Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

IGGI bubar, Binnenhof pun terkejut

Ada 3 permintaan pemerintah Indonesia dalam surat pernyataan yang dikirim ke Belanda. bantuan Belanda dinilai sebagai alat intimidasi. Reaksi dari pemerintah Belanda.

4 April 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERDANA Menteri Belanda Ruud Lubbers barangkali agak terganggu makan siangnya, Rabu pekan lalu. Di kantornya di Binnenhof -- bangunan antik di Den Haag yang berarsitektur Gotik yang dibangun di abad pertengahan -- sepucuk surat disampaikan oleh Dubes RI Bintoro Tjokroamidjojo. PM Lubbers yang menerima surat itu kabarnya tersentak. Ada tiga permintaan yang dilayangkan Jakarta ke alamat Belanda yang sudah 25 tahun berperan sebagai ketua Intergovernmental Group on Indonesia (IGGI). Yaitu: * Menghentikan pencairan (disbursement) semua bantuan Belanda kepada Indonesia, baik yang berupa pinjaman maupun hibah. * Tidak lagi menyiapkan bantuan baru untuk Indonesia. * Tidak lagi menyelenggarakan sidang IGGI. Sepanjang sejarah Orde Baru, inilah keputusan paling berani yang diambil pemerintah Indonesia. Karena otomatis IGGI, penyumbang US$ 4.755 juta atau sekitar 16% dari APBN 1992-93, dianggap bubar. Tak heran kalau dikabarkan bahwa PM Lubbers sampai menarik dalam-dalam urat dahinya ketika membaca surat yang diteken oleh Menko Ekuin Radius Prawiro 24 Maret 1992. Di Jakarta, berbeda enam jam dengan waktu Den Haag, Rabu malam itu ada acara buka puasa untuk wartawan di Gedung Sekretariat Negara. Namun, sampai waktu buka puasa tiba, tuan rumah Menteri Moerdiono belum juga muncul di aula lantai tiga. Wartawan pun mulai menebak: akankah keluar pengumuman baru tentang perdagangan cengkeh dan jeruk yang lagi kacau, tentang dilepasnya kebijaksanaan uang ketat alias TMP, atau masih ada lagi buntut penanganan peristiwa Dili? Sampai dua jam berlalu, pada pukul 20.15 baru sang tuan rumah muncul. "Sori ya, saya belum selesai, sampai nggak sempat makan," kata Moerdiono. Ia didampingi oleh Menlu Ali Alatas, Menko Ekuin Radius Prawiro, Menteri Negara Ketua Bappenas Saleh Afiff, dan Menteri Keuangan Sumarlin. Empat menteri ini, konon, sejak siang juga sudah keluar-masuk ke kamar kerja Presiden di Bina Graha. Pengumuman untuk pers Indonesia rupanya sengaja diulur-ulur. "Itu untuk meyakinkan kami bahwa surat untuk Menlu Belanda yang sedang berada di Helsinki sudah diterima. Dan baru saja Pak Ali menerima konfirmasi," kata Moerdiono. Dia menjelaskan, atas perintah Presiden, siang harinya keputusan sangat penting ini sudah pula disampaikan kepada pimpinan DPR. Lalu petangnya diberitahukan kepada pimpinan parpol dan Golkar. Malam itu juga secara terpisah sejumlah koresponden asing hadir di Kantor Menko Ekuin di Jalan Lapangan Banteng Timur. Dalam edaran pers yang dibagikan pada awal pertemuan di Sekneg, antara lain disebutkan bahwa "Indonesia menolak bantuan Belanda dan minta agar Belanda tidak lagi menjadi Ketua IGGI." Tak lupa disebutkan dalam surat itu, "Indonesia tetap akan membayar kembali pinjaman dari Belanda beserta bunganya secara penuh dan tepat pada waktunya." Seraya mengucapkan terima kasih atas peran dan jasa Belanda selaku Ketua IGGI selama 24 tahun, disebutkan pula". . . hubungan antara kedua bangsa akhir-akhir ini merosot dengan tajam sebagai akibat penggunaan bantuan Belanda secara semena-mena sebagai alat intimidasi atau alat untuk mengancam Indonesia." Diingatkan, "Kedua bangsa telah menggalang usaha luar biasa untuk membangun hubungan di atas puing-puing peninggalan sejarah yang sangat menyakitkan sebagai akibat penindasan penjajahan di luar batas kemanusiaan selama berabadabad, maupun sebagai akibat kekejaman yang biadab yang dilakukan oleh angkatan perang penjajah pada waktu perang kemerdekaan, kurang dari lima puluh tahun yang lalu." Pemerintah berharap, "Dengan tidak adanya sama sekali bantuan Belanda kepada Indonesia, maka juga tidak ada sama sekali penggunaan bantuan Belanda sebagai alat untuk mengancam Indonesia. Akibatnya, hubungan antara kedua bangsa menjadi lebih baik, dan pemerintah Belanda tidak lagi ditempatkan pada posisi yang sulit." Agaknya, pemakaian kata "penindasan penjajahan", atau "kekejaman yang biadab" ini menunjukkan betapa Indonesia memang murka atas tindakan Belanda yang dianggap suka mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Namun, secara berseloroh, Menko Ekuin Radius Prawiro, ketika ditanya mengapa isi surat itu begitu keras, menjawab, "Ya, itu bisa saya mengerti, he he . . .. Ini kan bukan surat cinta." Tentang kata "penjajah", penjelasan datang dari Mensesneg Moerdiono. "Lo, kenapa mereka dulu menjajah kita, dong. Kita berhak ngomong begitu. Kita hanya ingin menunjukkan, ingin mengingatkan, bahwa kita dengan susah payah dan dengan kemauan keras untuk membangun hubungan baru dan tujuan baru di atas puingpuing masa lampau," kata Moerdiono, yang kali ini lancar bicaranya. "Kalau kita dinilai keras, apakah Belanda sendiri tidak keras?" Pemerintah rupanya siap menanggung segala risiko. Misalnya, kalau saja Belanda menyetop beasiswanya untuk sekitar 650 mahasiswa Indonesia di negerinya, "Pemerintah akan menanggung beasiswa mereka atau mencarikan beasiswa dari sumber-sumber lain," kata Moerdiono. Keputusan drastis itu rupanya sudah disiapkan cukup lama. Inisiatifnya, kata Mensesneg Moerdiono, datang langsung dari Kepala Negara. "Saya menangkap isyarat-isyarat bahwa beliau memikirkannya sejak berada di Meksiko," ujarnya. Presiden melawat ke lima negara mulai Meksiko sampai Zimbabwe, sejak 18 November 1991, enam hari setelah pecahnya insiden Dili. Ketika Presiden di Meksiko, pihak Den Haag melalui Menteri J.P. Pronk telah melayangkan ancaman ke Jakarta, negerinya akan menunda pencairan bantuan baru untuk Indonesia, sebagai akibat peristiwa 12 November di Dili. Dalam perjalanan pulang ke Tanah Air, di pesawat terbang, Pak Harto bicara soal sikap RI yang menolak bantuan luar negeri yang dikaitkan dengan urusan dalam negeri Indonesia, seperti insiden Dili. Kalaupun masalah itu dikaitkan dengan masalah demokratisasi dan hak-hak asasi manusia yang berlaku universal, hal tersebut, menurut Menlu Ali Alatas, harus ditempatkan dalam format politik yang berlaku di tiaptiap negeri berkembang. Presiden dan rombongan mendarat kembali di Jakarta pada 12 Desember tahun lalu. Ketika itulah, menurut sebuah sumber, keinginan untuk menghentikan bantuan Belanda mulai dipersiapkan. Para menteri di lingkungan Ekuin segera dipanggil. Dalam sebuah pertemuan, hadir Menteri Negara Ketua Bappenas, Menteri Keuangan, Menko Ekuin, dan Menteri Sekretaris Negara. Pertemuan yang diselenggarakan beberapa kali itu selalu dihadiri oleh Penasihat Pemerintah Prof. Dr. Widjojo Nitisastro, yang dikenal sebagai arsitek pembangunan ekonomi Orde Baru. Para menteri itu diminta menghitung, berapa bantuan Belanda sekarang, bagaimana akibatnya jika bantuan itu hilang, serta bagaimana kalau IGGI tak lagi diketuai Belanda dan bubar. Toh bukan berarti urusan Dili tak diberesi. Kepala Negara kemudian menugasi KSAD Jenderal Edi Sudradjat untuk meneliti kesalahan di lingkungan AD. Hasilnya: tiga perwira AD diberhentikan, dua dikaryakan, satu lagi dicopot sementara dari dinas aktif. Yang lebih penting, akan ada pengadilan militer untuk lima anggota Angkatan Darat. Sebelumnya, KPN juga sudah mengumumkan hasilnya. Atas berbagai upaya pemerintah Indonesia untuk mencari penyelesaian kasus Dili, Belanda memang menyambut senang. Tapi urusan pembekuan bantuan tak juga segera dicairkan. Bantuan Belanda untuk Indonesia tetap dibekukan, sampai sidang IGGI yang jadwalnya berlangsung pada bulan Juni mendatang. Menurut sumber TEMPO, Indonesia merasa amat terganggu dengan sikap pemerintah Belanda yang setiap kali muncul dengan ancaman untuk menunda bantuan baru. Dan, seperti kata sebuah sumber yang mengetahui, "Pak Harto merasa terhina sekali." Maka, sekali lagi Kepala Negara melempar isyarat, yang sebenarnya sudah cukup keras, ketika menerima surat-surat kepercayaan Dubes Belanda untuk Indonesia, Februari lalu. Presiden mengingatkan, demi bantuan dari luar, Indonesia tak akan pernah mengorbankan prinsip dasar sebagai negara berdaulat. "Kami bertekad untuk membangun dengan kekuatan sendiri, menurut arah dan cara yang kami pandang tepat bagi kami," begitu Pak Harto menandaskan. Dengan sindiran yang sebenarnya cukup pedas untuk bahasa diplomatik, toh pihak Belanda masih belum menangkap isyarat yang serius itu. Di penghujung Februari lalu Menteri Luar Negeri Ali Alatas memang sudah berbincang-bincang dengan rekannya, Menlu Hans van den Broek dan Menteri Pronk, di Den Haag. Tapi, menurut Alatas kepada TEMPO, Menteri Pronk belum bisa menerima penjelasan yang saya sampaikan. "Tujuan saya ke beberapa negara adalah untuk menjelaskan duduk perkara peristiwa 12 November dan semua yang berhubungan dengan hal itu," katanya. "Tentu saya juga bicara soal bantuan secara umum ketika berada di Belanda dan Kanada. Dan saya mengingatkan kembali prinsip Indonesia yang tidak pernah menerima hubungan antara pemberian bantuan dan masalah politik." Tapi di pers Belanda malah muncul berita bahwa Alatas telah dimarahi oleh Jan Pronk. "Itu sama sekali tidak betul, dan menjengkelkan," kata Alatas. Selaku Ketua IGGI, J.P. Pronk kabarnya malah memberitahukan niatnya untuk berkunjung ke Aceh, April mendatang. "Komisi parlemen kami sudah mengunjungi Aceh, jadi apa masalahnya buat saya," ujar Pronk dalam wawancara khusus dengan TEMPO. Malah, ia sudah punya usul baru: ingin mengunjungi Irian Jaya. Koran di Belanda bahkan memberitakan Menlu Van den Broek mengajak anggota Masyarakat Eropa untuk mengirim delegasi ke Timor Timur untuk menghadiri persidangan pelaku Insiden Dili. Banyak pejabat di sini memang kurang senang melihat ulah Jan Pronk yang "bak inspektur jenderal di zaman kolonial, menginspeksi negeri bekas jajahannya," kata seorang teknokrat di Jakarta. Anak nelayan miskin dari Scheveningen itu belakangan ini memang suka mengkritik pendekatan pembangunan di Indonesia yang, menurut dia, masih datang dari atas (top down), dan bukan tumbuh dari bawah ke atas (bottom up). Suatu sikap yang terasa menggurui para pengelola ekonomi negeri ini, yang selalu mendapat pujian dari lembaga berwibawa seperti Bank Dunia. Dia juga pernah menuding bahwa praktek KB di Indonesia banyak dilakukan secara paksa. Suatu hal yang kemudian diralat sendiri oleh pemerintah Belanda. Tapi yang juga penting adalah ini: Menteri Pronk, dalam berbagai kesempatan, tampak tak mau memisahkan antara kedudukannya sebagai Ketua IGGI dan perannya sebagai menteri yang mewakili suara fraksi partainya yang beraliran "kiri". Alhasil, kejengkelan pemerintah Indonesia terhadap pemerintah Belanda, terutama Menteri Pronk, pun menumpuk rupanya. Maka, Senin malam pekan lalu, Presiden pun memanggil Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, Menlu Ali Alatas, Menko Ekuin dan Pengawasan Pembangunan Radius Prawiro, Menteri Keuangan Sumarlin, dan Menteri Negara Ketua Bappenas Saleh Afiff, disertai Prof. Widjojo Nitisastro. Suatu pertemuan mendadak dan amat penting yang kemudian melahirkan keputusan tegas itu: menolak semua bantuan dari Belanda. Apa dampaknya untuk ekonomi Indonesia? Tak banyak dampaknya. Andil bantuan Belanda tak sampai 2% dari seluruh bantuan IGGI. Pihak Indonesia juga sudah melobi lima penyumbang terbesar IGGI yang jumlah sumbangannya sudah merupakan 90% dari seluruh nilai bantuan IGGI. Seperti Bank Dunia, Jepang, dan Asian Development Bank. Konon lobi itu sudah berhasil. Paling tidak, Jepang sebagai negara kreditor terbesar Indonesia sudah menyatakan akan terus menyalurkan bantuannya sesuai dengan rencana. "Pemerintah Indonesia tak mengatakan tidak mau menerima bantuan luar negeri. Maka, kami anggap ini masalah yang menyangkut hubungan kedua negara antara Indonesia dan Belanda," ujar seorang pejabat Biro Kerja Sama Luar Negeri (Gaimusho) Jepang kepada Seiichi Okawa dari TEMPO. Bank Dunia -- yang oleh pemerintah Indonesia diminta menjadi "pengganti" Belanda -- juga masih akan mengucurkan bantuannya pada Indonesia. Hanya saja, Robert Solomon dari Asian Development Bank terperanjat juga begitu mendengar langkah Indonesia "bercerai" dari Belanda dan IGGI. Tapi akhir pekan lalu terbetik berita bahwa Austria, yang juga anggota IGGI, bereaksi. Peter Jan Kovitsch, Menteri Muda Kerja Sama Luar Negeri, mengumumkan Austria memutuskan untuk menghentikan bantuan teknik bilateral kepada Indonesia karena pelanggaran hak asasi manusia, terutama karena Insiden Dili. Harap diketahui, negeri elok di Eropa itu cuma membantu US$ 8 juta alias sepersepuluh dari bantuan Belanda. Sementara itu, Menteri Pronk dikabarkan terbang ke markas Bank Dunia di Washington DC Jumat pekan lalu. Apakah Pronk membujuk Bank Dunia untuk mengikuti jejak negerinya, wallahualam. Tapi, yang pasti, PM Ruud Lubbers sudah menyatakan bahwa pemerintahnya tak akan membalas Indonesia. Siapa tahu, setelah IGGI punya topi baru di Washington, hubungan kedua negeri yang kini dingin akan kembali hangat. Toriq Hadad, Linda Djalil, Asbari N. Krisna, Fikri Jufri, dan Seiichi Okawa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus