Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Tafsir Halal Hubungan Intim tanpa Nikah

Disertasi mahasiswa Universitas Islam Negeri Yogyakarta menyimpulkan hubungan seksual tanpa nikah tidak melanggar hukum Islam. Akhirnya direvisi karena menuai kontroversi.

7 September 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setumpuk kitab yang menjadi rujukan sudah disiapkan Abdul Aziz saat menerima Tempo, Rabu, 4 September lalu. Pengajar mata kuliah Hukum Perkawinan Islam di Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Surakarta, Jawa Tengah, ini mendadak sontak terkenal karena disertasinya mengajukan konsep hubungan seksual di luar pernikahan yang tidak melanggar hukum Islam. “Kitab Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh karya Muhammad Syahrur ini sumber utama disertasi saya,” kata Aziz di rumahnya di kawasan Colomadu, Karanganyar, Jawa Tengah.

Aziz membuka halaman kitab yang sudah ditandai dan membaca ayat tentang milk al-yamin. Ia fasih membaca ayat-ayat Al-Quran yang ditafsirkan intelektual muslim liberal asal Suriah, Muhammad Syah-rur, itu. Mengenakan sarung dan baju koko, Aziz lantas membuka disertasi kontroversial yang berwujud buku dengan sampul bergambar wajah Muhammad Syahrur. -Judulnya: “Konsep Milk Al-Yamin Muhammad Syahrur Sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non Marital”.

Disertasi yang bisa dipertahankan Aziz dalam sidang doktor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, pada 28 Agustus lalu itu menuai kontroversi. Ada yang mencaci, ada pula yang mendukung. Sebagian menuding Aziz mendukung -legalisasi hubungan seksual atau zina. Perundungan berupa caci maki, misalnya menyebut Aziz dan keluarganya murtad, dikirimkan ke nomor WhatsApp dan akun media sosial Aziz.

Aziz semula mempertahankan disertasinya di tengah tekanan publik. Belakangan, dia menandatangani surat pernyataan tertanggal 3 September 2019 yang isinya meminta maaf kepada umat Islam karena telah membuat resah. Surat pernyataan itu dibuat bersama penguji disertasi UIN Sunan Kalijaga. “Minta maaf demi kemaslahatan, agar tak gaduh,” ujarnya.

Aziz tertarik mengangkat tema tersebut karena ia melihat kesenjangan teori tentang hubungan seksual dalam pernikahan dengan di luar pernikahan dalam fikih. Tradisi hukum Islam hanya mengakui hubungan seksual pernikahan yang legal. Kesenjangan itu, kata dia, memicu kriminalisasi terhadap orang-orang yang dituduh melakukan hubungan seksual di luar pernikahan, terjadinya eksploitasi seksual, dan munculnya perdagangan manusia.

Soal kriminalisasi, Aziz mengambil contoh penggerebekan di rumah atau hotel serta pemberlakuan peraturan daerah syariah di beberapa daerah. Dia prihatin terhadap maraknya kriminalisasi itu sehingga mencari alternatif solusi. “Melihat studi Islam untuk menjawab persoalan melalui fikih alternatif,” ucapnya. Ternyata Aziz menemukan konsep milk al-yamin dari Syahrur. 

Menurut Aziz, milk al-yamin yang -Syahrur maksudkan punya arti kepemilikan tangan kanan atau budak pada zaman dulu. Seiring dengan perkembang-an zaman, perbudakan dihapuskan. -Syahrur kemudian mendefinisikan milk al-yamin sebagai hubungan yang bersifat sukarela antara laki-laki dan perempuan yang keduanya dewasa dan berakal sehat. “Tujuannya untuk hubungan biologis, bukan untuk berkeluarga dan berketurunan,” tutur Aziz.

Syahrur, kata Aziz, menggunakan sejumlah persyaratan milk al-yamin, di antaranya ketulusan kedua belah pihak, kesepakatan bersama, dan tidak boleh saling menyakiti seperti halnya hubungan pernikahan. Bedanya, sementara pernikahan punya tujuan membangun keluarga dan berketurunan, konsep milk al-yamin bertujuan hanya untuk kebutuhan biologis.

Disertasi itu mendapat kritik dan -masukan dari penguji. Mereka menilai Aziz kurang menyorot sisi hermeneutika atau subyektivitas Syahrur sebagai penafsir milk al-yamin. Tradisi, lingkungan, latar pendidikan, serta kondisi sosial dan politik mempengaruhi bagaimana Syahrur menafsirkan sesuatu. Syahrur, misalnya, mencontohkan Prancis yang menerapkan konsep milk al-yamin. Penguji menilai Aziz tak mencantumkan tradisi masyarakat Prancis tersebut.

Aziz mencantumkan gambaran tradisi masyarakat di negara-negara sekuler secara umum di bagian lampiran. Sejumlah negara di kawasan Eropa, menurut dia, menerapkan milk al-yamin, misalnya menem-patkan hubungan seksual di luar nikah setara dengan hubungan seksual dalam pernikahan. Negara mencatat agar anak-anak hasil hubungan intim di luar pernikahan mendapat perlindungan, yakni pemenuhan hak-hak.

Di Indonesia, Aziz menyebutkan, contoh tradisi yang menghormati hubungan seksual di luar nikah ada pada masyarakat Samin. “Terdapat tradisi magang kawin sebagai landasan untuk memutuskan keab-sahan perkawinan. Tapi banyak yang tidak mau menerima realitas itu,” ucap Aziz.

Pemikiran Syahrur itu mendapat perlawanan keras dari para ulama. Mereka -menganggap Syahrur tidak punya otoritas menafsirkan Al-Quran karena dia berlatar pendidikan teknik. Pertentangan itu, misalnya, datang dari Yusuf Qardhawi. Tapi, di kalangan pemikir Islam liberal, Syahrur mendapat tempat. Salah satu intelektual yang mendukung adalah Wael B. Hallaq. Teori-teori Syahrur juga diajarkan dalam mata kuliah pemikiran Islam kontemporer di kampus di Indonesia, termasuk di UIN Sunan Kalijaga.

Di mata Mun’im Sirry, sejarawan agama asal Madura yang kini menjadi pengajar di University of Notre Dame, Amerika Serikat, Syahrur punya otoritas dalam menafsirkan teks Al-Quran karena dia setia melakukan kajian teks Al-Quran. “Konsep otoritas telah mengalami perluasan makna atau keberagaman seiring dengan perkembangan zaman,” kata Mun’im menjawab -pesan WhatsApp Tempo, Jumat, 6 September lalu.

Menurut Mun’im, Syahrur punya metode atau pendekatan yang disebut defami-liarization atau mendekonstruksi hal-hal familiar yang ada dalam teks Al-Quran. “-Syahrur punya metode yang unik karena menafsirkan Al-Quran sesuai dengan konteks, seolah-olah Al-Quran turun di abad ke-21,” ujarnya. “Ihwal milk al-yamin yang menurut ulama klasik sudah tidak relevan karena penghapusan perbudakan, -Syahrur punya tafsir sendiri.”

Mun’im menyebutkan wajar disertasi Aziz dianggap kontroversial karena berbicara tentang hal-hal yang tidak umum atau baru. Dia menilai perdebatan yang muncul di media sosial dan media massa masih kondusif. “Dalam perdebatan itu, orang boleh saja tidak setuju. Tapi seharusnya mereka menyampaikan di level pemikiran intelektual melalui pemikiran tandingan,” kata Mun’im.

Ulama tafsir Indonesia, Quraish Shihab, menolak ikut-ikutan berpolemik soal disertasi Aziz. Menurut penulis Tafsir Al-Mishbah ini, cukuplah Majelis Ulama Indonesia yang menanggapi. Namun Quraish, yang juga mantan Menteri Agama, menga-takan sebenarnya tidak ada kontroversi soal hubungan seksual di luar pernikahan. “Saya kira karena tidak satu pun agama di dunia ini yang menyetujui perbuatan itu,” ujarnya menjawab panggilan telepon Tempo pada Rabu, 4 September lalu.

Delapan penguji disertasi meminta Aziz merevisi bagian subyektivitas Syahrur secara komprehensif. Promotor yang juga penguji disertasi, Sahiron Syamsuddin, menyebutkan penafsiran Syahrur terhadap ayat-ayat Al-Quran tentang milk al-yamin cukup problematik. “Masalahnya terletak pada subyektivitas penafsir yang berlebihan, dipengaruhi oleh wawasannya tentang tradisi, kultur, dan sistem hukum keluarga di negara-negara lain,” ucap Sahiron. “Subyektivitas yang berlebihan memaksa ayat-ayat Al-Quran agar sesuai dengan pandangannya.”

Penafsiran yang tepat atas ayat-ayat Al-Quran, kata Sahiron, memperhatikan makna historis dan pesan utama ayat serta signifikan untuk konteks kekinian. “Persoalan penafsiran Syahrur terhadap ayat-ayat milk al-yamin terletak pada keenggan-an memperhatikan makna historis kata atau pesan utama ayat itu,” ujarnya.

Sahiron menjelaskan, pesan utama istilah milk al-yamin atau ma malakat aymanukum pada abad ke-7 yang disebut budak itu bukan hubungan seksual atau kebutuhan biologis sebagaimana yang Syahrur pahami, melainkan kemanusiaan. Menurut dia, ada dua pesan utama ayat-ayat milk al-yamin. Pertama, memberikan kesadaran secara implisit kepada manusia tentang kehidupan budak yang nestapa dan, kedua, menanamkan kesadaran untuk mengatasi problem perbudakan saat itu.

DODY HIDAYAT, SHINTA MAHARANI (SURAKARTA)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus