Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ratu horor Suzzanna terkenal sejak di era 1980-an.
Pemeranan Suzzanna mempengaruhi film-film horor masa kini.
Film-film Suzzanna juga dibikin ulang dengan bintang baru
“Satenya, Bang!”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
(Suzzanna, Sundel Bolong, 1981)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GENRE horor selalu menjadi bagian penting dalam industri film Indonesia. Sejak film horor pertama, Doea Siloeman Oeler Poeti en Item (1934), genre ini secara konsisten menyumbang kenaikan jumlah produksi dan penonton. Setidaknya ada tiga periode penting dalam perkembangan film horor di Indonesia, yakni horor mistis tradisional (1981-1991), horor legenda urban (2000-2010), dan horor psiko-mistis (2020-sekarang). Meskipun tidak kaku, periodisasi ini dapat dijadikan acuan pembahasan mengenai pergeseran fokus dalam genre horor.
Pada periode pertama film horor Indonesia, puluhan film horor mistis cerita rakyat mendominasi masa emas perfilman nasional. Sebagian besar cerita dipicu kehadiran hantu tradisional, yang merupakan jelmaan arwah yang menuntut balas. Suzzanna menjadi “Ratu Horor” pada masa itu karena filmnya sering laris di bioskop, seperti Sundel Bolong (1981), Nyi Blorong (1982), dan Malam Jumat Kliwon (1986). Bahkan distributor luar negeri seperti Severin Films, Mondo Macabro, Vinegar Syndrome, dan Terror Vision juga mengedarkan beberapa film Suzzanna.
Pada periode kedua, horor legenda urban memicu kebangkitan film Indonesia setelah penurunan jumlah produksi yang signifikan selama dua dekade. Cerita horor pada masa ini menemukan wajah baru, yaitu remaja kota yang penasaran akan kisah legenda hantu. Jelangkung (2001), Ada Hantu di Sekolah (2004), Hantu Jeruk Purut (2006), dan Terowongan Casablanca (2007) adalah sebagian judul yang berhasil menarik minat jutaan penonton kembali ke bioskop Indonesia.
Pada periode ketiga, film horor kembali menjadi magnet bagi pelaku dan penonton film Indonesia, terutama setelah pukulan pandemi Covid-19. Akhir-akhir ini, film horor mengangkat legenda tradisional yang berhubungan dengan kondisi psikologis manusia atau disebut psiko-mistis, yakni kisah horor berkelindan dengan konflik keluarga, sosial, dan trauma pribadi yang ditunggangi campur tangan sosok mistis. Karakter utamanya memiliki sisi baik dan jahat, alur ceritanya berlapis, dan ada ketegangan emosional, bukan hanya cerita linier dan lonjak takut (jump scare). Peran efek visual digital membuat film horor masa kini dapat mengikuti selera penonton internasional. Sebut saja KKN di Desa Penari (2022), Pengabdi Setan 2 (2022), dan Tebusan Dosa (2024).
Meskipun tampak berbeda, jika diselisik lebih dalam, film horor sekarang masih menampilkan “wajah” Suzzanna. Dokumenter Suzzanna: The Queen of Black Magic (2024) arahan David Gregory membahas isu ini dengan basis penelitian yang kuat. Dalam film berdurasi 88 menit itu, penonton diajak menyelami tautan kisah hidup dan kontribusi Suzzanna untuk film horor Indonesia. Melalui penuturan Kiki Maria (anak) dan Clift Sangra (suami), penonton dapat mengikuti kisah dramatis kehidupan Suzzanna yang berujung pada keputusannya berfokus pada genre horor. Adapun sutradara Joko Anwar; Nur Iyan, pengelola bioskop keliling; produser Gope Samtani dan Ram Soraya; wartawan Tedjo Vi; penata rias Didin Syamsudin; serta sejumlah peneliti film membeberkan sisi profesional Suzzanna. Jalinan kehidupan pribadi dan profesional Suzzanna berkembang menjadi mitos penting di antara penonton dan praktisi film Indonesia.
Representasi sosok mitologi seperti Nyi Blorong, Kuntilanak, Sundel Bolong, Jelangkung, Nyi Roro Kidul, dan Ratu Buaya Putih tampak hidup di tubuh Suzzanna. Ia berhasil menghidupkan tokoh-tokoh mistis tersebut melalui kostum, riasan, tata rambut, tatapan mata, wajah dingin, dan gestur dalam film-filmnya. Ia juga melakukan ritual-ritual mistis demi mendalami peran dan terkoneksi untuk mendapatkan izin dari karakter yang diperankannya sehingga dipercaya memiliki energi mistis itu sendiri. Penampilan fisik, akting, dan ritualnya menjadi referensi bagi banyak aktor dan sutradara film horor Indonesia pada periode selanjutnya.
Begitu kuat ikon Suzzanna hingga dibuat dua film reborn-nya, yaitu Suzzanna: Bernapas dalam Kubur (2018) dan Suzzanna: Malam Jumat Kliwon (2023). Film pertama terinspirasi dari Sundel Bolong dan Malam Satu Suro (1988). Adapun film kedua berasal dari Malam Jumat Kliwon.
Film-film Suzzanna juga lekat dengan perlawanan orang-orang yang mengalami ketidakadilan. Mereka adalah kelas bawah yang dirampas haknya oleh kelas borjuasi. Ada pula perempuan yang teraniaya oleh sistem patriarkis. Dalam berbagai perannya, Suzzanna mewakili kemarahan rakyat jelata terhadap ketidakadilan laki-laki. Suzzanna adalah ikon roh perempuan teraniaya yang menuntut keadilan. Maka film Suzzanna disebut sebagai katarsis ketegangan politik kelas dan gender. Dalam situasi stagnasi politik akhir-akhir ini, film horor Indonesia kembali menjadi hiburan rakyat yang mengalami aneka tekanan sosial, keluarga, dan psikologis.
Suzzanna sering digambarkan dekat dengan rakyat jelata, yang tecermin dalam unsur humor absurd yang ia tampilkan bersama para aktor komedi seperti Bokir, Nasir, dan Dorman Borisman. Adegan komedi itu, yang menyerupai segmen goro-goro dalam pewayangan, biasanya menampilkan karakter-karakter dari kelas bawah, seperti petugas hansip, tukang sate, tukang bakso, dan tukang becak. Pendekatan ini tidak hanya menghadirkan sisi humor, tapi juga menciptakan katarsis bagi penonton dari kalangan rakyat biasa. Melalui adegan-adegan ini, mereka dapat menyalurkan kekesalan terhadap orang-orang berkuasa yang korup dan zalim—proyeksi sosial yang sulit diwujudkan dalam kehidupan nyata.
Film Suzzanna pertama kali beredar di bioskop, tapi langkahnya tak terhenti sampai di situ. Selama beberapa dekade film-filmnya beredar di berbagai bioskop keliling yang mudah diakses penonton kelas bawah. Jalur distribusi inilah yang menjadi jalan masuk film horor menjadi genre populer Indonesia. Hingga saat ini, genre horor sangat digemari penonton kelas C dan D yang menyesaki bioskop kabupaten. Sementara itu, penonton kelas A dan B mulai melirik film horor sebagai tontonan hiburan melalui layanan digital. Pendek kata, genre horor menjadi film yang paling populer di Indonesia.
Tiga dekade setelah masa kejayaannya, “wajah” Suzzanna masih tampak jelas. Sebagai ikon horor, ia berhasil memperkuat kedekatan penonton Indonesia dengan film lokal dan menginspirasi para sineas untuk mengembangkan genre ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Dyna Herlina Suwarto, anggota Kajian Film Indonesia