Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
”Tajamkan parang-parang kalian pada batu itu….
Begitu kalimat itu diserukan, delapan orang yang tengah merayap di lumpur itu bangkit. Tubuh mereka waspada. Tangan kanan menggenggam arit erat-erat. Mereka kemudian mengayun-ayunkan parang itu. Menghantamkannya keras-keras ke bagian tajam cangkul, sampai memercikkan api. Suasana memiriskan, karena jarak dengan pemain berdekatan. Itulah pertunjukan Teater Studio Banten.
Mereka membawa lumpur satu truk dari Kampung Dukuh di Banten ke Pusat Kebudayaan Rusia, Jalan Diponegoro, Jakarta, pekan lalu. Sebelumnya mereka berpentas di Pusat Kebudayaan Prancis Bandung. Sementara di Bandung mereka diperkenankan menggunakan auditorium, pihak Pusat Kebudayaan Rusia tak mengizinkan lantaran alasan kotor. Maka halaman depan pun dipakai. Penonton duduk lesehan—menyaksikan set berupa rumah-rumahan dari bambu, berumbai daun kelapa setinggi lebih dari tiga meter—dengan kubangan lumpur di ”halaman”-nya.
Bising kendaraan lalu-lalang membuat awal pertunjukan terganggu. Tapi kemudian perhatian penonton tersedot ketika ”adegan keras” itu muncul. Aktor-aktor menyurukkan tubuh ke lumpur, memainkan gumpalan, meraupkan lumpur ke wajah. Para pemusik memukul-mukul cangkul yang ditata sebagai rentetan bunyi. Pacul-pacul lalu dibalik, gagang ditegakkan ke tanah, lalu arit disabet-sabetkan ke bagian besinya. Mengerikan. Khilaf sedikit bisa menyambit teman.
Inilah sebuah teater yang ingin berbicara tentang pemberontakan petani di Banten. Kita tahu—seperti pernah ditulis sejarawan Sartono Kartodirdjo, tahun 1883 Krakatau meletus. Bagian gunung itu runtuh ke laut, menimbulkan gelombang tsunami besar yang menelan korban puluhan ribu jiwa. Rakyat Banten menganggap itu sebuah pertanda, lalu seorang kiai lokal memimpin penyerangan pos-pos Belanda di Cilegon.
Sutradara pertunjukan ini, Nandang Aradea, pernah kuliah di Akademi Seni Teater Rusia di Moskow. Kembali ke Serang, ia mengumpulkan mahasiswa, guru, buruh, dan pengangguran. Dia lalu melatih mereka dengan metode Meyerhold (1874-1940), seorang pelopor teater eksperimen di Rusia. ”Meyerhold menentang realisme,” katanya. Meyerhold menampik pendekatan sastra dalam teater, dan menekankan teater pada ekspresi fisiologis tubuh. ”Dalam metode Meyerhold kemarahan dilihat dari bantingannya,” kata Nandang.
Karena itu teater Nandang menjurus ke sebuah physical teater. Suatu teater yang butuh stamina tinggi dengan adegan yang menyerempet bahaya. ”Krakatau meletus, Krakatau meletus.” Ketika sampai adegan ini, para pemain memanjat cepat-cepat dan meloncat dari ketinggian tiga meter ke lumpur. Seseorang lalu melantunkan tembang ruwatan—doa penangkal bala Banten lama.
”Parang aing..., parang maung…. Dan mulailah adegan yang ingin menunjukkan Kiai Haji Wasid pada akhir abad ke-19 itu akhirnya menyerang Belanda. Para aktor meraup, menyumpalkan gumpalan tanah liat ke mulutnya, seolah mereka menahan kesakitan. ”Bicaralah parangku, bicaralah tanahku…. Lalu adegan yang menunjukkan kegeraman Kiai Wasid kepada kolonial: buah kelapa dibelah, dikupas dengan parang sampai muncrat airnya.
Sayang, Nandang kemudian justru tak menjaga momen dramatik yang diciptakannya. Pertunjukan terlalu bertele-tele dan kemudian cenderung ingin menggambarkan sejarah dan menghubungkan dengan persoalan tanah dan petani masa kini. Beberapa bagian—ketika para aktor setengah bersenandung bersama dan menunjukkan tradisi perladangan Banten—malah agak komikal. Pertunjukan menjadi cair. Hal itu membuat pertunjukan yang tadinya ada elemen ”yang mengejutkan” menjadi biasa. Nandang tak bisa mempertahankan unsur-unsur menarik yang menjadikan tontonan ini meresapi seluruh pertunjukan.
”Saya sesungguhnya ingin mengkritik kiai-kiai di Banten, mengapa tidak membuat pilihan seperti Gandhi,” katanya. Tapi tendesi ini justru yang lantas membuat pertunjukan ini seperti sebuah pamflet. Jika Nandang lebih berkonsentrasi pada eksplorasi variasi permainan pacul yang berhubungan dengan respons fisiologis aktornya, apalagi aktor-aktor yang dipilihnya perawakannya lebih sangar daripada yang sekarang ini, pasti pertunjukan lebih berenergi. ”Tambah garang kalau yang ikut pemain debus,” celetuk seorang penonton.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo