Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tafsir Sengkuni Cak Nun

Teater Perdikan mementaskan lakon Sengkuni karya Emha Ainun Nadjib. Tafsir berbeda atas kisah Sengkuni.

18 Januari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pentas Teater Perdikan dalam Sengkuni 2019 di Concert Hall Taman Budaya Yogyakara, 12 Januari 2019. TEMPO/Pito Agustin Rudiana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENGKUNI (dimainkan aktor Joko Kamto) mendekap ketiga saudaranya yang berpakaian serba putih. Sengkuni bersiap memutilasi mereka satu per satu dengan tombak pendek yang selalu dibawanya, sebelum dia menyantapnya. Kondisi kepepet yang membuat Sengkuni harus memakan daging 99 saudara berikut ayah-ibunya itu muncul gara-gara kerajaan ayahnya, Gandhara, diserang Kerajaan Astinapura. Mereka dipenjara dan hanya diberi jatah satu butir nasi per hari. Sudah dipastikan mereka akan mati.

Lalu para anggota Kerajaan Gandhara menggelar sayembara. Barangsiapa bisa memasukkan benang ke dalam tulang, dialah yang berhak hidup dengan memakan jatah saudara-saudaranya. Dan Sengkuni pemenangnya. Cuplikan kisah pementasan Teater Perdikan berjudul Sengkuni 2019 di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta pada 12 Januari malam lalu itu adalah salah satu gambaran sosok Sengkuni di mata penulis naskah, Emha Ainun Nadjib. Cak Nun—panggilan akrab Emha—menafsirkan kisah tentang asal-muasal “penderitaan” Sengkuni yang membuatnya menjadi lalim kepada rakyatnya sendiri. Menurut Cak Nun, kisah Sengkuni karyanya itu sedikit berbeda dengan cerita umum yang beredar di masyarakat. Simaklah siapa itu Sengkuni dalam narasi awal pementasan.

“Apa Sengkuni? Sengkuni itu darah kotor di dalam diri manusia. Sel kanker ganas dalam darah setiap kumpulan masyarakat dan negara manusia. Siapa Sengkuni? Siapa yang dalam dirinya tak ada bakteri Sengkuni? Apa ada politisi yang bukan Sengkuni? Para Sengkuni pengendali negara saling menuding Sengkuni satu sama lain. “

Joko Kamto memerankan Sengkuni sekaligus menjadi narator dengan asistennya, Katib (diperankan Eko Winardi). Sengkuni dikisahkan memprotes semua stigma licik yang ditimpakan kepadanya. Dia menuding Raja Kerajaan Dwarawati Prabu Kresna, dari pihak Pandawa, tak kalah licik.

Perang Baratayuda siapa biang keroknya? Saya usahakan perang batal. Tapi siapa yang canggih mempengaruhi Arjuna melepas anak panah dan menyuruh menjalani- peperangan? Siapa dalang Baratayuda, Sengkuni atau Kresna?”


 

“Apa Sengkuni? Sengkuni itu darah kotor di dalam diri manusia. Sel kanker ganas dalam darah setiap kumpulan masyarakat dan negara manusia. Siapa Sengkuni? Siapa yang dalam dirinya tak ada bakteri Sengkuni? Apa ada politisi yang bukan Sengkuni? Para Sengkuni pengendali negara saling menuding Sengkuni satu sama lain.“

 


 

Dalam pementasan malam itu juga digambarkan suasana ingar-bingar menjelang pesta demokrasi. Hal itu tergambar dari kekhawatiran Pak Kandek (dimainkan Novi Budianto), ayah Bagus, yang akan mencalonkan diri menjadi pejabat nasional.  Pak Kandek khawatir anaknya membutuhkan biaya tinggi untuk menjadi pejabat nasional. Bagus mesti mendapat bantuan orang kaya untuk membiayai pencalonannya. Setelah terpilih, Bagus harus mengumpulkan duit untuk membayar utang kepada orang kaya itu. “Ya, kalau berhasil. Kalau gagal, Bagus akan jadi orang gila yang jalan-jalan telanjang. Saya dan ibunya kalau enggak mati ngenes, ya, mati nggeblak!” teriak Pak Kandek dengan tubuh jatuh telentang di atas bangku-bangku.

Lalu, pada babak lain, ada cerita Sengkuni di mata kalangan milenial yang kurang peduli terhadap soal politik. Dari jagat media sosial mereka tahu Sengkuni, yang diidentikkan dengan hoaks dan ujaran kebencian. “Semua orang ngomel-ngomel. Tahun ini benar-benar tahun Sengkuni,” kata mereka.

Meski durasi pementasan hampir tiga jam malam itu, mayoritas penonton tak meninggalkan bangku. Sutradara Jujuk Prabowo menyajikan dialog penuh guyonan satire. Juga musik, tarian modern, dan sorot lampu warna-warni yang memberikan jeda. Panggung pun dibuat luas tanpa banyak pernak-pernik. Hanya belasan bangku kayu yang setiap babak berganti dan bisa disusun menjadi meja-kursi di beranda rumah Pak Kandek, menjadi bangku-bangku kafe, menjadi panggung bagi Bagus untuk melatih pemaparan visi-misi.

Namun sejumlah adegan kedodoran dalam pementasan malam itu, seperti kurang kompaknya beberapa pemain saat menari dan meneriakkan yel-yel serta bersahut-an dalam dialog pendek. Jujuk mengakui, dalam persiapan pementasan selama empat bulan, mayoritas pemain bukanlah penari ataupun pemain teater. Mereka adalah teman-teman yang dia kenal, yang suka guyon, guyub, dan ingin ikut bermain. Mereka suka berkumpul di Kadipiro, Yogyakarta, lokasi kediaman Cak Nun yang sarat dengan agenda budaya. Jujuk berencana melanjutkan pementasan Sengkuni 2019 ke Malang, Surabaya, lalu Jakarta. Tentu sebelum pemilihan presiden.

PITO AGUSTIN RUDIANA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus