Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah keluarga digambarkan sedang berkumpul menghadap ke meja panjang. Perjalanan hidup keluarga ini kacau. Mereka adalah Rosnah (Arsita Iswardhani), Rosyid Samudra (M.N. Qomaruddin), Mohammad Husen (Ari Dwianto), dan ibu dari keluarga ini (Erythrina Baskoro). Rosyid Samudra sangat membenci komunis. "Fuck komunis," katanya. Ia menjadi teroris di Afganistan.
Keluarga merindukan Rosyid, yang tak kunjung pulang hingga Lebaran tiba pada 2009. Sedangkan Rosnah menjadi buruh migran yang mendapat kekerasan. Mohammad Husen, yang dianggap sedeng atau gila, ke mana-mana mengenakan helm dan membawa pelantang suara (TOA).
Bila saja dimainkan dengan cara dramaturgi konvensional, katakanlah bentuk realis, gagasan ini sudah menarik: menampilkan potret paling mutakhir dan irasional masyarakat kita pasca-1998. Ini bisa menjadi suguhan yang mencekam dan getir jika dimainkan aktor-aktor kuat. Tapi tentu Teater Garasi tidak menyajikannya dengan cara demikian. Teater ini dikenal membangun kekuatan panggungnya dengan menyajikan kolase adegan yang memberi porsi besar pada gerak, rekaman gumaman dari berbagai fragmen teks, percakapan-percakapan, tayangan video, seliweran mainan-mainan, juga musik live.
Malam itu, problem kekerasan Indonesia, misalnya, disajikan dengan menampilkan mulai sosok yang menggunakan kostum badut-badutan Teletubbies yang bergoyang-goyang dangdut, sebagaimana sering kita saksikan pada pengamen jalanan, sampai seseorang—mungkin representasi petugas negara—yang menyemprotkan asap dengan mesin fogging.
Pentas Yang Fana Adalah Waktu. Kita Abadi yang digelar di auditorium Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri—eks Purna Budaya Universitas Gadjah Mada—Yogyakarta pada 23 dan 24 Juni 2015 ini adalah pengembangan dan penelusuran lebih mendalam terhadap pertunjukan Garasi berjudul Je.ja.lan (2008) dan Tubuh Ketiga (2010).
Gaya dan idiom-idiom pementasan tidak terlalu jauh dari kedua pentas sebelumnya. Hanya, inti yang menonjol kali ini adalah kekerasan agama: bahwa kekerasan agama membuka ingatan terhadap kekerasan yang tak terselesaikan dari waktu ke waktu, termasuk kekerasan terhadap mereka yang dianggap simpatisan kaum kiri.
Idiom darah banyak disuguhkan sepanjang pementasan. Salah satunya adalah bagaimana para pemain mencabik-cabik benda berbentuk potongan paha kuda yang berdarah (mulanya ada tayangan video kuda putih di layar). Mereka merangkak, mengendus, mencabik-cabik daging, dan mengisap darah seperti orang kesetanan. Cairan merah menetes di mulut beberapa orang. Mereka bersaing dengan seekor boneka kucing hitam di atas meja. Suara lalat mendengung, memburu bangkai.
Tapi, lantaran adegan-adegan cenderung diekspresikan sebatas menampilkan "tanda-tanda", semua itu tidak berlangsung mencekam. Suasana gila-gilaan yang dibangun cenderung menjurus ke permainan asosiasi intelektual, bukan menyeret ke suatu peristiwa atau situasi yang membuat kita bergidik. Saat adegan mengoyak daging binatang, misalnya, musik yang mengiringinya berjudul The Future, ciptaan penyanyi dan penyair asal Kanada, Leonard Norman Cohen. Lalu ada rekaman gumaman teks yang diambil dari penggalan adegan perjamuan makan naskah Macbeth, drama tragedi karya sastrawan besar Inggris, William Shakespeare.
Ada adegan tentara menjemput paksa seorang lelaki tua pada 1967. Pria bertopi lebar dan bersarung yang diperankan Gunawan Maryanto itu menggenggam senapan laras panjang. Suara senjata api mendadak terdengar. Darah berceceran di lantai berkarpet putih, dan dipel. Pria itu lalu menawarkan daging berdarah kepada presiden. "Lapor, Jenderal. Daging buruan sudah tertangkap. Pak Haji buta, Pak Polisi buta, Pak Jenderal buta, Pak Presiden buta."
Dalam adegan ini, Garasi terinspirasi cerita komposer musik, Yennu Ariendra, anggota Teater Garasi. "Kakek Yennu dianggap anggota PKI dan diculik," kata Yudi Ahmad Tajudin, sang sutradara. Penonton kembali disuguhi adegan berdarah-darah di pengujung pentas. Sebuah adegan mengingatkan orang pada diorama Museum Lubang Buaya. Sejumlah penampil memegang pentungan, pacul, bambu, sekrup, dan senapan. Mereka mengitari seseorang yang tak berdaya. Ada juga adegan dua orang menyeret seseorang seperti memasukkannya ke sebuah lubang. Di sekitarnya terdapat benda digital print bertulisan "WC". Ini replika diorama Lubang Buaya.
Yang menarik, tiba-tiba ada adegan nyanyian karaoke. Di pentas, layar menampilkan teks lagu yang dikarang seseorang bernama Imam Samudra. Bisa kita baca syair itu dimulai dengan lirik "Syahid, syahid…". Lirik lagu itu menaruh kebencian terhadap Yahudi dan Amerika. Lagu itu merupakan salam perpisahan Imam Samudra menuju surga. Dua penampil menari seperti bidadari di kolam. Ini metafor surga dalam pikiran Imam Samudra.
Di tengah pementasan, dimasukkan sebuah patung setinggi dua meter lebih yang ditutup terpal biru. Patung itu dibebat. Kita bisa bertanya-tanya ada sosok apa di balik terpal itu. Patung itu mungkin metafor Monumen Pancasila Sakti atau apa. Penonton bisa menduga bahwa pada klimaks pementasan, bebatan dan terpal biru itu dibuka, lalu panggung akan menampilkan sosok raksasa yang tak terduga. Tapi ternyata tidak.
Klimaksnya adalah sebuah bom bunuh diri. Mohammad Husen, salah satu anggota keluarga di atas, berkemeja putih, duduk. Rakitan bom menempel pada tubuhnya. Bom itu meledak mirip suara petasan. Badannya bersimbah darah, menyatu dengan kemeja putihnya. Ia terkulai di kursi. Masih dengan helm dan kalung pelantang suara itu, ia ditarik ke langit-langit panggung. Tapi tetap adegan itu tidak terasa tragis. Malah puitis.
Judul karya terbaru Garasi ini meminjam puisi sastrawan Sapardi Djoko Damono berjudul "Yang Fana adalah Waktu. Kita Abadi". Mungkin ini sebuah sindiran atas keinginan meledakkan diri, keinginan syahid itu.
Shinta Maharani, Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo