Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Butoh dari Bawah Pohon Serut

Wangnin Bunmei memainkan Kereta Kardus. Menggabungkan butoh, balet, dan cerita komedi.

4 Desember 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di bawah pohon serut itu seorang penari lincah bergerak ke sana kemari. Kaki rampingnya bertumpu pada ujung jari. Wajahnya berseri, tangannya menggapai ke atas, jari-jari lentiknya menari lentur sekali. Di Teater Utan Kayu, Jakarta, Selasa lalu, ia terbang bagai seekor burung, kadang seperti ingin meraih langit. Sebuah gerak tari yang tak asing, balet. Tapi ia bukan penari balet.

Perempuan centil itu terus menari, dan kini sambil duduk di punggung penari laki-laki (Daisuke) yang bersembunyi di dalam kardus. Dari balik kardus itu, Daisuke juga ikut menari. Tapi ia cuma menggerak-gerakkan tangannya yang ia bungkus dengan sepatu balet, mengiringi gerak dan ekspresi wajah Kae Ishimoto, sang penari perempuan. Meski hanya tangan dan wajahnya yang menari, gerakannya terpancar, penuh rasa dan kekuatan jiwa. Sebuah ciri khas butoh.

Dua penari yang tergabung dalam kelompok Wangnin Bunmei itu diiringi musik garapan Kazuya, Zaori, dan kawan-kawan. Sesekali bunyi khas kereta api mengiring gerak tari mereka. Jes-jes-jes ....nguik.....jes-jes-jes.... ”Khusus untuk Indonesia, kami banyak mengambil aliran musik rock sebagai pengiringnya,” tutur Kae, yang juga koreografer tarian ini.

Banyak cerita mengalir dari 23 kardus berukuran 1 x 0,5 x 0,5 meter itu. Kardus-kardus tersebut disusun menyerupai gerbong kereta api, menutup empat personel band pengiring. Cerita berawal dari sebuah stasiun. Seorang perempuan muda dengan rambut kuncir dua duduk lebih dekat dengan penonton. Di sampingnya, tas-tas bawaan, layaknya orang bepergian. Satu dos nasi dan air mineral menemaninya. Sebuah pemandangan yang sama, di mana-mana di lingkungan pemberhentian kereta.

Alkisah, Kae Ishimoto bertemu orang yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Lalu mengalirlah cerita komedi tentang penari balet, dan cerita lain seputar kereta. ”Di Jepang ada cerita, kereta yang sesungguhnya tidak ada. Lalu, ada orang naik kereta itu dan dibawa ke mana tidak jelas. Mungkin di Indonesia juga pernah ada cerita-cerita ajaib seperti itu,” ucap Kae.

Kae ingin mengangkat buah imajinasinya lewat cerita itu. Jadilah sebuah repertoar Kereta Kardus. Pertunjukan itu digelar di panggung terbuka di halaman Museum Budaya Ullen Sentalu, Kaliurang, di kaki Gunung Merapi, Yogyakarta, dua pekan lalu, seminggu kemudian di Teater Utan Kayu, Jakarta.

Hampir satu jam pertunjukan itu berlangsung. Penonton, yang sebagian besar penduduk Kaliurang, tampak sangat menikmati. Bahkan ketika gerimis menetes, mereka tetap bertahan, cukup bernaung di bawah pohon serut yang akar-akarnya menggelantung di sekitar panggung. ”Sayang kalau ditinggal. Bagus dan lucu,” kata salah seorang penonton.

Penari Bimo Wiwoho juga mengungkapkan, karakter butoh dalam tarian itu sangat kuat. Unsur tradisional tarian Jepang itu kemudian diperkaya dengan suguhan komedi. ”Ini sebuah pelesetan tari yang cerdas,” katanya.

Kae Ishimoto memang ingin menggali sisi kejenakaan dari sebuah tarian. Menurut Kae, Wangnin artinya konyol, lucu, tapi cerdik. Rupanya, Kae ingin membuat karya yang bisa menembus semua kalangan. ”Kami ingin karya kami bisa dinikmati semua orang, dari kakek-kakek sampai anak-anak,” tuturnya.

Empat tahun bergabung dengan penari butoh tersohor Waguri, Kae tak mungkin meninggalkan pengaruh butoh pada tariannya. Namun Kae tak hendak menjadikan butoh sekadar sebuah tarian, tapi juga hiburan segar yang bisa dinikmati semua orang. Kae menyebut karyanya sebagai bu-toh entertainment. Sayang, lokasi pertunjukannya di Yogyakarta sangat jauh sehingga tak banyak orang menikmatinya.

L.N. Idayani (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus