Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Terdampar Lagi di Pulau Jules Verne

Brad Peyton mengadaptasi novel Jules Verne ke film petualangan tiga dimensi berbalut humor dalam Journey 2: The Mysterious Island. Diluncurkan di Taipei, Taiwan.

30 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ni hao ma!" teriak Dwayne "The Rock" Johnson, aktor Hollywood, di sebuah panggung yang dibangun di pelataran Vieshow, bioskop megaplex terbesar di Taipei, Taiwan, Rabu dua pekan lalu. Sapaan yang berarti "apa kabar" dalam bahasa Mandarin itu disambut teriakan penuh semangat dari ratusan orang—kebanyakan remaja—yang menghadiri acara karpet merah untuk peluncuran film terbaru Johnson, Journey 2: The Mysterious Island. Teriakan makin ramai ketika Brad Peyton, sutradara film itu, turut pula menyapa masyarakat dengan "Ta ka ho!", ungkapan dalam bahasa Taiwan yang bermakna sama.

Kota Taipei, yang bersuasana Imlek, jadi tempat pemutaran perdana film tiga dimensi yang merupakan lanjutan dari Journey to the Center of the Earth (2008) itu di kawasan Asia. "Saya sangat bergairah dengan teknologi baru dan film tiga dimensi itu sangat keren," kata Johnson. Film yang dibikin dalam format tiga dimensi itu akan diputar di layar-layar bioskop seluruh dunia mulai 3 Februari mendatang.

Seperti film pertama, film kedua ini diangkat dari novel petualangan karya Jules Verne. The Mysterious Island, yang ditulis Verne dalam bahasa Prancis pada 1874, merupakan kelanjutan dari Journey to the Center of the Earth (1872) dan Twenty Thousand Leagues Under the Sea (1873). Namun Peyton, yang sebelumnya menyutradarai film animasi tiga dimensi Cats & Dogs: The Revenge of Kitty Galore, mengolah cerita Verne menjadi lebih aktual dengan tambahan bumbu humor dan cerita keluarga. "Saya ingin membuat cerita yang inspiratif dan baru," kata dia.

Peyton mempertahankan sebagian plot novel Verne, khususnya tentang pulau misterius yang semula damai dan layak huni tapi kemudian tenggelam ketika gunung berapinya meletus. Bagian cerita lainnya berubah total.

Dalam novel Verne, tokoh utama cerita adalah Kapten Cyrus Harding, insinyur yang menjadi perwira pasukan federal (negara-negara bagian di Amerika Utara) melawan pasukan konfederasi (koalisi 11 negara bagian di Amerika Selatan) dalam Perang Sipil Amerika Serikat (1861-1865). Harding ditangkap pasukan musuh, tapi berhasil kabur dengan balon udara bersama Gideon Spilett, wartawan New York Herald; Nebuchadnezzar, budak yang dibebaskan Harding; Pencroft, pelaut; Herbert Brown, pemuda yatim yang diasuh Pencroft; dan Top, anjing peliharaan Harding.

Balon yang mereka tumpangi dihantam badai di Samudra Pasifik pada Maret 1865. Rombongan kecil itu pun terseret badai sejauh 11 ribu kilometer lebih dan terdampar di sebuah pulau terpencil. Mereka kemudian membangun permukiman baru di sana. Jules Verne mendemonstrasikan pengetahuannya yang luas tentang fisika dan biologi melalui sosok Harding, yang digambarkan sebagai orang yang menguasai banyak pengetahuan tentang tumbuhan dan pembuatan berbagai alat berdasarkan bahan-bahan terbatas yang tersedia di pulau itu. Harding mengajari teman-temannya cara membuat berbagai peralatan untuk kebutuhan sehari-hari mereka, seperti bahan bakar, soda, sabun, dan gelas.

Tapi, di luar keahlian Harding, mereka kadang-kadang ditolong sosok misterius, yang belakangan diketahui sebagai Kapten Nemo, pemilik kapal selam Nautilus, yang jadi tokoh utama dalam novel Twenty Thousand Leagues Under the Sea. Rupanya pulau misterius itu jadi tempat persembunyiannya setelah kapal selamnya tersedot pusaran air, seperti diurai Verne pada bagian akhir novel Twenty Thousand Leagues.

Film Journey 2 meminjam plot yang sama, tapi mengganti tokoh Harding dan kawan-kawan dengan sekelompok petualang dari masa kini. Peyton juga meminjam bagian cerita dari Twenty Thousand Leagues Under the Sea karya Verne dan rujukan pada Robinson Crusoe karya Robert Louis Stevenson serta Gulliver’s Travels karya Jonathan Swift.

Peyton juga mengganti semua pemain dari Journey pertama, kecuali tokoh Sean Anderson, yang masih dipegang Josh Hutcherson. Para pemain lain adalah Dwayne Johnson, Kristin Davis, Michael Caine, Luis Guzman, dan Vanessa Hudgens, si cantik yang terkenal melalui film televisi High School Musical.

Cerita kali ini berpusat pada Sean Anderson. "Dia kini sudah 17 tahun dan siap menapakkan kakinya di dunia. Ini kesempatannya untuk membuktikan bahwa dia tak cuma suka menjelajah. Dia adalah penjelajah dengan caranya sendiri," kata Peyton.

Sean berhasil mencuri sepotong catatan sinyal radio yang ia yakini dikirim oleh kakeknya, Alexander Anderson (Michael Caine), penggemar Jules Verne yang hilang saat mencari sebuah pulau beberapa tahun lalu. Bersama Hank (Dwayne Johnson), ayah tirinya, Sean memecahkan kode sinyal itu, yang mengarah pada sebuah pulau misterius di Pasifik Selatan. Dengan bantuan Gabato (Luis Guzman) dan putrinya yang seksi, Kailani (Vanessa Hudgens), Sean dan Hank memulai petualangan mencari sang kakek.

Mereka terbang dengan helikopter butut Gabato, tapi perjalanan mereka dihadang hurikan. Sean tetap memaksa mereka menembusnya. "Untuk mencapai pulau itu, kita harus terbang ke dalam pusat hurikan," kata Sean, mengutip paparan Jules Verne di novelnya.

Helikopter pun masuk ke tengah pusaran badai dan hancur berantakan. Untunglah semua penumpangnya selamat dan terdampar di sebuah pulau. Petualangan pun dimulai ketika mereka menembus sebuah gua dan menemukan sebuah pemandangan yang indah, mirip lukisan-lukisan mooi indie. Namun kehidupan di pulau itu ganjil, atau tepatnya berkebalikan dari dunia biasa yang kita kenal. Semua yang besar di dunia kita menjadi kecil di sana, begitu pula sebaliknya untuk tumbuhan dan hewan berukuran kecil—yang jelas merujuk pada konsep Gulliver’s Travels—sehingga mereka bertemu dengan gajah seukuran kucing dan kadal sebesar dinosaurus.

Petualangan jadi seru ketika mereka diburu kadal raksasa itu hingga terpojok dan diselamatkan kakek Sean. "Saya selalu berlari di sepanjang film, kecuali saat berhadapan dengan kadal itu," kata Johnson sambil tertawa.

Namun, di luar adegan kejar-kejaran itu, film ini juga menyelipkan kisah keluarga, seperti bagaimana Hank mencoba dekat dengan Sean dan cinta monyet Sean kepada Kailani. Hank bahkan mengajarkan satu jurus yang disebutnya "the peck pack of love", yakni menggerak-gerakkan dadanya yang gempal untuk memikat gadis.

Film ini juga menawarkan komedi di sana-sini, yang digulirkan Johnson, yang telah membintangi beberapa film komedi, seperti The Rundown dan Tooth Fairy, dan Luis Guzman, yang sering muncul sebagai tokoh lucu di berbagai film. Anda bisa menyaksikan, misalnya, bagaimana Gabato gemetaran ketika kakinya membuat retak sebutir telur kadal raksasa pada saat sang induk kadal sedang tertidur tak jauh dari situ.

Penonton juga akan dimanjakan oleh berbagai efek tiga dimensi. Biaya produksinya yang US$ 110 juta itu sebagian besar memang digunakan untuk efek khusus ini. Seperti Journey pertama, film ini memakai Fusion System, kamera canggih 3D yang dikembangkan James Cameron dan Vince Pace serta digunakan dalam pembuatan film Avatar. Dengan efek 3D, penonton akan mendapatkan sensasi seperti bola yang seakan-akan meluncur ke luar layar menuju mata mereka.

Sebagai sebuah film keluarga, Journey 2 menawarkan banyak hal, dari komedi hingga efek 3D. Namun, sebagai film petualangan, ia kurang memacu adrenalin, meskipun banyak adegan yang sebenarnya bisa dieksploitasi untuk membuat penonton tegang. Plot cerita juga sederhana dan lurus, tanpa kejutan di akhir cerita. Tapi, Saudara-saudara, ini film hiburan, jadi mari kita nikmati sambil mengunyah popcorn dan menyesap soda.

Kurniawan (Taipei)


Brad Peyton:
Saya Percaya kepada yang Mustahil

Muda dan melejit. Brad Peyton, sutradara kelahiran Kanada berusia 32 tahun, mulai dikenal dunia terutama lewat film animasi layar lebar tiga dimensi, Cats & Dogs: The Revenge of Kitty Galore (2010). Karier perfilmannya baru dimulai dan langsung mencuat ketika dia membuat film pendek, Evelyn: The Cutest Evil Dead Girl, yang jadi unggulan Genie Award, penghargaan sekelas Oscar di Kanada, pada 2002. Film ini menarik perhatian Playtone, perusahaan milik Tom Hanks, yang kemudian merekrutnya untuk menulis dan menyutradarai film animasi layar lebar, Spider and the Fly.

Di ranah pertelevisian, Peyton menuai pujian melalui, antara lain, seri animasi lucu What It’s Like Being Alone, animasi Pirates Passage dengan bintang Donald Sutherland, dan seri animasi televisi, Dr. Dimensionpants. Dia kini sedang menyiapkan beberapa film, termasuk film layar lebar Billy Grimm.

Dengan kemeja ungu muda lengan panjang dan celana jins, ia menjawab pertanyaan Kurniawan dari Tempo di Le Meridien Hotel, tempatnya menginap selama di Taiwan, pada Rabu dua pekan lalu.

Anda tampaknya suka sekali pada fiksi sains?

Saya penggemar berat fiksi sains. Di masa kecil, sekitar usia 7 tahun, saya membaca banyak buku fiksi sains. Ibu saya punya perpustakaan yang penuh buku karya pengarang seperti Stephen King, Isaac Asimov, dan lainnya. Yang membedakan Jules Verne dari pengarang lain adalah bahwa Verne berpikir fantasi itu datang dari dunia kita.

Apakah gagasan itu Anda terapkan pada film ini?

Ya, kami mendasarkan fantasi dari kenyataan. Anda lihat di film ada adegan gajah kecil di sebuah pulau. Saya melihat, bila gajah bermigrasi ke pulau itu, hanya gajah kecil yang selamat. Meskipun itu fantastis, saya mencoba memberinya dasar. Saya percaya pada yang mustahil, karena yang mustahil sesungguhnya dapat dipercaya. Bagi saya, film ini harus punya dasar membumi dari dunia kita.

Mengapa Anda merombak novel The Mysterious Island karya Verne?

Novel itu semacam inspirasi. Saya tak ingin membuat cerita seperti yang sudah Anda kenal sebelumnya. Saya ingin membuat cerita yang inspiratif dan baru. Tapi saya tetap menghormati sumbernya dengan mempertahankan versi asli Jules Verne, misalnya, Kapten Nemo. Selama ini orang selalu mengabaikan bahwa Kapten Nemo itu orang India. Saya tak ingin mengabaikannya. Pengabaian itu bodoh. Itu perincian yang sangat orisinal dari novelnya, bagian dari buku itu. Jadi saya menyarikan novel itu dengan mengambil gagasan terbaiknya.

Apakah itu juga terjadi pada unsur lain di film tersebut?

Pada musik, misalnya. Saya penggemar berat music score karya Bernard Herrmann untuk film Psycho karya Alfred Hitchcock pada 1960. Herrmann menggubah score dan soundtrack yang hebat. Saya ingin Herrmann muncul di film ini. Andrew Lockington, komposer saya, setelah mendengarkan karya Bernard Herrmann, lalu membuat komposisi fantastis. Saya bilang, saya ingin seperti Herrmann, ada suara trompet tinggi, misalnya.

Mengapa Anda memilih format 3D?

Bagi saya, saat ini 3D adalah alat yang fantastis untuk film keluarga. Saat saya menguji film ini di hadapan penonton anak-anak, ketika logo 3D keluar, mereka berteriak, "Wuuu!" Tiga ratus anak berteriak seperti itu, padahal itu baru logonya! Ini fantastis. Saya kira ini sifat anak-anak. Saat Anda masih kanak-kanak, Anda ingin mengalami film secara penuh, berada "dalam" film, seperti "aku ingin jadi tokoh itu" atau semacamnya.

Apakah menurut Anda film 3D adalah masa depan sinema?

Masih terlalu dini untuk mengatakannya demikian. Ini babak kedua film 3D jadi kenyataan. Kalau Anda belum lupa, sebelumnya pada 1950 ada revolusi film 3D saat Alfred Hitchcock membuat film 3D pertama, Dial M for Murder. Soal masa depan film 3D, sebagai pembuat film, saya sangat ingin menciptakan pengalaman yang secara esensial memang mendapatkan perasaan tiga dimensi lewat film itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus