MENURUT seorang pengamat mode, mode bisa dimulai dari sesuatu yang tak lazim.Maka, marilah kita tengok pergelaran busana desainer ternama Biyan Wanaatmad jadi Puri Agung Hotel Sahid Jaya, Jakarta, Jumat pekan lalu. Dari 240 baju yang dipamerkannya tak saja berupa rancangan yang "lazim", tetapi juga yang "taklazim" tadi. "Saya selalu tertarik menawarkan sesuatu yang unik," kataBiyan. Yang menonjol, misalnya, pada kreasi rajutan itu. Biasanya rajutan menghias taplak meja atau paling banter penutup tempat tidur. Tetapi Biyan mengubah kebiasaan itu dengan rancangan aneka blus dan rok sensual. Sensualnya tak saja lantaran potongan baju yang serba mencetak tubuh, tetapi juga karena dasarnya rajutan tangan (Biyan tak menggunakan mesin) yang memang menerawang. Sebagai ilustrasi, ada desain yang di sekujur bajunya seperti jala, sedangkan dibagian dadanya hanya tertutup motif bunga. "Ampun, eksotis banget,"komentar seorang penonton, wanita eksekutif. Begitu juga pada rangkaian busana pleats (aksen lipit-lipit mirip kipas) itu. Untuk membuatnya, Biyan menggunakan teknik crushed pleats (pleats remas), teknik baru yang ditemukannya lewat eksperimen berulang kali. Dan hasilnya tidak lagi berupa lipitan yang tersusun rapi seperti lazimnya, melainkan pleats yang terkesan kusut namun elastis. Kelenturan itu ternyata berdaya guna. Pakaian jadi mudah dibentuk dalam bermacam gaya. Dari potongan paling sederhana saja, yakni yang lurus seperti bentuk tabung, misalnya, bisa dibentuk torso atau, kalau mau, bisa juga dipasang miring setengah pundak. Rancangan itu membuat pemakainya tampak feminin, karena bahan itu luwes mengkerut dan mengembang mengikuti kerampingan tubuh. Bermacam gaya dalam satu rancangan memang ciri khas Biyan. Sampai ada yang bilang, pemakai baju Biyan adalah wanita yang kreatif, karena bisa menciptakan sendiri aneka model yang ditawarkan dari satu baju. Biyan tampil lebih ceria tahun ini. Sesuai tema bunga, keriaan taman bak dipindah ke atas catwalk. Ada kelopak bunga bersusun pada busana tembus pandang, wewangian dari lilin di atas meja sampai sorot lampu panggung. Ini juga penampilan Biyan yang tak lazim. Dulu, ia lebih suka tampil "pucat". Hal yang konsisten dilakukannya adalah melakukan eksperimen setiap kali akan mengadakan pergelaran tahunan. Baik desain maupun corak tak lepas dari segala bentuk uji coba. Ini yang membuatnya berbeda dengan desainer lain. Teknik crushed pleats itu, misalnya, baru berhasil setelah tujuh bulan eksperimen. Bahwa ada desainer yang mau bersusah-susah melakukan eksperimen, kata pengamat mode Cynthia, juga tergolong "tak lazim". Sebab, "Eksperimen seperti itu berisiko tinggi. Bagaimana prospek hasil eksperimen itu di pasaran, masih sangat spekulatif." Ini barangkali yang membuat banyak desainer enggan melakukan hal semacam itu. Mereka hanya memikirkan bagaimana cara melariskan dagangannya dan mengabaikan fungsinya sebagai penentu mode. Namun, Biyan agaknya bisa lolos dari risiko buruk tadi. Ini bisa diukur, misalnya saja, dari penonton yang memadat, sampai banyak yang tak kebagian kursi di malam pergelaran. Nama Biyan agaknya sudah menjadi label bergengsi. Biyan, 37 tahun, bukannya tak sadar hal itu. Jika label sudah dikenal, peluang bisnis akan lebih gampang digenggam. Setelah punya counter di Park Mall, Singapura, dan rumah mode di pusat pertokoan elite Pondok Indah, Jakarta, Biyan akan melangkah ke bisnis industri yang serius. Selama ini, katanya, bisnisnya masih home industry, "Banyak permintaan tak tertangani karena keterbatasan tenaga." Ia memang harus cermat melihat saingan. Coba lihat sederet nama perancang top dunia seperti Yves Saint Laurent, Kenzo, atau Emanuel Ungaro, di etalase pertokoan termewah di Jakarta, Plaza Indonesia. Belum lagi aksesori bermerek yang menjadi pelengkap wanita. Mulai dari kaca mata Eitiene Aigner, jam tangan Charles Jourdan, sampai scarf Escada. Maka, kata Biyan, "Absurd kalau saya sampai tak tahu pangsa pasar desainer lokal terancam." Desainer Indonesia memang harus belajar dari nasib film nasional yang megap-megap digilas film impor. Itu sebabnya Biyan, lulusan Muller & Sohn Privat Modeschule Jerman dan London College of Fashion Inggris itu,tak henti melakukan inovasi dan mencoba terobosan bisnis baru. Kini ia tengah berpikir untuk menawarkan franchise. Kreasi Biyan, kata penggemar mode dan pelukis Astari Rasyid, memang indah, sculptural, dan bercita rasa seni, "Maka, kreasinya belum tentu wearable." Tentu bukan berarti cuma indah dilihat dan dipajang. Sri Pudyastuti R.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini