Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sastra Berbahasa Batak Butuh Penulis Baru

Karya sastra berbahasa Batak membutuhkan campur tangan pemerintah daerah untuk meregenerasi penulis.

15 Februari 2025 | 06.00 WIB

Saut Poltak Tambunan. Dok. Pribadi
Perbesar
Saut Poltak Tambunan. Dok. Pribadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Sastra Batak adalah salah satu kategori hadiah Rancage sejak 2015.

  • Namun penerbitan buku sastra Batak tidak rutin ada setiap tahun.

  • Perlu keterlibatan pemerintah untuk regenerasi penulis sastra berbahasa daerah.

KARYA sastra berbahasa Batak membutuhkan campur tangan pemerintah daerah untuk meregenerasi penulis sekaligus menciptakan pembaca baru lewat muatan lokal di lembaga-lembaga pendidikan formal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Saut Poltak Tambunan, penerima dua kali Hadiah Sastera Rancage dari Yayasan Kebudayaan Rancage, mengatakan hal itu ketika kami berbincang saat sama-sama menjadi pembicara dalam acara Lake Toba Writers Festival 2024 di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, pada 14-16 September 2024. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Saut bercerita, setelah menerbitkan sendiri buku-buku sastra berbahasa Batak, ia masih harus mensosialisasi buku-buku itu langsung ke sekolah-sekolah di kampung di Sumatera Utara. Untuk kegiatan itu, ia harus mengeluarkan biaya sendiri. Dengan kerja budaya seperti ini, ia mengatakan tidak lagi berfokus pada penciptaan karya baru sehingga tanggung jawabnya sebagai penulis yang harus terus berkarya menjadi terhambat. 

Sayangnya, kerja budaya yang dilakukannya sejak 2012 itu belum mendapat respons dari pemerintah daerah. Dengan begitu, sastra berbahasa Batak belum menjadi produk budaya yang sangat penting dalam melestarikan bahasa Batak sebagai salah satu warisan budaya masyarakat lokal. 

Meski begitu, kerja budaya Saut mampu membuat sastra berbahasa Batak menjadi fenomena baru bagi masyarakat pemilik bahasa lokal itu. Hal itu ditandai dengan banyak munculnya penulis baru yang berkarya dalam bahasa Batak, meski bukan dari kalangan generasi muda.

Saut adalah penulis novel yang muncul sejak dekade 1980-an. Namanya sejajar dengan Ashadi Siregar, Marga T., Mira W., dan pengarang lain. Pada 2012, setelah diundang dalam acara Ubud Writers dan Readers Festival di Bali, ia memutuskan beralih menulis sastra modern berbahasa Batak. Ia mengalihbahasakan sejumlah cerpen dalam bahasa Indonesia ke dalam bahasa Batak, kemudian menerbitkannya dengan judul Mangongkal Holi pada 2012. 

Pada 2015, kumpulan cerpen Mangongkal Holi membuat Saut menerima Hadiah Sastera Rancage dari Yayasan Kebudayaan Rancage. Lembaga ini dibangun Ajip Rosidi sejak 1988 untuk mengapresiasi karya-karya sastra berbahasa daerah, yang sebelumnya hanya berfokus pada sastra berbahasa Sunda, Jawa, dan Bali. Sejak Mangongkal Holi menerima Hadiah Sastera Rancage, ini menandai pertama kalinya sastra berbahasa Batak masuk penghargaan Rancage. 

Namun sastra berbahasa Batak bukanlah penghargaan pertama bagi sastra berbahasa daerah di luar Pulau Jawa atau di Pulau Sumatera. Pada 2008, kumpulan puisi berbahasa daerah Lampung, Mak Dawah Mak Dibingi (Tak Siang Tak Malam) karya Udo Z. Karzi, sudah lebih dulu mendapat Hadiah Sastera Rancage. 

Udo Z Karzi. Dok. Pribadi

Pada 2008, sebagai Direktur Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung, saya bertemu dengan Irfan Anshory (almarhum) dari Yayasan Kebudayaan Rancage di Bandung untuk menawarkan karya sastra berbahasa Lampung agar masuk salah satu kategori pemberian Hadiah Sastera Rancage. 

Irfan, yang berasal dari Lampung, menyetujuinya dengan catatan: kategori sastra berbahasa Lampung akan masuk kategori Hadiah Sastera Rancage jika ada penerbitan sastra berbahasa itu bisa muncul setiap tahun. Syarat kontinuitas penerbitan buku berbahasa Lampung ini juga ditegaskan Ajip dan Hawe Setiawan sehingga menjadi beban bagi saya dan Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung karena penulis berbahasa Lampung tidak banyak. 

Beban ini akhirnya dipikul sehingga sastra berbahasa Lampung ditetapkan sebagai salah satu kategori dalam Hadiah Rancage. Hal pertama yang dilakukan adalah menggelar kegiatan sosialisasi sastra berbahasa Lampung ke para penulis Lampung, berbagai komunitas budaya Lampung, perguruan tinggi, dan para akademikus. Lalu menggelar acara pelatihan menulis dalam bahasa Lampung.

Beban yang sama juga disematkan di pundak Saut Poltak Tambunan setelah sastra berbahasa Batak ditetapkan sebagai salah satu kategori Hadiah Rancage sejak 2015. Saut harus mengupayakan agar buku sastra berbahasa Batak bisa muncul setiap tahun. Meski tanggung jawab ini tidak mudah, Saut memainkan perannya sebagai motor penggerak sastra berbahasa Batak. 

Saut berhasil mendorong Rose Lumbantoruan menerbitkan kumpulan cerpennya, Ulos Sorpi (Kain Ulos Terlipat), hingga mendapat Hadiah Rancage 2016. Saut juga berperan dalam penerbitan buku Tansiswo Siagian, kumpulan cerpen Sonduk Hela yang menerima Hadiah Rancage 2017. Begitu juga dengan penerbitan kumpulan puisi Panusunan Simanjuntak, Bangso nu Jugul Do Hami, yang menerima Hadiah Rancage 2018.

Pada 2019, Saut juga berperan dalam menerbitkan novel berbahasa Batak karya Robinson Siagian, guru honor, yang menerima Hadiah Rancage 2020. Namun, memasuki 2020, masalah kontinuitas penerbitan buku sastra berbahasa Batak mulai muncul. Tidak ada buku baru berbahasa Batak terbit dan sastra berbahasa Batak tidak mendapat Hadiah Rancage 2021. 

Pada 2021, muncul karya Ranto Napitupulu berjudul Boru Sasada, yang kemudian memperoleh Hadiah Rancage 2022. Sejak saat itu, penulis baru tidak muncul karena masalah regenerasi penulis yang stagnan. Saut kemudian menulis novel Boan Au Mulak (Bawa Aku Pulang), yang kemudian menerima Hadiah Rancage 2023. Pada 2023 tidak ada buku sastra berbahasa Batak yang diterbitkan sehingga tak ada yang diikutsertakan dalam Hadiah Rancage 2024. 

Yayasan Kebudayaan Rancage memberikan Hadiah Rancage 2025 kepada Panusunan Simanjuntak untuk kumpulan puisinya, Parhutahuta Do Hami (Kami Orang Kampung). Dengan kemenangan ini, Panusunan sudah dua kali mendapat Hadiah Rancage. Dalam kumpulan puisi Parhutahuta Do Hami, Panusunan menegaskan bahwa dirinya merupakan orang dari kampung (huta) yang tetap mencintai budaya Batak meskipun hampir separuh hidupnya yang sudah 75 tahun dihabiskan di luar negeri. 

Meski puisi-puisi dalam buku Parhutahuta Do Hami menampilkan aku lirik yang terkesan sebagai autobiografi, secara keseluruhan puisi-puisinya mengingatkan kepada masyarakat berbudaya Batak agar tetap mencintai warisan leluhur budayanya dalam situasi apa pun. Walaupun Panusunan sudah puluhan tahun mengunjungi lebih dari 30 negara di dunia selama kariernya sebagai jurnalis, dan seluruh keluarganya tinggal di luar negeri, ia tetap mempertahankan budaya Batak dan menggunakan bahasa Batak sebagai bahasa keseharian.

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Budi Hutasuhut

Budi Hutasuhut

Bekerja sebagai peneliti budaya Batak, penulis buku, editor, dan jurnalis.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus