Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

'Memaafkan-Melupakan' di 6 Derajat Celsius

Festival sastra Winternachten di Den Haag kali ini banyak membahas sastra dalam tekanan politik dan ekstremitas agama.

30 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Malam-malam akhir Januari pastilah bukan saat-saat paling menyenangkan di Den Haag, Belanda. Dingin menggigit. Kalau suhu mencapai 6 derajat Celsius, itu sudah lumayan. Namun akan terasa lebih menyiksa karena ditambah angin beku Laut Utara yang berembus kencang. Lebih-lebih pada malam hari.

Namun tetap saja ratusan orang berdatangan melawan cuaca yang tak bersahabat itu, untuk mendatangi Winternachten, festival sastra internasional, yang berlangsung 4 hari, 19-22 Januari lalu, di Theater aan het Spui di pusat Kota Den Haag.

Seperti tampak pada Sabtu malam, 21 Januari, itu. Di Foyer, ruangan terbuka yang luas dalam Theater aan het Spui, seratusan orang berjejalan. Dua penari salsa memperagakan gerak tari, yang diikuti sejumlah pasangan. Sebagian berdiri saja menonton. Sebagian duduk di bar menikmati penganan atau minuman. Ini acara ruang terbuka yang lepas dan ringan.

Acara lebih "berat" berlangsung di ruang tertutup, beberapa puluh langkah di kiri dan kanan—atau depan dan belakang Foyer. Di Filmhuis (Rumah Film) 6 dan Filmhuis 7 berlangsung konser atau pemutaran film. Di Groote zaal (Aula Besar) dan Kleine zaal (Aula Kecil) berlangsung pertunjukan musik, pembacaan puisi, atau diskusi.

Peserta dari Indonesia, sastrawan/wartawan Leila S. Chudori, kebagian tampil dalam dua sesi. Pada hari pertama, 19 Januari lalu, redaktur senior Tempo itu tampil dalam sesi "Perempuan dan Seksualitas", bersama Bejan Matur, sastrawan perempuan Kurdi Turki; Naema Tahir, sastrawan perempuan dan pegiat hak asasi Belanda keturunan Pakistan; serta Kader Abdolah, sastrawan Iran yang eksil di Belanda.

Lalu, Sabtu malam itu, Leila tampil dalam sesi bertema "Forgive or Forget" bersama dua sastrawan lain: Kopano Matlwa, sastrawan perempuan Afrika Selatan, dan Adriaan van Dis, sastrawan Belanda yang hidup dan karyanya banyak terkait dengan Indonesia dan Afrika Selatan. Sementara itu, moderatornya seorang wartawan Belanda-Suriname, Anil Ramdas.

"Memaafkan atau Melupakan" tentu langsung mengingatkan kita pada istilah yang populer melalui sebuah karya besar dalam kehidupan sosial-politik Afrika Selatan, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi—Truth and Reconciliation Commission.

Indonesia pernah mencoba versinya sendiri untuk komisi ini, baik untuk memulihkan luka politik Indonesia sendiri maupun terkait dengan pendudukan Indonesia di Timor Timur. Tapi prosesnya, alih-alih hasilnya, bila dibandingkan dengan Afrika Selatan, ya, jauh panggang dari api. Di Timor, malah komisi itu disulap jadi Komisi Kebenaran dan Persahabatan.

Kopano Matlwa, dokter dan sastrawan belia, memaparkan betapa proses peralihan Afrika Selatan yang semula begitu hebat, melalui Nelson Mandela serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, kini jadi seakan-akan kejayaan masa lalu belaka. "Kami seharusnya terus melangkah dengan berbagai program nyata, melanjutkan apa yang sudah dengan sangat baik dimulai. Tapi para politikus membajak proses perubahan itu," kata Matlwa.

Kopano Matlwa memperoleh penghargaan Hadiah Buku Uni Eropa 2007 untuk karya pertamanya, Kelapa (Coconut). Ini sebuah novel tentang dua perempuan muda kulit hitam yang harus berjuang merumuskan jati diri mereka di tengah masyarakat urban Afrika Selatan. "Kelapa istilah yang menghinakan, khususnya untuk orang kulit hitam waktu itu," ia menjelaskan. Novel keduanya, Spilt Milk, ditulis pada periode yang hampir bersamaan. Keduanya ditulis ketika ia sedang menyelesaikan studi di fakultas kedokteran di Johannesburg.

Adapun Bejan Matur dan Naema Tahir membicarakan bangkitnya ancaman dari kaum garis keras Islam terhadap kebebasan kreatif dan kebebasan sipil pada umumnya, termasuk di kalangan masyarakat Islam di Eropa.

Winternachten diselenggarakan sejak 1995. Pada mulanya digagas sebagai forum sastra Belanda-Indonesia. Namun kemudian, kata Direktur Festival Ton van de Langkruis, dari tahun ke tahun cakupannya dikembangkan. "Pada tahun-tahun berikutnya diperlebar dengan melibatkan negara-negara bekas koloni Belanda, seperti Suriname, Provinsi Cape di Afrika Selatan, dan kawasan Antilles Belanda di Karibia, yang waktu itu masih merupakan koloni ," Van de Langkruis menjelaskan.

Ging Ginanjar (Den Haag)


Ton van de Langkruis:
Ini tentang Impian

Direktur Festival Winternachten berusia 55 tahun ini sepanjang festival tampak sibuk seliweran ke sana-kemari. Perawakannya yang cukup jangkung dan langsing membuat gerak-gerik lelaki berkacamata ini tampak ringan. Ia menerima Tempo dalam wawancara khusus di bagian belakang Groote Saal di Theater aan Het Spui di tengah hiruk-pikuk peserta.

Winternachten memasuki penyelenggaraan yang ke-17. Bagaimana perkembangannya dari waktu ke waktu?

Kami mulai menyelenggarakannya pertama kali pada 1995, dengan perhatian pada hubungan sastra Belanda-Indonesia. Kami mendatangkan para sastrawan Indonesia, mempertemukannya dengan sastrawan Belanda. Ini semacam ikhtiar sinkronisasi, mempertemukan dua kesusastraan yang terpisah sejak kemerdekaan Indonesia. Kemudian kami melanjutkan festival tahun berikutnya, dan jadi tiap tahun. Kami pun melibatkan bekas-bekas koloni Belanda lain. Seperti Suriname, Provinsi Cape di Afrika Selatan, dan daerah yang masih koloni, yakni Antilles Belanda di Karibia—di situ ada Aruba, Curacao, dan sebagainya.

Apa yang khusus pada edisi ke-17 tahun ini?

Kami memilih tema khusus: "Keep on Dreaming". Ini ceritanya begini. Tahun lalu, ketika kami mengadakan Writers Tour ke Kuala Lumpur, Malaysia, dan Makassar, ikut seorang sastrawan perempuan Mesir, Abeer Suleiman. Setiap kali dia tampil dan menyebutkan bahwa dia terlibat dalam demonstrasi di Lapangan Tahrir (yang menjatuhkan diktator Husni Mubarak), selalu muncul sambutan dahsyat dari publik. Penonton bangkit berdiri dan bertepuk gemuruh.
Kami bertanya-tanya, kenapa? Apa yang telah "disentuh" oleh sastrawati Mesir itu? Mungkinkah sastrawan Mesir tersebut membangkitkan kepercayaan publik saat itu mengenai masa depan mereka sendiri? Inilah titik tolak kami. Bahwa ini tentang impian. Inilah yang kami coba angkat. Kami mencoba menunjukkan kekuatan impian, daya imajinasi, fiksi, daya khayal para sastrawan. Dengan ini, kita bisa menunjukkan bahwa kita perlu bermimpi jika kita menginginkan perubahan.

Bagaimana Anda membandingkan sastra Indonesia saat Winternachten pertama kali diselenggarakan dengan sekarang?

Kita saksikan perubahan besar tentu saja sejak jatuhnya Soeharto. Para sastrawan juga makin berani menjelajahi setiap aspek, menyentuh tabu. Dulu, di zaman kekuasaan Soeharto, para sastrawan memiliki keterlibatan sosial yang kuat, tapi harus mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa, dibungkus secara puitik. Sekarang semuanya serba terbuka. Ini sangat menarik.

Apa dasar Anda menentukan tema "Forget or Forgive" sebagai salah satu mata acara yang melibatkan sastrawan Indonesia?

Kami ingin menunjukkan bahwa jika hendak memasuki suatu masa depan, kita perlu memiliki suatu konsensus mengenai masa lalu, kendati masa lalu itu menyakitkan. Dengan menampilkan sastrawan Belanda, Indonesia, dan Afrika Selatan, kami ingin melihat bagaimana tiga negara ini berurusan dengan masa-masa menyakitkan dalam sejarah mereka.

Juga tema "Women and Sexuality"?

Berkaitan dengan Indonesia, diskusi diarahkan pada undang-undang pornografi. Bagaimana dampaknya terhadap kehidupan masyarakat sehari-hari. Kami mengikuti perkembangan Indonesia. Kami menyaksikan gelombang reformasi. Kami menyaksikan bagaimana sensor (politik) dicabut, tapi kemudian parlemen memutuskan memberlakukan suatu bentuk sensor yang lain—yaitu undang-undang pornografi. Ini sangat janggal bagi kami.

Omong-omong, bagaimana pembiayaan Winternachten ini?

Anda menanyakan hal ini ketika pemerintah Belanda sedang memotong anggaran untuk budaya secara besar-besaran. Pemerintah Belanda sekarang harus mengandalkan dukungan pada sebuah partai populis (berhaluan ekstrem kanan, PVV, pimpinan Geert Wilders, yang anti-imigran).Dan partai populis ini tidak percaya pada semua yang berurusan dengan kesenian. Betapapun sejauh ini kami sangat didukung pemerintah. Untuk seluruh acara, termasuk Writers Tour ke Malaysia dan Indonesia, anggaran Winternachten tahun ini sekitar 450 ribu euro (sekitar Rp 50 miliar).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus