Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diawali suara denting botol, lelaki tua berjanggut tebal itu muncul dari keremangan cahaya sayap kiri panggung. Jalannya terseok. Tangan kirinya menenteng sebuah botol yang isinya hampir tandas. Di jemari tangan kanannya terselip sebatang rokok.
”Selamat malam, apa kabar? Aku kira aku mabuk hingga ngorok di kursi sendirian,” ia meneguk sisa minuman dalam botol.
Suara serak Ayi Kurnia Iskandar, aktor Studiklub Teater Bandung (STB) yang memainkan lelaki tua itu, segera mampu menyedot penonton. Apalagi tata rias wajahnya berupa wajah keriput, dengan rambut gondrong acak-acakan, meyakinkan. Malam itu, ia memainkan adaptasi karya Anton Tchekhov, Nyanyian Angsa. Karya lama, tentang seorang aktor tua yang kesepian.
Naskah ini berkali-kali di-mainkan oleh kelompok teater di Indonesia. Malam itu, sutradara Ignatius Arya Sanjaya mengadaptasi naskah ini dengan menambah cuplikan-cuplikan adegan karya William Shakespeare: King Lear, Julius Caesar, dan Hamlet. Dengan set yang sangat sederhana, gerak-gerik Ayi Kurnia mampu melemparkan imajinasi kita ke dalam gedung pertunjukan yang sudah melompong. Ia mampu menampilkan sosok kesendirian aktor berumur 67 tahun yang mabuk—dan mengenang berbagai hal, mulai kegagalan cintanya sampai pengabdiannya kepada teater.
Bagian terbaik adalah bagaimana Ayi menampilkan adegan aktor tua itu memperagakan cuplikan adegan-adegan naskah Shakespeare yang diperankannya dulu. Aktor itu dulu bukan pemeran utama, melainkan pemeran pembantu: badut atau penggali kubur. Bergantian Ayi lalu memainkan adegan aktor tua itu memerankan Lucius, si pelayan Brutus, dan penggali kubur jenazah Ophelia. Namun lelucon ia selipkan. Ia menirukan adegan King Lear. Berdiri tegak seperti bersumpah ke alam, ia berteriak, ”Langit hitam… guntur menggelegar….” Lantas ia mengucap, ”Itu dimainkan oleh seniorku yang memainkan Lear… bukan aku,” katanya. Membuat banyak penonton tersenyum, karena memang saat STB dulu memainkan King Lear aktornya adalah (almarhum) Suyatna Anirun, bukan Ayi.
Aktor STB lain yang unjuk gigi adalah Dedi Warsana dan Deden Bell. Mereka masing-masing memainkan seorang pemain gitar klasik dan pemain harpa dengan naskah berjudul Symphony #4 dan Symphony April. Dedi Warsana muncul di panggung mengenakan setelan jas hitam necis. Di depan partitur ia duduk dengan gaya formal seorang gitaris klasik. Tapi, begitu jarinya hendak memetik senar, ia mengoceh tentang sejarah dan jenis-jenis gitar serta surat dan persahabatannya dengan seorang musisi bernama Bacharudin.
”Maaf, uraianku agak textbook,” katanya kepada hadirin. Ia menjadikan penonton bagian dari pementasannya. Dedi berusaha bermain charming, bersih, dan akrab. Letak kelucuan naskah buatan Ign. Arya Sanjaya ini adalah bagaimana pertunjukan itu tak dimulai-mulai lantaran si gitaris terus bercerita. Sayang, permainan Dedi kurang gereget—meski toh ada yang membuat penonton gerr: ”Sebagai nomor pembuka, saya akan memainkan repertoar karya Bach… ehh, Bacharudin maksud saya.”
Giliran selanjutnya Deden. Mengenakan rompi dan dasi kupu-kupu, ia menjadi seorang musisi harpa yang menunda konsernya karena asisten yang membawa harpanya terlambat datang. ”Selamat datang di Pusat Kebudayaan Prancis. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya,” katanya membuka pertunjukan.
Untuk mengisi kekosongan, lalu musisi itu berkisah tentang awal mula dia belajar harpa dan tentang keistimewaan harpa dibanding instrumen lain. ”Bertahun-tahun lalu saya adalah seorang businessman yang sangat ambisius,” katanya. Ia bercerita sejak tekun berlatih menjadi pemain harpa profesional dan menutup semua bisnisnya. ”Bahkan istri saya pun menjual toko kelontongnya,” katanya. Sesungguhnya, adegan yang menarik adalah bagaimana Deden memperagakan musisi itu memainkan harpanya. Tapi ia kurang eksplorasi. Saat ia menjadikan tiang mikrofon seolah-olah harpa, adegan itu kurang kuat.
Sulit disangkal, pertunjukan Nyanyian Angsa adalah puncak pertunjukan pekan lalu itu. Ayi berhasil menyajikan bagaimana aktor tua yang kesepian itu kemudian merasa menjadi seekor tikus busuk yang terjebak dalam lubang hitam dunia panggung. ”Sudah 47 tahun aku di panggung ini,” katanya. ”Rongga gelap seperti liang kubur.”
Erick Priberkah Hardi, Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo