka ragam. Tu Tu Wha mengajak penonton merenung dan meneliti bagaimana intuisi manusia kini telah dipisahkan dari intelek. Apakah teknologi kini membantu manusia atau memperbudak manusia? Warren mengajak penonton untuk mendekatkan diri dengan paradigma lama: dunia sebagai jalinan interaksi organis yang ngremit."Bentuk seni memang tak langgeng, tetapi visi atau pandangan seni bertahan lebih lama daripada sebuah rezim politik, sebagaimana Marie Antoinette dan kesenian yang mendapatkan inspirasi dari padanya. Sayang, pandangan kita tentang dunia kini sering hanya menjangkau sejauh pemilu yang akan datang,"ujar Warren tandas. Tu Tu Wha mengharapkan adanya tatanan dan kesadaran baru. Dalam adegan akhir Humpty Dumpty, telurtelur yang menjadi simbol masa depan dan kehidupan manusia yang rapuh, dipermainkan seenak perut oleh politikus dan ahli teknologi. Duapenari wanita memainkan jerapah (sebagai kaki depan dan belakang yang depan memegangi galah dengan kepala jerapah di ujungnya). Di akhir tontonan, jerapah, simbol surealis Salvador Dali untuk alam, terjatuh lumpuh. Dewasa ini, kita tak mampu lagi berpikir jauh dan utuh tentang dunia kita. Dimanakah kekuatan spiritual yang dulu begitu akrab dan selalu membimbing manusia ke jalan yang konstruktif? Dalam usaha merengkuh suatu nilai, kita justru sering menghancurkannya. Pertanyaan cerdas yang ditampilkan secara surealis memang tak mudah dicerna. Sal Murgianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini