Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Utang BLBI Versi BPK
DPR dan pemerintah sepakat menggunakan versi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam menghitung utang tujuh obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Menurut versi BPK, utang mereka Rp 2,297 triliun.
Menurut Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan DPR Awal Kusumah, perhitungan BPK direkomendasikan Panitia Kerja Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham BLBI dan telah disepakati rapat Komisi. Keputusan itu juga telah disetujui pemerintah. ”Keputusan ini penting agar pemerintah bisa segera melakukan langkah operasional,” kata Awal, Rabu lalu.
Ketujuh pengutang BLBI itu adalah James dan Adisaputra Januardy (Bank Namura Internusa), Atang Latief (Bank Indonesia Raya), Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian), Omar Puttirai (Bank Tamara), Lidya Mochtar (Bank Tamara), Marimutu Sinivasan (Bank Putra Multi Karsa), dan Agus Anwar (Bank Pelita dan Bank Istismarat).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, aset para obligor sudah ditahan. Departemen Keuangan akan menerbitkan Penetapan Jumlah Piutang Negara, surat paksa, dan surat sita agar aset-aset itu bisa segera dilelang. Berdasarkan penilaian pemerintah, nilai aset itu Rp 223,1 miliar. ”Tingkat pengembaliannya hanya 9,7 persen,” katanya. Kekurangannya akan ditagihkan ke pengutang. Dua pengutang dengan kekurangan terbesar adalah Marimutu Sinivasan dan Agus Anwar.
Anggota Komisi Keuangan Drajad H. Wibowo menolak keputusan komisi karena selisih perhitungan BPK dengan perhitungan Departemen Keuangan begitu besar. Tim PKPS Departemen Keuangan menghitung utang obligor Rp 9,368 triliun, termasuk bunga dan denda. ”Tujuh triliun lenyap begitu saja,” katanya.
Subsidi untuk Kebutuhan Pokok
Pemerintah akan mengirit subsidi bahan bakar minyak dan listrik. Hasil pengiritan, minimal Rp 20 triliun, akan dialihkan ke program stabilisasi harga kebutuhan pokok. Penghematan itu masing-masing Rp 10 triliun dari subsidi BBM dan listrik.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro mengatakan, selain dari penghematan subsidi, pemerintah juga berharap sumber dana stabilisasi bahan pokok dari penerimaan tambang dan migas masing-masing Rp 5 triliun.
Penghematan subsidi BBM ini, menurut Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Tubagus Haryono, akan dikenakan ke bensin premium, kerosen, dan solar. ”Pengaturannya menggunakan kartu kendali,” katanya.
Direktur Utama PLN Eddie Widiono mengatakan, pengiritan subsidi listrik dilakukan dengan penggunaan lampu hemat energi sebanyak 51 juta lampu. Cara lainnya adalah dengan mengurangi penggunaan bahan bakar minyak dari 10,6 juta liter menjadi 9,5 juta liter tahun ini.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi menilai kebijakan itu tidak akan berdampak apa pun, karena perubahan hanya terjadi dalam kas negara. ”Seharusnya pemerintah segera sadar dan fokus dengan pengembangan pangan jangka panjang,” katanya.
BI Rate Tetap 8 Persen
Bank Indonesia memutuskan tetap mempertahankan suku bunga acuan, BI Rate, pada level 8 persen, meskipun The Federal Reserve menurunkan suku bunganya. Langkah ini dilakukan untuk merespons kondisi perekonomian global dan domestik yang belum kondusif. Bank Indonesia melihat pelemahan dan ketidakpastian ekonomi global masih akan berlanjut. Sedangkan situasi dalam negeri dihadapkan pada kondisi tak menguntungkan lantaran inflasi Januari mencapai 1,77 persen.
Menurut Deputi Gubernur BI Budi Mulia, tantangan perekonomian dan tekanan inflasi yang berat memberikan pesan bahwa koordinasi kebijakan makro sangat strategis. ”Ini penting untuk mengarahkan ekspektasi inflasi sesuai target,” kata Budi. Ia berharap pemerintah berupaya meminimkan kemungkinan peningkatan defisit anggaran. Sebaliknya, BI akan konsisten mempertahankan target inflasi lima plus minus satu persen.
Natuna D Alpha ke Pertamina
KONTRAK pemerintah dengan ExxonMobil di Blok Natuna D Alpha di Kepulauan Riau berakhir. Meski negosiasi memakan waktu hingga setahun, kedua pihak gagal mencapai kesepakatan untuk memperpanjang pengelolaan ladang gas. Selanjutnya, pemerintah menunjuk Pertamina untuk mengelola blok tersebut, sekaligus mencari mitra strategis yang menguntungkan.
Negosiasi mentok lantaran tidak ada kecocokan soal bagi hasil migas. Tim perunding pemerintah menghendaki porsi bagi hasil pemerintah dan kontraktor 65:35, tetapi kontraktor tidak bersedia. Perundingan kedua pihak terkendala oleh tidak adanya kesepakatan soal harga gas dan calon pembeli. Dalam kontrak lama, Exxon memperoleh bagi hasil 100 persen. Kontrak Blok Natuna telah berakhir pada 2005.
Direktur Utama Pertamina Ari Soemarno mengaku siap ditunjuk pemerintah untuk mengelola Blok Natuna. Untuk itu, pihaknya akan mencari pendanaan, sekaligus mitra strategis. Salah satunya alternatifnya bermitra dengan Exxon. Juru bicara ExxonMobil, Deva Rahman, menyambut baik rencana Pertamina tersebut. ”Ada kemungkinan kami bisa bekerja bersama Pertamina,” kata Deva kepada Nieke Indrieta dari Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo