SEBUAH persoalan baru muncul di pentas hukum Indonesia. Siapa yang berhak atas anak hasil inseminasi buatan jika orangtuanya bercerai? Pengacara O.C. Kaligis dua pekan lalu membawa persoalan ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat. "Kami ingin mencari kepastian hukum untuk kepentingan klien sekaligus masyarakat umum," ujar Kaligis tentang gugatannya itu. Kasus rebutan anak yang menyangkut anak hasil inseminasi buatan yang ditangani Kaligis ini baru pertama kali terjadi di Indonesia. Ceritanya, klien Kaligis, Molly (bukan nama sebenarnya) pada 1986 bercerai dengan Benny (nama samaran). Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang memutus perceraian itu menetapkan bahwa anak satu-satunya hasil perkawinan mereka -- Dino (juga nama samaran), berusia 9 tahun -- berada di bawah perwalian sang ayah. Molly, si ibu, diberi hak menengok secara periodik. Namun, menurut penuturan Molly, Benny ternyata ingkar janji. Ia selalu dihalang-halangi setiap ingin menengok Dino. "Benny berusaha menjauhkan Dino dari saya," katanya menuduh. Karena merasa dipisahkan dari anaknya, Molly terdorong ingin merengkuh Dino ke pangkuannya. Untuk maksud itu, lewat gugatannya, ia membongkar rahasia pribadi perkawinannya dengan Benny. Dino ternyata anak hasil inseminasi buatan. Molly mengungkapkan, benih yang dicangkokkan pada rahimnya bukan sperma suaminya tapi sperma donor, karena suaminya mandul. Molly, yang menikah di Catatan Sipil tahun 1976, menjalani proses inseminasi di sebuah rumah sakit bersalin di Jakarta pada 1982. Pada April 1983 lahirlah Dino. "Untuk menjaga citra keluarga, waktu bercerai dulu saya merahasiakannya. Tapi sekarang tidak perlu lagi," katanya. Dengan novum baru ini, O.C. Kaligis optimistis kliennya bisa menguasai kembali Dino. "Menurut hukum perdata, anak itu tak mempunyai hubungan darah dan hubungan hukum dengan tergugat," kata Kaligis. Sementara itu, Benny yang dihubungi TEMPO sehubungan dengan gugatan Molly, tak mau berkomentar. "Saya pusing memikirkan masalah ini. Tunggu saja jawaban pengacara saya di pengadilan," katanya. Terlepas apa hasil putusan hakim nanti (sidang dijadwalkan Mei ini), persoalan ini layak mendapat perhatian kalangan hukum kita. Sejumlah ahli hukum yang dihubungi TEMPO menyebutkan, di Indonesia memang belum ada undang-undang khusus yang mengatur masalah anak hasil inseminasi buatan. Namun, untuk mengisi kekosongan hukum, menunggu undang-undangnya disusun, Ketua Jurusan Hukum Perdata FH UI Wahjono Darmabrata menunjukkan jalan keluar. Jika mengacu pada Pasal 250 KUH Perdata, menurut Wahjono, hak Benny terhadap Dino tak bisa diganggu gugat. "Berdasarkan pasal itu, meskipun yang menjadikan si anak bukan suaminya sendiri, selama anak tersebut lahir dalam perkawinan, maka ayah si anak adalah suami dari istri yang melahirkan bayi tabung itu," katanya. "Hukum perdata kita tak mempermasalahkan status hubungan genetik antara ayah dan anak," kata Wahjono. Melengkapi pendapat Wahjono, Ketua Program Kekhususan Perdata, Jurusan Hukum Perdata FH UGM Siti Ismiati Yeni menunjuk UU Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974). Dalam UU itu juga disebutkan, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan sepanjang perkawinan suami istri. Artinya, soal asal usul memang tak dipersoalkan. Karena itu, Yeni menganggap Dino sah anak Benny. Hingga kini dikenal ada empat jenis inseminasi buatan (in vitro). Pertama, anak yang lahir dari pembuahan benih ayah dan indung telur ibunya. Hasil pembuahan kemudian dimasukkan ke rahim ibunya -- anak itu dilahirkan oleh si ibu. Kedua, anak hasil inseminasi buatan tempat pembuahan terjadi dari sperma donor (bukan milik ayah) dengan ovum ibu. Hasil inseminasi kemudian ditanamkan pada rahim si ibu. Kasus Molly dan Benny masuk kategori ini. Ketiga, inseminasi dengan memakai ibu pengganti (sewa rahim). Di sini, benih ayah membuahi indung telur ibu pengganti. Hasil pembuahan juga ditanam pada rahim ibu pengganti. Keempat, adalah hasil inseminasi dengan benih suami dan ovum istri tapi hasil pembuahan ditanamkan ke rahim sewaan. Menurut Yeni, hukum Indonesia -- walau tidak persis, sudah menjangkau jenis inseminasi model pertama dan kedua. Tapi jenis yang ketiga dan keempat, belum ada aturannya. "Kalau tiba-tiba saja muncul kasus pasti bakal ramai karena kita belum memiliki undang-undangnya," ujarnya. Inseminasi secara umum memang kaya masalah. Bahkan, di Amerika Serikat timbul kehebohan di sekitar masalah ini. Kasusnya yang populer, kasus Bayi M (Melissa). Tersebutlah pasangan William Stern dan Elizabeth. Mereka sepakat menitipkan hasil pembuahan mereka ke rahim ibu sewaan, Mary Beth Whitehead. Persoalan timbul setelah bayi M lahir, 26 Maret 1986. Mary Beth tiba-tiba tak bersedia menyerahkan bayi yang dilahirkannya, padahal ia sudah menerima uang sewa sepuluh ribu dolar AS dari Stern. Persoalan akhirnya naik ke pengadilan dan hakim Pengadilan Negeri Hackensack, New Jersey, memutuskan bayi M milik sah keluarga Stern. Sampai di tingkat kasasi, Mahkamah Agung tetap memenangkan Stern. Pertimbangan hakim, menyewa rahim untuk melahirkan sama dengan menjual bayi. Mary hanya diberi hak mengunjungi anaknya dua jam, sekali seminggu. Alasan lain hakim memenangkan Stern, berdasarkan penyelidikan pengadilan, Mary dianggap tak mampu membesarkan bayinya. Selain kondisi keuangan, perilakunya dinilai buruk. Sebaliknya, keluarga Stern dianggap layak. Stern ahli biokimia dan istrinya dokter spesialis anak. Kasus Bayi M menunjukkan bahwa ada atau tidak ada dasar undang-undangnya, banyak hal bisa dijadikan pertimbangan dalam memutuskan kasus anak hasil inseminasi buatan. Aries Margono, Nunik Iswardhani (Jakarta), M. Faried Cahyono (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini