Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tenung Baru Calon Arang

Calon Arang ditafsirkan secara amat modern dalam bentuk opera berjudul The King’s Witch oleh Tony Prabowo, Goenawan Mohamad, dan Yudi Tadjudin. Sebuah pertunjukan berharga yang melibatkan penyanyi opera dan orkestra Amerika.

4 Desember 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tidak ada rangda. Tidak ada sedikit pun gamelan. Tidak ada keris ditusuk-tusukkan ke tubuh. Calon Arang, cerita rakyat Bali itu, berubah menjadi sama sekali baru.

Panggung menghadirkan set trap-trap konstruksi besi yang tinggi, berbentuk seperti kubah segi tiga. Sisi kanan miring ke atas sembilan meter, sisi kiri tujuh meter. Lebar dua meter. Di kanan juga tampak sambungan tong, yang di dalamnya terdapat sebuah mekanik untuk mengalirkan air. Suara gemericik, kilatan basah muncul setiap mekanik itu bergerak.

Di tiga sudut yang berjauhan itu berdiri kukuh Michael Smallwood, Bo Chang, Abigail Fischer. Mereka penyanyi soprano, alto, dan tenor yang memainkan tiga karakter: Raja Erlangga, Calon Arang, Manjali. Konduktor dan para pemain orkestra berada di bawah panggung.

Calon Arang adalah kisah janda dari Dirah yang berang karena anaknya, Manjali, selalu ditolak kawin para pria. Lalu dengan ilmu hitamnya ia menenung menyebarkan wabah. Tony Prabowo membuat komposisi berdasar libretto tulisan Goenawan Mohamad. Di tangan penyair ini kisah yang ber-setting di Kediri mendapat tafsir lain. Goenawan lebih menampilkan suara-suara personal dari tiap karakter.

November 2000, komposisi ini dipentaskan perdana di Alice Tully Hall, New York, oleh The New Juillard Ensemble pimpinan konduktor Joel Sachs. Saat itu pertunjukan tersebut hanya sebatas musik. Belum ada unsur teatrikal di panggung. Tony mengangankan sebuah pertunjukan lengkap dengan aspek visualisasi dan kor.

Obsesi panjang ini akhirnya terlaksana Desember ini. Tony memilih teaterwan Yudi Tajudin dan Batavia Madrigal Singers pimpinan Avip Priatna untuk mewujudkan hal itu. Yudi diberi kebebasan mengkreasikan set dan menciptakan adegan. Sementara paduan suara Batavia diperlukan untuk menambah intensitas dramatik pada chorus. Sebuah kerja sama yang penuh risiko. Karena Yudi latihan di Yogya. Batavia Madrigal di Jakarta. Sementara Joel Sachs, yang kini memimpin Continuum Ensemble, latihan di Amerika. Selama berbulan-berbulan mereka berlatih sendiri-sendiri. Baru ketiganya dipadukan di Graha Bakti Budaya, beberapa hari menjelang pertunjukan.

Dan penonton melihat sebuah sinergi yang menarik. Antara musik, nyanyi, gerak, porsinya sama. Tidak ada yang lebih dominan. ”Ini opera yang betul-betul unik, bahkan untuk skala New York,” kata Stephanie Griffin, pemain biola.

Enam aktor bergerak mengilustrasikan kalimat-kalimat yang dinyanyikan atau dikatakan. Gerak mereka seolah menampilkan kelebatan-kelebatan pikiran, kecemasan, kenangan tiap karakter. Koreografi mengalir. Pergantian komposisi luwes. Tidak ada pola-pola baku. Penuh kejutan, seperti tiba-tiba ditampilkan kuda besi beroda melintas di panggung.

Yudi tak menerjemahkan musik secara harfiah. Tapi kadang improvisasi para aktornya mencerminkan apa yang diucapkan libretto. Seperti ketika Michael Smallwood yang berperan sebagai Raja melantunkan kalimat yang mengajak Manjali ke istananya. ”Will you go with me to the noble house of Kediri?” Adegan di panggung tampak dua orang saling mengusap pipi.

Para biduan opera itu sendiri, meski berdiri sambil membaca skor, tak tampak kaku. Ketika Calon Arang dan Manjali mengucapkan perpisahan, itu dilakukan misalnya oleh Bo Chang dan Abigail Fischer seperti berdialog. ”And you Mother…,” tutur Bo Chang sambil matanya menatap Abigail. ”Go, he needs you,” kata Abigail seraya gesturnya menjawab bahasa tubuh Bo Chang.

Tanpa kor. Tanpa koreografi. Tanpa set. Tanpa backdrop warna dasar oranye, biru, hijau, biru yang menjadikan panggung indah, bisa dibayangkan pementasan perdana The King’s Witch di New York tentu ”kering”. Tony adalah komponis yang dikenal me-ngembangkan dengan gaya tersendiri konsep Arnold Schoenberg, seorang pelopor musik modern yang tersohor dengan konsep atonalitas. Sebuah konsep yang menolak adanya nada dasar dalam sebuah penciptaan mendominasi nada lainnya. Sebuah musik yang berat bagi penggemar klasik tradisional.

Adalah wajar seandainya musik Tony yang mendikte gerak. Tapi menikmati The King’s Witch malam itu, yang terjadi musik Tony-lah yang seolah mengiringi gerak. ”Ini lebih teater total,” kata Goenawan.

Awalnya adalah undangan Lloyd Erikson kepada Tony untuk menciptakan komposisi. Tony meminta Goenawan menulis libretto. Tahun 1997 mereka ke Bali. ”Saya ingat di Bone kami menyewa lengkap pertunjukan Calon Arang, yang dipimpin I Made Sija. Suasana betul-betul magis,” tutur Goenawan mengenang.

Biasanya teks-teks mengenai Calon Arang baik yang lama maupun baru selalu berkisar konflik antara Raja Erlangga dan Calon Arang. Manjali hanya sebagai korban. Tafsir Goenawan sama sekali lain. Manjali menjadi sosok yang aktif, yang mendesakkan diri di antara permusuhan ibunya dan Raja Erlangga.

”Syair-syair Goenawan selalu murung, gelap, pedih, tidak pernah terlihat light atau gembira, saya cocok,” kata Tony. Tony sendiri untuk membuat skor membutuhkan waktu dua tahun le-bih. Musik Tony sangat kompleks. Tony ingin menampilkan mood puitik tentang pemihakan Goenawan terhadap Manjali dan Calon Arang yang dicap sebagai pembawa mala.

Komposisi Tony sarat ketegangan dinamik. Jarak nadanya tinggi. Pada setiap bagian, tempo berubah-ubah. Di sebuah bagian sampai ada yang lebih dari 30 kali berubah. Sejak tahun 1978, untuk komposisi-komposisinya Tony bereksperimen menemukan suatu modus harmoni tersendiri, yang disebutnya: harmoni kromatik. Satu kord ke kord lain jaraknya dekat. Tony menginginkan komposisi musiknya dingin. Rata. ”Dalam struktur musik saya tidak pernah ada klimaks,” kata Tony. Keseimbangan dan presisi baginya paling penting. Ucapan, kata-kata kalimat, semuanya ada notasinya. ”Bisikan pun semua ketukannya tertulis.”

Tony menerapkan prinsip polifoni dalam arti yang luas. Untuk The King’s Witch berbagai macam instrumen digunakan, mulai alat tiup logam, string, alat tiup kayu sampai perkusi. Seperti kecenderungan musik modern semenjak Stravinsky, unsur perkusi diperbanyak. Vibraphone, xylophone, tubular bells, marimba, maracas, tam-tam, cymbal diperlukan untuk kebutuhan ekspresi. Bahkan piano diperlakukan sebagai alat perkusi, bukan melodi.

Sebagaimana Tony, Yudi menginginkan adegan-adegan opera ini bertumpu pada improvisasi gerak yang modern, sama sekali tak berbau tradisi. Bahkan ketika perancang kostum Reno Ratih Damayanti mengusulkan kostum para penyanyi sedikit bernuansa lurik, leak Bali, itu ditolak Yudi.

Latihan dilakukan dengan menganalisis secara teliti rekam-an pertunjukan perdana The King’s Witch. ”Kami mulanya tidak familiar dengan musik Tony, karena kami semua konsumen pop,” kata Yudi. Set yang berbentuk segi tiga melambangkan relasi antara Raja, Calon Arang, dan Manjali. ”Inilah relasi kekhawatiran kecemasan mereka,” kata Yudhi kepada L.N. Idayanie dari Tempo. Latihan sering menggunakan manekin-manekin untuk membayangkan posisi soprano, tenor.

Ditampilkannya unsur air di panggung adalah simbol bahwa teks Calon Arang pada dasarnya adalah teks purifikasi. Air menjadi ruang hidup yang mempersatukan ketiga karakter yang terlibat masalah. Mulanya, untuk membuat air bergerak, Yudi ingin menerapkan metode ulir Leonardo Da Vinci sebagaimana dilihat di buku-buku. ”Tapi kami menggunakan teknik irigasi di sawah yang menggunakan kincir angin.”

Dan Joel Sachs terperangah melihat set yang dibuat Yudi. Ia mengaku menduga-duga koreografi yang bakal ditampilkan Yudi. Selama ini ia sama sekali belum pernah menyaksikan adegan-adegan yang diciptakan anak Yogya itu. Rombongan Continuum Ensemble sampai di Jakarta hari Senin. Sementara pertunjukan hari Jumat. Waktu begitu mepet. Hanya ada tiga hari untuk saling menyesuaikan.

”Saya khawatir mulanya,” kata Joel. Musik Tony dianggapnya ”extremely difficult”. Ia ingat saat latihan untuk pementasan perdana The King’s Witch, latihan berhenti tiga menit saja, untuk menyambung. Para pemusiknya kerap lupa, karena tidak ada nada patokan dalam musik Tony. Maka dari itu, saat melihat set tempat penyanyi begitu tinggi, dalam hati ia bertanya. ”Saya khawatir aba-aba saya tidak kelihatan, apalagi kemeja saya hitam.”

Ternyata itu tak terjadi. Adegan semua pas. Ia memuji gerakan-gerakan anak-anak Teater Garasi yang senyawa dengan orkestranya. Yudi juga puas dengan kelapangan Joel. Yudi menginginkan adegan pertama didahului sebuah adegan yang bebas dari musik. Lalu di setiap ketiga karakter itu berjalan di trap segi tiga, berganti posisi tempat, ia menginginkan jeda agak lama. Musik berhenti. Hening total. Ini semua untuk membuat ritme tak terlalu ketat. Ternyata Joel setuju. ”Saya menghargai Joel tidak mementingkan bagiannya sendiri,” kata Yudi.

Dan malam itu, dengan kemeja hitamnya, mata Joel Sachs menatap awas ketika sebuah kepompong turun dari atas langit-langit mengawali pertunjukan. Adegan sunyi tanpa musik. Seluruh musisinya diam, menunggu komandonya. Dari kepompong itu lalu muncul seorang penari yang bergerak dengan amat lambat, menggeliat, merayap seperti serangga tanda menyebarnya virus. Joel Sachs menunggu timing yang tepat. Begitu tangannya bergerak, Stephanie Griffin menggesekkan biola altonya. Gesekan itu menjadi penanda. Karakter opera seperti flute pada opera karya Mozart The Magic Flute.

Adegan bergerak terus tanpa henti. Aktor Whani Dharmawan selanjutnya mengilustrasikan seorang raja yang mengenyahkan wabah. Penari lain ”bergeleparan”. ”The King’s Witch jauh lebih progresif dari karya-karya Tang Dun,” kata Stephanie. Tang Dun adalah komponis asal Cina yang kini berjaya dan populer di Amerika. Menurut dia, The King’s Witch tidak senaratif opera-opera Tang Dun. The King’s Witch juga tidak memburu identitas sebagaimana karya-karya Tang Dun selalu menampilkan identitas kecina-an. ”Identitas Tan Dun itu bagian dari strategi komersial. Pencarian identitas Tony lebih ke dalam, bukan di luar,” katanya.

Sesungguhnya untuk Stephanie sebagai solois, Tony punya rencana ”liar”. Ia menginginkan Stephanie telanjang di atas puncak set ketika menggesek biola. ”Stephanie sudah bersedia,” kata Tony. Tapi karena pertimbangan penonton Indonesia dan juga karena sulit secara teknis, dan Stephanie akhirnya harus naik dari pit (tempat orkestra) ke atas panggung, adegan tersebut urung. Toh, tanpa itu, The King’s Witch tetap mengesankan.

Di akhir pertunjukan yang tak sampai sejam itu, setelah lirik yang berkisah penangkapan Calon Arang, berturut-turut kor dan suara raja mendedahkan perihal malapetaka. Akhirnya sang Erlangga melihat fajar merah menyingsing, tapi dengan merah lain. ”It was vermilion….”

Dua orang penari di panggung, dengan riang, ke sana kemari meniup gelembung-gelembung sabun. Lalu dari atas turun lagi sosok kepompong. Perlahan-lahan merungkupi tubuh seorang aktor. Menyimbolkan bahwa wabah telah tertumpas. Calon Arang bisa disingkirkan.

Tapi seperti backdrop yang berwarna merah terang, bukan pucat merah darah yang mengering, pesan The King’s Witch ini jelas. Kekuasaan tetap tak bisa menaklukkan semua yang dianggapnya lain.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus