Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGAIMANA membuat musik untuk film yang bertema kematian? Itulah tantangan yang dihadapi Hanoi Philharmonic Orchestra saat mengiringi film bisu Der mude Tod (kematian yang melelahkan) karya sutradara Jerman, Fritz Lang (1890-1976).
Film-film bisu karya Fritz Lang memang selalu menarik ditafsirkan secara musikal. Ini bukan pertama kali di Jakarta—sebuah pertunjukan musik langsung mengiringi film Fritz Lang. Pada 1997, Goethe Institut pernah menghadirkan Aljosha Zimmerman, pianis terkenal spesialis pengiring film bisu, untuk ”menginterpretasikan” film Metropolis karya Lang. Pada 1993, Goethe juga pernah menghadirkan orkestra Trio Murnau pimpinan Berndt Heller untuk mengiringi film bisu karya F.W. Murnau dan Ernst Lubitsch.
Tafsir Hanoi Philharmonic Orchestra malam itu adalah hasil komposisi sang dirigen: Pierre Oser. Oser tinggal dan bekerja di Muenchen. Sudah 20 tahun, lulusan Konservatori Richard Strauss di Muenchen ini menciptakan musik untuk film bisu. Ia menuai pengakuan berbagai festival internasional dan gedung konser dunia. Ini pertunjukan kedua Der mude Tod di tangan Oser, setelah Hanoi. Sebelumnya, Oser juga terlibat membuat komposisi untuk karya Lang yang lain, seperti Metropolis (1927). Adapun film bisu lain yang pernah digarapnya: Nosferatu (1921/22) dan Tartuff (1925) karya F.W. Murnau dan Orlacs Hande (1924).
Tersebutlah sejoli perempuan (Lil Dagover) dan laki-laki (Walter Janssen). Mereka berciuman secara hangat. Dan muncullah sosok tinggi, bertopi, dan berjubah hitam dengan wajah bak tengkorak (Bernhard Goetzke). Sosok bak tengkorak ini membunuh kekasih perempuan dan membawanya ke kuburan. Sang perempuan berlutut dan memohon. Ia meminta kepada Kematian agar kekasihnya dikembalikan.
”Bisa saja,” kata sang Kematian, ”asalkan kau bisa mencegah tiga nyawa melayang.” Dan tiba-tiba adegan film menjelma jadi seperti film surealis. Sang perempuan terlempar pada kisah sama di tiga lokasi berbeda: Bagdad, Venesia, dan Beijing. Fritz Lang di sini melucu dengan menampilkan adegan ahli nujum, karpet terbang, dan pagoda yang berubah menjadi gajah.
Hasilnya tetap sama. Kematian tak bisa dicegah. Dan perempuan itu belajar bahwa mereka yang miskin, sakit, dan tua pun tak mau mati. ”Tak satu hari pun, tak satu jam pun, tak satu napas pun!” mereka berteriak—dalam teks.
Sungguhpun kematian menjadi ikon dalam film ini, musik Oser menyala dan berbicara terbatas pada tokoh sentral, sang perempuan belaka. Musik baru bergairah saat adegan sang perempuan terenyak dengan mengangkat alis setinggi-tingginya, menangis, melolong, atau cekikikan, selebihnya datar. Bila penonton tak berusaha melihat 25 orang pemusik dengan alatnya masing-masing di bagian bawah panggung, musik yang dibawa Hanoi Philharmonic Orchestra itu sekilas terdengar seperti rekaman saja.
Tony Prabowo, komposer kontemporer, berkerut juga dahinya saat menilai sejumlah bagian yang terkesan datar ini. ”Memang terlampau klasik, agak membosankan,” katanya. Menurut Tony, mestinya Oser bisa lebih banyak menggunakan gaya ekspresionis—embrio film noir pada 1940-an—sebagaimana spirit Lang. Oser bisa lebih mendekatkan diri pada setting tahun 1920-an, suatu masa dengan semangat dan gairah yang meledak-ledak, sebelum Eropa terbelah oleh perang. ”Misalnya Oser bisa menggunakan free jazz,” kata Tony.
Sebelum pertunjukan, Oser mengeluh tentang panggung di Jakarta ini. ”Kami agak kesulitan mengatur panggung. Biasanya kami main di atas panggung, sementara film diputar di layar di belakang kami,” katanya kepada Tempo. Oser menunjuk bahwa panggungnya tak terlalu tinggi, sehingga jika mereka tetap berpentas di atas, penayangan film akan terhalang. Akibatnya, mereka harus main di bawah dengan area yang sempit. ”Jadi agak repot, tapi tak apa,” kata Oser.
Tapi, tampaknya, soal panggung itu bukan alasan. Seperti dikatakan pengamat musik Arjuna Hutagalung malam itu, ”Ini persoalan musik, bukan persoalan sinema.”
Kurie Suditomo, Bunga Manggiasih
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo