Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Indah tetapi tak terjamah

Tom ibnur menampilkan "tanah bona" dalam pembukaan jakarta international festival of performing arts (jifpa) ke-2 di gkj. kreasi tarian itu diambil dari kepala suku bonai, kampar, riau.

19 September 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TOM Ibnur membuka Jakarta International Festival of the Performing Arts (JIFPA) ke-2 di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Sabtu dua pekan lalu. Selama 30 menit ia menyajikan Tanah Bonai, kreasi tari dari hasil empat kali kunjungannya kehutan Kampar, di tepi Sungai Rokan, Riau. Ia menimba keterampilan dari Ma'en, kepala suku Bonai, yang bersama 200 warganya hidup terdesak di tengah ladang minyak. Ketika layar terangkat, dua penari pria mematung di depan, seorang wanita di tengah belakang. Kedua pria bertelanjang dada dan paha. Rumbai-rumbai warna gelap melingkar di pinggang menutup cawat yang wanita mengenakan tight dan leotard warna kulit dengan rumbai-rumbai serupa. Lampu remang membatas dari atas dan kicauan burung yang bening membawa angan kita ke rimba belantara yang teduh. Dengan posisi berbeda, ketiga penari merentang kedua tangan ke samping bak seekor elang yang waspada memantau dunia di bawah kaki mereka yang pekat tersaput asap. Ketiganya berputar perlahan di tempat. Suara saluang dan vokal pria bergabung dan trio pun memecah renyah. Dari belakang lampu-lampu damar menembus asap. Empat orang memanggul kulam, perangkat upacara dari bambu, mengiring seorang wanita. Kostum mereka sama dengan ketiga penari terdahulu. Gemuruh calempong terdengar, mengiringi empat pasang penari yang sejenak bergerak menirukan kuda mencongklang, lebih sering meniru olang kusambo, elang merah, pahlawan mereka. Gemuruh mesin, buldoser, dan truk menggantikan kicau burung dan riak sungai, sementara pipa-pipa minyak menekan dari atas. Maka elang merah pun menggelepar di tepi Kali Rokan yang semakin pekat dengan minyak. Tom Ibnur membagi garapannya menjadi dua. Pertama menggambarkan perjuangan gigih sia-sia suku Bonai yang mengaku leluhurnya berasal dari Pagaruyuang di Ranah Minang. Kedua, khayal Tom tentang apa yang mungkin terjadi jika anak-anak manusia ini tak lepas dari impitan teknologi canggih. Di akhir tontonan, satu per satu "orang-orang Bonai" terkulai. Tinggal seorang ibu yang digelayuti 16 bocah lelaki cemas, yang semula ria bermain tanpa sadar apa yang tengah menimpa suku mereka. "Bagi penganut matril ini, tak ada anak perempuan berarti kepunahan," tutur Tom kepada saya. Usai pergelaran, saya belajar lebih banyak dari Buku Program yang terlambat datang. "Mungkin orang lain berpikir kami kegelapan dalam hutan lebat. Nyatanya setelah hutan dibuka baru kami merasa kegelapan karena tak tahu harus berbuat apa. Suara kami semakin kecil, semakin tak terdengar karena terkurung pipa-pipa, ladang minyak yang gemuruh, serta truk dan buldoser yang meraung," ujar Ma'en, kepala suku Bonai, kepada Tom. Layar tutup, pemain pun berderet. Karyawan GKJ menghambur dengan bunga-bunga di tangan untuk para artis yang telah dengan apik membuka JIFPA. Tak ketinggalan, Bupati Kampar, Saleh Jasit, beserta istri, naik ke panggung membawa bunga untuk Tom Ibnur, penata tari, dan Hajizar, penata musik yang dimainkan anak-anak ASKI Padangpanjang. Secara insting saya ikut bertepuk bergabung dengan yang lain. Terbayang ditangan saya seuntai anggrek hutan untuk Ma'en dan warga Bonai, yang perjuangannya menjadi inspirasi Tom, yang pada saat yang sama barangkali tengah tidur gelisah di tengah deru teknologi. Tom telah membuka JIFPA ke-2 sambil menggugah nurani kita."Alangkah bagusnya jika orang-orang yang terkalahkan itu juga berada di antara kita kini," pikir saya. "Ah tidak, barangkali justru akan mengganggu kenikmatan pesta," bantah saya sendiri sambil berebut sate di galeri GKJ. Bonai itu seakan terletak di balik kaca: indah tetapi tak terjamah. Dalam usia lima tahun, GKJ telah menggelar 196 grup, lebih dari separuhnya dari mancanegara. Bagian terbesar grup-grup ini tampil dalam JIFPA. JIFPA pertama (Juni-September 1990) menampilkan 31 grup dari 14 negara yang kedua sekarang ini (5 September-30 Oktober 1992) menyuguhkan 24 grup dari 11 negara sahabat. Maka dirasa perlu menyampaikan penghargaan kepada para sahabat: perwakilan dan lembaga kebudayaan asing yang telah berjasa. Ternyata GKJ tak hanya pandai menghargai, tetapi juga banyak mendapat pujian. Tahun ini, World Executive Digest menominasikan GKJ untuk Marketing and Management Award. Gubernur Wiyogo memuji manajemen GKJ yang kini sudah hampir mandiri dan berhasil memberi hiburan dan apresiasi seni kepada penonton dan mendorong seniman Jakarta giat berkreasi. Sepatutnya kita mengucapkan selamat. Sal Murgiyato Ketua Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus