Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ue...
Lugahon ahu da parau
A sing sing so
A sing sing so
Ulushon ahu da alogo...
Sambil menyanyikan Sing Sing So, lima nelayan mengayuh perahu yang meluncur mulus di Danau Toba. Di perahu itu pula tampak tiga tokoh paling terkenal di dunia: Tintin dan anjingnya, Snowy, serta sahabatnya, Kapten Haddock.
Tintin bertualang di tanah Batak? Para penggemar Tintin pasti tahu, dari 24 judul komik karya Herge—nama pena Georges Prosper Remi—tak satu pun yang mengisahkan perjalanan sang wartawan Le Petit Vingtieme itu ke Sumatera. Tintin dan teman-temannya memang pernah mendarat di Kemayoran, Jakarta, dan terdampar di Kalimantan dalam Penerbangan 714, tapi tak pernah bersampan di Danau Toba.
Komik Tintin et le Pustaha (Tintin dan Pustaha) itu memang bukan karya Herge, melainkan komik parodi atau "bajakan" karya komikus yang menyebut dirinya Van Leffe atau Jean-ÂPierre Verheggen. Seperti kebanyakan karya parodi lain, sang pembuatnya tidak jelas benar.
Komik hitam-putih dengan spidol ini unik karena dicetak dalam dua aksara: Prancis dan Batak. Kedua edisi itu dihimpun dalam satu buku setebal 50 halaman selebar A4. Di bagian bawah sampulnya tercantum Horace (baca: horas), mungkin nama penerbitnya. Pada kata pengantarnya disebutkan buku ini dicetak pada 2004 sebanyak 500 eksemplar, yang terdiri atas 50 eksemplar edisi mewah yang ditandatangani Van Leffe dan gambar asli pengarang, 50 eksemplar edisi sampul tebal yang ditandatangani pengarangnya, dan 400 eksemplar edisi biasa. "Semua salinan dari edisi ini, dan satu-satunya yang benar diberi cap penerbit berwarna merah," tulis Verheggen.
Komik itu berkisah tentang hilangnya pustaha Batak Gumbot bertahun 1864 dari Museum Sejarah dan Seni Fribourg, Swiss. Pustaha adalah kitab atau surat dalam budaya Batak yang berisi catatan pengobatan tradisional, ilmu gaib, mantra, ramalan, dan semacamnya, yang ditulis dalam bahasa Batak. Nah, pustaha yang hilang ini berisi ilmu hitam pangulubalang. Menurut Uli Kozok dalam Warisan Leluhur: Sastra Lama dan Aksara Batak (1999), pangulubalang adalah roh anak lelaki dan perempuan yang mati karena dibunuh seorang datu dengan tujuan menjadikannya pangulubalang.
Tintin dan teman-temannya berangkat mencari pustaha tersebut. Di bandar Said di Malaka, mereka bertemu dengan Senhor Oliveira de Figueira, pedagang barang aneh, yang pertama kali muncul pada edisi Cerutu Sang Firaun. "Tintin, ke sini! Datanglah lekas! Apa yang membawamu kemari?" kata Oliveira, yang tiba-tiba nongol dari sebuah pintu di sebuah pasar.
"Akan saya beri tahu. Pustaha itu hilang. Ramona mengambilnya di bandar Said," kata Tintin.
"Sepupu saya telah memberi saya resep obat dari seorang misionaris di Los Palos, Timor Timur," kata Oliveira, yang menjelaskan resep itu tampaknya telah dia sumbangkan ke Museum Fribourg. Tapi, ketika dia membuka lemarinya, tiba-tiba Snowy meloncat keluar dan membuat isi lemari berantakan. Bersamaan dengan itu pula, selembar kertas keluar. "Ah! Ini dia!" teriak Oliveira.
Tintin membuka lembaran kertas itu, yang ternyata bagian dari pustaha. "Ya Tuhan, betapa indahnya," katanya terpana. Setelah mendapat informasi dan pustaha itu, Tintin melanjutkan perjalanannya melintasi hutan dan gunung Sumatera menuju tanah Batak. Setelah bersampan di Danau Toba, dia tiba di sebuah perkampungan dan bertemu dengan Profesor Calculus, yang sedang menjadi seorang datu dan menceritakan soal pangulubalang. Calculus mengisahkan penggundulan hutan untuk kebutuhan pabrik kertas milik putri Soeharto di Porsea, Kabupaten Toba Samosir.
Panel terakhir dari komik itu merupakan jiplakan satu panel di Tintin di Soviet. Pada karya Herge, panel itu menggambarkan Tintin menyaksikan seorang pejabat Uni Soviet memamerkan pabrik-pabriknya kepada orang-orang komunis Inggris. Pabrik itu asapnya terus keluar dari cerobong, seolah-olah bekerja dengan kapasitas penuh, padahal cuma tipuan.
Adapun pada Tintin et le Pustaha, panel itu menggambarkan hal yang sama, tapi penjelasannya berbeda. "Mereka adalah anggota IMF. Ini proyek bergengsi Orde Baru," kata Tintin.
Sebenarnya Van Leffe banyak memakai sejumlah panel gambar dari komik Herge. Adegan Tintin berperahu di Danau Toba, misalnya, mirip adegan di Patung Kuping Belah. Adegan Tintin turun dari kapal di bandar Said merupakan jiplakan dari Cerutu Sang Firaun.
Salah satu edisi komik itu berada di tangan Yohanes Sugianto, penggemar Tintin dan pemilik toko buku Sari Ilmu di Jalan Malioboro Nomor 117, Yogyakarta. Pada komik milik Yohanes tercantum angka "186", yang ia duga menunjukkan nomor urut buku tersebut. Buku bersampul cokelat itu masih tampak baru, tanpa bekas lipatan atau robekan. "Belinya pada 2004," kata lelaki berusia 55 tahun itu di rumahnya yang menyatu dengan toko bukunya pada Selasa pekan lalu.
Komik itu dibeli Yohanes dari seseorang yang menawarkannya di toko maya eBay. Karena menganggap komik dwibahasa itu unik, ia langsung membelinya. Sayang, Yohanes lupa berapa harga dan di mana alamat penjualnya. Dia hanya ingat uang pembeliannya itu dikirim ke suatu alamat di Eropa. Dua bulan setelah itu, Tintin et le Pustaha sampai di tangannya. "Saya sudah cari di mana dokumen pembeliannya, tapi tak ketemu," kata pedagang yang mengoleksi komik Tintin dan Asterix aneka bahasa itu.
Menurut Surjorimba Suroto, pendiri Komunitas Tintin Indonesia, komik itu terbit bersamaan dengan tsunami yang menerjang Aceh, sekitar Desember 2004. "Harga perdananya saat itu 40 euro (Rp 490 ribu). Kalau sekarang, harganya mungkin sudah berlipat," kata karyawan PT Surveyor Indonesia itu.
Selama ini, komik Tintin et le Pustaha hanya disimpan oleh Yohanes karena dia tak bisa berbahasa Prancis ataupun Batak. Komik itu dia taruh di bagian atas lemari besar di sebuah lorong di belakang tokonya, di antara tumpukan aneka komik dan judul buku. "Saya paling senang membaca fiksi, bahasa, psikologi, dan komik," kata lulusan IKIP Bandung yang juga anggota Komunitas Tintin itu.
Komunitas Tintin Indonesia adalah kelompok penggemar Tintin yang awalnya berhimpun melalui mailing list Tintin_ID pada 2003. Kini komunitas itu beranggotakan 953 orang, yang tersebar di berbagai kota di Indonesia dan luar negeri. Sekarang mereka juga berkomunikasi melalui jejaring sosial lain, seperti Facebook dan Twitter. Di sanalah mereka bertukar cerita dan berdiskusi soal Tintin. Terakhir, pada Sabtu dua pekan lalu, sebanyak 258 orang, sebagian besar dari komunitas ini, menonton bersama film The Adventures of Tintin karya Steven Spielberg di Blitz Megaplex, Grand Indonesia, Jakarta.
Komik Tintin, kata Surjorimba, bisa bertahan lintas generasi karena gambarnya yang bagus dan ceritanya yang menarik. "Hal yang membedakannya dari komik lain adalah bagaimana ÂHerge memasukkan unsur budaya berbagai bangsa pada karyanya. Itu dilakukan melalui riset yang dalam," Âkatanya.
Untuk membuat Penerbangan 714, misalnya, Herge mempelajari dan memiliki foto-foto bekantan dan komodo, yang dia munculkan pada komiknya. Komikus Belgia itu juga menyajikan dialog dalam bahasa Melayu pada beberapa panelnya. Tapi, kata Surjorimba, penggambaran Herge tentang Indonesia tidak sekental Soviet atau Cina. "Memang disebutkan, misalnya, Tintin mendarat di Kemayoran. Tapi, bila diperhatikan interiornya, itu bisa bandar udara di mana saja," kata dia.
Herge meninggal pada 1983 dan Tintin pun jadi legenda. Sayang, tak ada lagi lanjutan kisah petualangannya setelah itu. Bahkan edisi terakhirnya, Tintin dan Alpha-Art, belum tuntas ceritanya, sehingga beberapa penggemarnya melanjutkan sendiri cerita itu menurut versi masing-masing. Penggemar lain membuat parodi atau meniru ÂHerge dengan ceritanya sendiri. Pada kelompok yang terakhir inilah lahir komik-komik semacam Tintin di Irak, Tintin di Thailand yang rada porno, atau Breaking Free karya Jack Daniels, yang membuat Tintin jadi tokoh sosialis.
Tapi, menurut Yohanes, banyak penggemar fanatik Tintin yang hanya mengoÂleksi komik karya Herge. Komik bajakan, seperti Tintin et le Pustaha dianggap barang haram. "Pencinta Tintin sangat antibajakan," kata dia.
Kurniawan, Anang Zakaria (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo