Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menyimak nyanyian itu seperti mendengar paduan suara di sebuah altar hening yang dinyanyikan belasan orang. Ada bermacam-macam suara, dari bas yang rendah sampai alto, sopran, tingkap-meningkap, lapis-melapis menjalin harmoni. Tapi penyanyinya Nyak Ina Raseuki alias Ubiet seorang.
Itulah Music For Multiple Choice, salah satu lagu yang terdapat dalam album yang dirilis Ubiet. Antara 1999 dan 2005 Tony Prabowo menciptakan khusus komposisi-komposisi vokal untuk Ubiet. Semuanya direkam dengan teknik pre-recorded. Satu suara berikut instrumennya direkam, kemudian rekaman itu diputar ulang sembari ditambahi suara lain.
Untuk kor itu Ubiet harus melantunkan enam suara: dari suara bawah laki-laki sampai seperti gema kumpulan lengkingan yang luruh. Tiap rekaman suara membutuhkan 4 track. "Jadi, suara saya direkam satu per satu sampai 24 track." Rumit, karena sama sekali tak menggunakan manipulasi kom-puter. Merekam sebuah lagu di studio bisa membutuhkan waktu seminggu.
Banyak komponis dunia menggunakan teknik ini. "Steve Reich, misalnya, pernah membuat komposisi untuk 13 gitar, tapi semuanya hanya dimainkan gitaris jazz Pat Metheny," kata Tony. Menurut Ubiet, kecenderungan menggunakan teknik ini tak lekang di New York. Tony agaknya melihat karakter suara Ubiet yang khas itu amat potensial untuk melakukan eksperimen pre-recorded. Ada 11 komposisi dengan materi kata-kata nonsensical syllable (kata-kata tanpa arti) sampai teks puisi Chairil Anwar.
"Tentu saja, dibanding The King's Witch, komposisi ini lebih komunikatif," kata Ubiet. Walaupun demikian tetap Tony tidak memberikan ruang spontanitas lebar. Semua kata dinotasikan. Tingkat kesulitan tinggi karena Tony mengeksplorasi akord dengan jarak nada dempet. "Salah sedikit, bisa fals," kata Ubiet.
Karakter suara Ubiet yang cocok menyanyikan sebuah suku kata dengan beberapa nada dieksplorasi Tony. Inilah teknik melismatik yang populer pada musik klasik abad pertengahan, juga dalam tradisi Aceh. "Saya mencampur antara teknik tradisi dan klasik Barat," kata Ubiet.
Simaklah, bagaimana Ubiet menyanyikan puisi Chairil Anwar Hampa. Sepi di luar, sepi menekan mendesak..., huruf r pada kata luar digeletarkan. Lalu, tiba-tiba kalimat berikutnya disentak-sentak atau seperti ditekan. Ini berbeda dengan lagu Linastranisi. Di sini suara Ubiet seperti campuran seorang yang tengah mendaras doa dengan sayup-sayup gaung rapalan jemaah.
Ide Tony dari mana-mana. Jazz mengilhami komposisi Cerke. Tapi di tangan mood jazz yang trengginas ia menjadi muram. Untuk komposisi dengan lirik tanpa arti, Toni terlihat bermain-main suku kata. Lagu Ke Er Se, misalnya. Teksnya ke-er-se-pah-la sa-ke-ko-re-je-ho. Itu dinyanyikan Ubiet dengan intonasi lambat-lambat. "Pernah di partitur Tony yang macam begitu terselip kata Sal-mur-gi-yan-to atau Par-ma-di, saya sampai menahan ketawa saat menyanyikan." Itu nama kritikus tari dan penari kenamaan kita. Agaknya Toni sering menyelipkan nama orang yang dikenalnya di komposisi nonsensical syllable.
Tony banyak berbicara tentang kematian. Yang mengesankan The Art of Dying. Dahulu ini dinyanyikan Ubiet di Bentara Budaya Jakarta dalam pameran fotografer Oscar Motulloh yang bertema kuburan. Saat itu Oscar memajang potret-potret makam sebuah pekuburan Prancis dalam skala besar. Kini, walau tanpa gambar itu, kesan "kudus yang penuh maut " tetap tersampaikan. Untuk korban di Aceh. Tony juga membuat lagu yang teksnya diambil dari syair tradisional Aceh Saleum (Salam). Jangan bayangkan seperti lagu pop yang merintih. Mulanya ini untuk film Garin Serambi. Tapi tak jadi, mungkin terlalu berat.
Orang boleh mengatakan, dalam teknik pre-recorded semuanya bisa diakali dengan software. Tapi harus diakui, ada nuansa atau efek tertentu yang tak bisa dicapai. Album ini dirilis atas jasa Dwiki Darmaw0an, sohib Ubiet di kelompok jazz Krakatau. "Susah mau mencari major label yang mau membiayai," kata Ubiet. Toh, album yang dicetak seribu buah ini rencananya bakal didistribusikan melalui label Virgo. Inilah sebuah gerilya Tony-Ubiet-Dwiki memasarkan musik kontemporer. Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo