Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sutradara film dari Amerika Serikat membuat film dokumenter tentang Suzzana Martha Frederika van Osch.
Film dokumenter ini menjadi jalan memperkenalkan Suzzanna, yang terkenal sebagai ratu film horor, di kancah internasional.
Film horor Indonesia menjajikan sebagai satu genre yang unik.
JUMAT malam, 8 November 2024, penonton memenuhi salah satu ruang pemutaran film dalam perhelatan Festival Film Dokumenter di Taman Budaya Yogyakarta. Mereka sedang menunggu pemutaran film dokumenter bintang film horor Indonesia paling legendaris: Suzzanna.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Festival film dokumenter itu rencananya memutar Suzzanna: The Queen of Black Magic arahan sutradara dari Amerika Serikat, David Gregory, dalam dua jadwal penayangan. Sebagian besar penonton adalah anak-anak muda yang lahir jauh seusai masa keemasan sang bintang film horor. Rasa penasaran yang membuat mereka tertarik menonton film dokumenter tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum menyapa publik di Yogyakarta, Suzzanna: The Queen of Black Magic tayang di berbagai festival film internasional. Di antaranya Hallucinea Film Festival, Sitges Film Festival, dan Phantasmagoria Horror Film Festival. Film tersebut memenangi penghargaan Best Documentary Feature Film dalam Hallucinea Film Festival di Paris belum lama ini.
Suzzanna: The Queen of Black Magic juga sukses membetot perhatian penonton Festival Film Dokumenter di Yogyakarta yang berlangsung pada 2-9 November 2024. Ruang pemutarannya selalu penuh penonton.
David Gregory membuka film dokumenter berdurasi sekitar 90 menit itu dengan suasana rumah mendiang Suzzanna di Magelang, Jawa Tengah. Suaminya, Clift Sangra, berjalan menunjukkan kamar Suzzanna. Kamarnya penuh baju kebaya favorit sang bintang yang bernama lengkap Suzzanna Martha Frederika van Osch itu.
Clift juga menunjukkan gelas berisi air dan bunga melati. Suzzanna membiasakan diri meminum air dan memakan kembang tersebut. “Dia percaya air dan kembang melati membuat tubuhnya sehat serta awet muda,” kata Clift.
Film lalu bergulir dengan serangkaian kata pengantar dari narator dan wawancara dengan anggota keluarga Suzzanna, yakni Clift dan Kiki Maria, anaknya, serta orang-orang lain yang kerap berinteraksi dengan sang bintang. Di antaranya penata rias Didin Syamsudin serta produser film Gope Samtani, Ram Soraya, dan Shanker R.S.
Ada pula suara sutradara Joko Anwar; pengamat film Hikmat Darmawan; budayawan Achmad Charris Zubair; penulis dan alumnus filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Fala Pratika; serta sejumlah akademikus film, seperti Quirine van Heeren dan Thomas Barker.
Tim film dokumenter juga mewawancarai teman masa kecil Suzzanna dan orang-orang yang dekat dengan keluarganya, seperti Mei Herningsih. Mei adalah anak Ponidah yang dipercaya sebagai penjaga kuburan keluarga besar Suzzanna.
Di sela-sela wawancara itu, sutradara Gregory memasukkan beberapa cuplikan film Suzzanna yang sangat populer di zamannya. Film-film itu menjadikan Suzzanna ikon bintang film horor yang sangat legendaris.
Dalam setiap filmnya, Suzzanna berperan sebagai perempuan yang tak berdaya, diperkosa, dan meninggal. Tapi dia kemudian membalas dendam, membunuh setiap pemerkosanya yang kebanyakan laki-laki berpenampilan necis. Dia melawan pengusaha, koruptor, dan berandal. Tengoklah film berjudul Sundel Bolong (1981) dan Ratu Ilmu Hitam (1981).
Poster Film Petualangan Cinta Nyi Blorong 1986/Dok.Severin Film
Adegan horor dan brutal kerap mewarnai film Suzzanna. Berjulukan “Ratu Film Horor Indonesia”, Suzzanna menjadi ikon dan legenda yang makin berpengaruh dari zaman ke zaman. Poster-poster bergambar Suzzanna beredar dari generasi ke generasi hingga merambah generasi Z. Belakangan, filmnya banyak dibuat ulang ataupun diadaptasi. Misalnya Malam Jumat Kliwon dan Bernapas dalam Kubur yang dibintangi Luna Maya.
Pengaruh Suzzanna tidak hanya dirasakan pencinta film di Indonesia, tapi meluas hingga ke pasar internasional. Teranyar, Severin Films, perusahaan film yang berbasis di Los Angeles, Amerika Serikat, memproduksi film dokumenter Suzzanna: The Queen of Black Magic.
Pendiri Severin Films, yakni David Gregory, Carl Daft, dan John Cregan, bersama Ekky Imanjaya, yang menjadi salah satu ko-produser, menggarap film ini dan menerbangkannya ke berbagai festival. “Fan global Suzzanna ingin tahu seluk-beluk Suzzanna secara mendalam,” ujar Ekky kepada Tempo, Senin, 11 November 2024.
Ekky menjelaskan awal mula pembuatan film ini. Pada 1980-an, dia mengungkapkan, banyak film horor Indonesia yang beredar di luar negeri. Banyak pula distributor film semacam itu, termasuk dalam bentuk cakram serbaguna digital (DVD), dari Indonesia. Sejumlah rumah produksi—salah satunya Severin Films—pun merayakan film-film dan ikon-ikon horor dan kultus (cult) serta film “B” dari seluruh dunia.
Menurut Ekky, Suzzanna memiliki banyak penggemar di luar negeri karena film-filmnya pada 1980-an beredar kembali di pasar luar negeri dan laku keras. David Gregory, Ekky menambahkan, sudah lama sangat menggemari Suzzanna. “Dia bingung kenapa tokoh sebesar itu kurang dikenal di dunia Barat,” ucapnya.
Kebetulan Gregory akan mengedarkan ulang film Sundel Bolong. Karena itu, dia tertarik membuat film dokumenter untuk memperkenalkan Suzzanna di dunia Barat, khususnya di sirkuit film dan penggemar film kultus.
Ekky, yang sudah mengenal Gregory, kemudian bekerja sama. Selain menjadi ko-produser, Ekky membantu dalam wawancara dan komentar audio serta menulis artikel yang menjelaskan alasan pentingnya film ini. Gregory juga berkawan baik dengan produser film seperti Gope Samtani dan Ram Soraya sehingga bisa dengan mudah mendapatkan wawancara dan rekaman video (footage) beresolusi tinggi serta mengatasi masalah hak ciptanya.
•••
YANG paling menonjol dalam penggarapan film dokumenter Suzzanna: The Queen of Black Magic yang berbiaya miliaran rupiah itu adalah pendekatan pengumpulan arsipnya yang serius. Film dokumenter itu dikerjakan selama dua tahun dengan riset mendalam.
Sebagian anggota tim film yang berasal dari Yogyakarta, Magelang, dan Jakarta berburu berbagai video, foto, dan berita tentang Suzzanna. Arsip itu menggambarkan perjalanan hidup Suzzanna sejak lahir, remaja, berkarier di dunia perfilman, hingga menjadi superbintang, juga kehidupan pribadi serta kematiannya yang misterius di Magelang.
Mereka melacak berbagai arsip dari Perpustakaan Nasional di Jakarta yang belum didigitalkan. Tim harus membongkar satu per satu koran yang memuat berita tentang Suzzanna. Selain itu, mereka mesti berjibaku menemui keluarga Suzzanna untuk memperoleh foto-foto lawas. Contohnya foto Suzzanna saat masih bocah, juga potret ibu dan ayahnya, mantri asal Belanda sejak zaman kolonial.
Tim juga harus mengurus lisensi atau hak cipta saat mengumpulkan berbagai dokumen. Mereka bahkan terbang ke Belanda untuk berburu arsip-arsip lawas. Selain itu, mereka melacak poster, foto, dan tabloid dari berbagai kolektor di sejumlah daerah di Tanah Air.
Film ini makin kaya perspektif karena menampilkan konteks sosial-politik tatkala rezim Orde Baru berkuasa. Sentuhan konteks sosial-politik itu tak lepas dari peran Ekky Imanjaya. Ia adalah penulis buku The Real Guilty Pleasures: Menimbangulang Sinema Eksploitasi Transnasional Orde Baru, yang merupakan terjemahan disertasi S-3-nya.
Buku itu memuat tinjauan sejarah sinema Indonesia dengan cara melihat lalu lintas budaya, selera, dan politik. Film itu menarasikan zaman Orde Baru yang penuh sensor. Perempuan pada zaman itu juga digambarkan sebagai pihak yang tidak berdaya dengan tiga area tugas yang paling terkenal, yakni dapur, sumur, dan kasur.
Film-film Suzzanna menjadi metafora bahwa perempuan yang tidak berdaya melawan dengan cara membalas dendam. Sistem hukum saat itu kerap tumpul. Suzzanna dalam film-filmnya selalu menjadi hantu yang kuat karena bisa membalas dendam kepada pemerkosa ataupun orang-orang jahat lain dari kelas menengah. “Suzzanna dalam perannya yang mistis membawa semangat pemberdayaan perempuan,” kata Ekky.
Tidak hanya membawa horor, film-film Suzzanna yang menjumpai penggemarnya dari masyarakat kelas ekonomi bawah berhasil menawarkan humor pada zamannya. Suzzanna digambarkan kerap menakut-nakuti laki-laki kelas ekonomi bawah. Humor-humor yang absurd bersinggungan dengan tukang sate, pedagang makanan, dan penjaga kuburan.
David Gregory dalam siaran tertulisnya menyatakan tertarik membuat film tentang Suzzanna sebagai ikon dan bintang luar biasa dalam sejarah film horor. Film Suzzanna: The Queen of Black Magic, dia menjelaskan, dibuat dengan cara mendekati kehidupan dan karier Suzzanna. Berbekal rasa ingin tahu tentang bagaimana budaya menavigasi film horor, misalnya kepercayaan dan cerita rakyat, Gregory memulai filmnya. Ia ikut blusukan ke desa-desa terpencil yang berhubungan dengan kehidupan Suzzanna selama proses produksi film.
Menurut Gregory, Suzzanna berhasil menjadi bintang horor terhebat, melampaui selebritas yang menjadi ikon baru-baru ini. “Suzzanna antusias menjalankan perannya sebagai aktris yang terus-menerus memerankan monster. Itu unik,” ujarnya.
Antusiasme dan totalitas aktor yang meninggal pada 15 Oktober 2008 saat berusia 66 tahun itu tampak dari wawancara hingga kesaksian keluarga ataupun koleganya. Teman sekolahnya, misalnya, dalam film dokumenter menceritakan Suzzanna yang sejak bocah bertekad menjadi pemain film. Penata rias Didin Syamsudin mengatakan Suzzanna sangat serius menjalani perannya dan penuh keberanian. Contohnya, dia hanya mau menggunakan ular sungguhan yang melilit kepala ataupun tubuhnya.
Menurut penuturan Clift Sangra, Suzzanna adalah orang yang lekat dengan laku spiritual. Misalnya, sebelum bermain film, Suzzanna rutin berpuasa, bermeditasi, dan mendatangi sejumlah petilasan ziarah. Dia juga bertirakat dengan berendam di Umbul Jumprit, mata air dan situs peninggalan era Majapahit di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, serta mendatangi Pantai Parangtritis di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang lekat dengan mitologi Nyi Roro Kidul.
Ada juga bagian cuplikan wawancara Suzzanna di stasiun televisi yang menunjukkan dia menikmati dan menjiwai perannya. “Horor adalah hiburan yang menyehatkan jantung,” tutur Suzzanna dalam video itu.
Yang sedikit mengganggu adalah film ini tidak dilengkapi terjemahan bahasa Indonesia. Misalnya ketika akademikus film Quirine van Heeren dan Thomas Barker menjadi narator. Tapi narasi berbahasa Indonesia dilengkapi terjemahan bahasa Inggris.
Ekky menjelaskan, film itu awalnya ditujukan untuk pasar internasional. Sutradara dan tim dari Amerika Serikat tidak bisa berbahasa Indonesia. Penerjemahan bahasa Indonesia ke bahasa Inggris, misalnya, memperhatikan konteks kemunculan film Suzzanna. Tim produksi film, Ekky menambahkan, sedang membahas rencana penayangan film itu di bioskop supaya pasarnya meluas. “Nanti akan kami lengkapi dengan terjemahan bahasa Indonesia,” ucapnya.
Suasana pemutaran film dokumenter berjudul Suzzanna: The Queen of Black Magic di Festival Film Dokumenter di Taman Budaya Yogyakarta, Ahad, 3 November 2024/Tim Film Suzzanna: The Queen of Black Magic
Staf pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Suma Riella Rusdiarti, menyatakan Suzzanna memang merupakan ikon bintang film horor Indonesia. Hingga kini, dia menambahkan, belum ada bintang film pendatang baru yang bisa menggantikan Suzzanna.
Menurut Suma, film-film Suzzanna menyajikan sesuatu yang “wow” dari segi visual di eranya. Wajahnya menarik, tapi misterius. Dia pun tak pernah didandani jelek, kecuali area matanya yang dihitamkan dan bagian tubuhnya, seperti punggung, yang dibuat berlubang. “Dia punya ambiguitas, jadi sosok yang polos, lugu, murni, tapi bisa jadi iblis atau setan yang jahat,” ujarnya.
Suma mengungkapkan, saat itu film-film Suzzanna selalu ditunggu masyarakat. Orang-orang selalu datang ke bioskop untuk menonton filmnya. Saat itu belum banyak stasiun televisi swasta dan tempat hiburan. Karena filmnya menghadirkan horor dan komedi, banyak orang terhibur.
Suzzanna dan filmnya, Suma menambahkan, juga hadir pada saat yang tepat. Selalu sukses dalam setiap pemutaran film di bioskop, dia pun menjadi ikon bintang horor dan film horor diproduksi terus-menerus. Ketika teknologi berkembang, stasiun televisi swasta mulai marak dan jumlah bioskop makin banyak. Pamor Suzzanna lantas meredup. Film-film yang ia bintangi di akhir masa hidupnya tak sesukses dulu.
Menurut Suma, masyarakat juga menantikan kehadiran Suzzanna secara personal karena dia jarang muncul di muka umum. Rumah Suzzanna di Magelang, Suma mengimbuhkan, selalu wangi karena halamannya disiram dengan air kembang.
Masyarakat juga penasaran dengan sosoknya yang konon sering menjalani laku spiritual, seperti mandi dan minum air kembang, melakukan tirakat atau semadi, serta mengunjungi tempat-tempat petilasan. Suma, yang juga berasal dari Magelang, amat paham bagaimana masyarakat lokal sangat penasaran terhadap sosok Suzzanna.
Suma melihat film-film horor kini masih menggunakan pola atau model yang sama dengan film-film Suzzanna, yakni berorientasi pada tema horor dari Jawa dan banyak menampilkan kejutan yang sifatnya menakut-nakuti.
Padahal, Suma menambahkan, tema horor bisa juga hadir lewat ide, suasana, ambisi, atau sifat jahat yang mengendalikan seperti film horor dari luar negeri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Dian Yuliastuti berkontribusi dalam penulisan artikel ini