Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tiang Gantungan di Hari Kartini

Hari Kartini diperingati Solidaritas Perempuan dengan mementaskan karya Nawal Saadawi: Perempuan di Titik Nol. Kisah pelacur yang punya prinsip.

5 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEUTAS tali gantungan menjelujur dari langit-langit. Panggung meredup gelap. Seorang perempuan pesakitan berbaju putih digelandang masuk. "Aku lebih memilih menjadi pelacur yang bebas daripada istri yang ditindas," katanya di depan kematiannya. Kalimat terkenal Nawal Saadawi itu meluncur deras dari bibir Nurul Arifin di pengujung pementasan. "Ya!" sutradara Daniel Hariman Jacob, 27 tahun, memberikan aba-aba. Ia mengulang adegan penutup, saat roh Firdaus menyelinap di antara para laki-laki. Itulah saat-saat terakhir latihan Perempuan di Titik Nol di hall Pusat Kesenian dan Kebudayaan Jakarta Selatan di bilangan Asem Baris Raya. Novel ini sesungguhnya monolog pikiran tentang tubuh. Ini adalah kisah nyata seorang pelacur—yang diwawancarai Nawal Saadawi (lihat Nawal Saadawi: "Firdaus Adalah Seorang Syahidah"). Pemikiran tokoh-pikiran Firdaus di dalam novel ini bisa mengundang diskusi kontroversial. Misalnya soal posisi istri. "Tubuh yang paling murah dibayar adalah tubuh istri," kata Nawal. Ini hanya satu kalimat, tapi sungguh menggebrak (dan sungguh tak enak untuk didengar). Aktris Nurul Arifin dianggap pas untuk memerankan Firdaus karena selama setahun terakhir ini melakukan riset AIDS ke banyak lokalisasi, bahkan sampai ke Irian Jaya. Adalah Yeni Rosa Damayanti yang mengajukan nama Nurul. Dengan sederet nama aktivis perempuan di belakang pementasan ini, seperti Myra Diarsi dan Debra H. Yatim, "Saya langsung oke saja karena banyak pernyataan Firdaus yang masih segar dalam ingatan saya," kata Nurul, yang sebelumnya sudah membaca novel itu. "Hargailah tubuhmu, karena tidak ada orang lain yang akan menghargai tubuhmu setinggi kamu menghargainya…. Saya sampai hafal kalimat-kalimat Nawal," tutur Nurul. Sutradara Daniel tentu saja mempersingkat isi novel itu dan memilih bagian yang mudah untuk divisualkan. Daniel menata adegan demi adegan secara kronologis, dari masa kecil Firdaus sampai ia membunuh Marzouk, sang germo. Memang penonton dapat mudah mengikuti jalan pembukaan yang cukup lumayan. Mulanya derap kaki. Kemudian muncul polisi berkerudung hitam yang mengelilingi Firdaus. Senter-senter diarahkan ke penonton. Lalu adegan Firdaus kecil. Daniel menampilkan beberapa pemain anak-anak. Kemudian muncul adegan pemakaman ibu Firdaus dan juga adegan saat Firdaus bersekolah. Seterusnya adegan-adegan pelecehan Firdaus oleh pamannya dan para lelaki hidung belang. Apa boleh buat, dengan pendekatan begini, alur cenderung melodramatik. Sepanjang pentas, Nurul berganti-ganti kostum, dari pakaian pelayan sampai pelacur. Bloking panggung mengutamakan sosok Nurul. Alhasil, drama ini nyaris seperti monolog. Saat latihan terakhir, ia mengeluh, "Saya seperti main sendiri. Terus terang, saya kekurangan lawan main yang seimbang." Ia mengaku merasa geregetan selama latihan. "Tak bisa saya berdiskusi dengan mereka. Lebih banyak mereka yang bertanya ke saya," tutur Nurul. Toh, Nurul tampak berusaha membuat pertunjukan bertenaga. Harus diakui, kerja kerasnya selama empat bulan cukup menghasilkan sesuatu. Staminanya memang terjaga sepanjang pertunjukan. Tampak Daniel ingin banyak menggarap adegan tempat bordil. Di situ persetubuhan dan kekerasan terhadap Firdaus ditampilkan dengan ilustrasi tari yang digarap Madya Ismar Rahardi. Tampaknya, Daniel ingin mencari efek puitis, tapi kurang tercapai. Namun, ada satu adegan yang me-narik, terutama bagi para fotografer. Aktris berbakat Ria Irawan, yang tampil sebagai germo, duduk berdua dengan Nurul Arifin sembari berdialog tentang kodrat pelacur. Hal lain yang patut dipuji adalah musik garapan Sanggar Matahari. Meski sangat ilustratif, warna suara para penyanyinya mampu memberikan aksen masygul dan pilu pada akhir pertunjukan. Secara keseluruhan, suasana yang tertangkap adalah panggung yang memancarkan elegi seorang perempuan malang, bukannya pergulatan perempuan yang memiliki tubuhnya sendiri. Seno Joko Suyono, Dewi Ria Cahyani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus