Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
15 meter dari jalan ke Batuan, ada pematang pada tebing Seseorang turun ke kali dan menyanyi, mengikuti bunyi arus yang menyisir batu
Diiringi alunan kuartet gesek, penyanyi sopran Nyak Ina Raseuki membuka kisah Pastoral. Ubiet—demikian soprano itu biasa disapa—mengawali sebuah kisah tentang pengalaman sensual sepasang kekasih di suatu desa di Bali. Lalu muncul soprano Binu D. Sukiman dari balik layar. Ia membawa seikat kembang, yang kemudian diletakkannya di atas tumpukan buku.
Musik kuartet gesek terus mengalun. Kadang mengalir liris, kadang menyentak-nyentak. Di gedung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Mazuki, Jakarta, Jumat dan Sabtu malam pekan lalu, duet Ubiet-Binu bergantian menyanyikan kisah sentimentil itu sepanjang 33 menit.
Pastoral merupakan komposisi musik untuk dua soprano dan kuartet gesek. Karya komponis musik kontemporer Tony Prabowo itu terilhami sajak 12 bagian Goenawan Mohamad yang berjudul sama, yang ditulis pada akhir 2002. Sajak itu ditulis ketika penyair dan jurnalis yang akrab disapa GM itu mengembara ke Batuan, sebuah desa eksotis di kawasan Ubud, Bali.
Dan Pastoral yang hadir di Graha Bhakti Budaya adalah karya kolaborasi Tony-GM yang ke-13. Kolaborasi pertama bertajuk Asmaradana tercipta pada 1984. Sejak itu mengalirlah karya-karya kolaborasi lainnya, di antaranya Dongeng Sebelum Tidur, Panji Sepuh, Opera Kali, dan Doa Persembunyian.
Menurut Tony, komposisi musik Pastoral mulai digarap sekitar tiga tahun lalu. Proses penciptaannya spontan. Ia membaca dan menghayati isi sajak panjang itu, lalu menuliskan komposisi musiknya. ”Karakter sajak itu memang cocok dengan kuartet gesek,” katanya. ”Karena ia lebih sentimentil dan melodius dibandingkan dengan The King’s Witch,” pria 50 tahun yang belajar komposisi di Institut Kesenian Jakarta itu menjelaskan.
Tony lalu menggandeng ensembel kuartet gesek terpandang dari Amerika, Momenta Quartet. Para personel kuartet itu adalah lulusan sekolah musik The Julliard School of Music, New York. Tony berkenalan dengan mereka ketika ia bersama GM mementaskan Opera The King’s Witch di New York, Amerika, pada tahun 2000.
Salah satu misi kuartet gesek itu adalah mempertemukan musik kontemporer dengan musik-musik besar masa lampau—dari musik abad ke-20 hingga genre-genre lama yang relatif kurang dikenal, seperti karya untuk biola di zaman Pencerahan.
Komposisi musik Tony boleh dibilang mengingatkan kita pada karya-karya Arnold Schoenberg. Seperti kita ketahui, komponis Wina, Austria, itu memelopori sistem 12 nada sebagai teknik untuk mengatur bentuk dalam musik atonal. Dan Schoenberg menggunakan harmoni dalam komposisinya dengan nada-nada kromatik. Langkah harmoni antara chord satu dengan chord lainnya berjarak pendek-pendek.
Tony menyatakan, ia memang terilhami musik karya-karya Schoenberg, juga dua komponis Wina lainnya, Alban Berg dan Anton Webern. Tapi, ia menambahkan, sistem 12 nada yang diserap dari Schoenberg terbatas hanya pada bunyi dan kekuatan ekspresinya, bukan pada tekniknya.
Dalam pertunjukan Pastoral pekan lalu bisa dikatakan musik Tony tak berdiri sendiri. Dan kekuatannya justru terletak pada kolaborasi pentas itu. Di bawah arahan GM, Pastoral hadir se-bagai senyawa puisi, musik, tari, dan visual art. Bermula dari puisi yang mengilhami musik. Lalu musik mengilhami tarian dan visual art.
Secara keseluruhan, pertunjukan Pastoral cukup menarik. Permainan Momenta Quartet sangat memukau. Mereka memainkan alat musik gesek dengan keterampilan di atas rata-rata, presisinya sangat tinggi. Hanya sesekali terdengar sedikit perbedaan timbre. Jadi, secara teknis interpretasi terhadap karya itu terdengar hampir sempurna.
Syair yang dinyanyikan duet Ubiet-Binu juga cukup mulus. Menurut Binu, ia merasa lebih mudah dan enak menyanyikan syair dalam bahasa Indonesia ketimbang Inggris, Jerman, atau Italia. ”Karena syair berbahasa Indonesia lebih mudah dipahami dan dihayati,” katanya.
Pilihan kata dalam Pastoral, Binu menambahkan, juga sangat indah. Syairnya tak kalah indah dengan lieder, komposisi vokal tunggal yang digubah dari puisi, karya komponis luar negeri yang berbahasa Inggris, Jerman, atau Italia. ”Pilihan katanya indah dan enak dinyanyikannya.”
Penampilan lain yang cukup kuat dalam pertunjukan Pastoral adalah tarian yang dibawakan Okty Budiati. Kadang gerakannya begitu lentur, meliuk-liuk lincah, dan diam membeku. Menurut Okty, seorang koreografer tari kontemporer ini, gerakan-gerakan tari yang dibawakannya diadaptasi dari Yoga dan teknik meditasi.
Kekuatan lain dalam pentas Pastoral adalah visualisasi yang ditampilkan. Kehadiran sejumlah gambar dengan efek visual yang menarik kian menambah kekayaan ornamen dalam pertunjukan itu. Bagi yang tak terbiasa menikmati soprano dengan iringan musik kuartet gesek, apalagi sepanjang 33 menit, efek visual yang ditampilkan terasa menyenangkan.
Ketika musik pertama kali mengalir, di layar muncul gambar deburan ombak yang menari-nari. Lalu muncul gambar bebek yang merupakan interpretasi dari suasana pedesaan, seperti dilukiskan dalam syair-syair Pastoral. Muncul pula gambar jam tua, yang menginterpretasikan kefanaan. Lalu ada permainan warna yang memikat.
Perancang visual pentas itu, Cecil Mariani, menyatakan bahwa untuk kepentingan pertunjukan ini, Cecil mendengarkan dulu komposisi musik karya Tony Prabowo. Ia kemudian membaca sajak Pastoral. Itu semua mengilhaminya untuk membuat tafsir visualnya.
Menurut Cecil, tak ada yang istimewa dalam proses kreatifnya. Puluhan gambar yang ditampilkannya itu bermula dari 12 sketsa sebagai bahan dasarnya. Ia membuat kedua belas sketsa itu menggunakan pensil dan cat air. Setelah itu, ia mengolahnya dengan program komputer sehingga menjadi puluhan gambar.
Sepanjang pertunjukan Cecil kerap menampilkan gambar jam dan angka 12. Menurut dia, untuk yang disebut terakhir tafsir visualnya kira-kira begini: angka 12 itu menunjukkan sistem nada yang dipakai dalam musik Tony Prabowo.
Sedangkan dalam permainan warna, dosen Desain Komunikasi Visual Universitas Pelita Harapan, Jakarta, itu kerap menampilkan biru dan ungu. Cecil juga kerap mengontraskan kedua warna itu dengan warna merah menyala.
Menurut dia, biru dan ungu merupakan respons terhadap syair Pastoral yang melankolis dan sentimentil. Sedangkan kehadiran warna merah memberi aksentuasi: meski sentimental, tak picisan. ”Pastoral itu sajak yang sentimentil tapi tak picisan,” katanya.
Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo