Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pentas tari dan musik Tribute to Huriah Adam.
Koreografer asal Minang.
Koreografinya pernah dipentaskan dalam perhelatan Ganefo 1963.
KARYA-KARYANYA abadi. Dulu Yulianti Parani dan (almarhum) Deddy Luthan pernah berduet dalam Tari Barabah. Yulianti Parani pun pernah bersama Sentot Sudiharto terlibat dalam pentas Malin Kundang. Sementara itu, putri Presiden Sukarno, Sukmawati, terlibat dalam koreografi Bunian. Sebuah tribute untuk Huriah Adam, pencipta tari-tarian itu, disajikan komponis Cilay, putra Huriah Adam, pada Jumat, 10 November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua karya Huriah yang terkenal, Tari Barabah dan Tari Piring, malam itu dipentaskan oleh para penari alumnus mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang, Sumatera Barat, dan Institut Kesenian Jakarta (IKJ), serta penari dari Padang dan Jakarta. Tiga pasang penari, laki-laki dan perempuan, tampak kompak dan lincah bergerak di panggung. Mereka masing-masing membawa piring beling kecil di tangan mereka. Dalam iringan musik yang menggugah, para penari bergerak lincah dan kompak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gerakan kaki mereka melangkah ke kiri dan kanan, memutar, lalu berjalan dengan tangan menyangga piring. Banyak gerakan tangan ke atas serta memutar. Para penari berpakaian khas Minang yang berwarna cerah, merah dan oranye. Para penari pria memakai ikat penutup kepala, sedangkan para penari perempuan mengenakan mahkota suntiang yang gemerlap.
Barabah ditampilkan oleh 10 penari. Gerak silatnya juga kental dan terlihat lebih lepas dalam gerak kaki. Para penari dengan iringan musik yang menderu dari Cilay Ensemble banyak bergerak berpasangan. Mereka menyuguhkan gerak-gerak tangan dan kaki yang bersilangan, seperti saling menyerang dan menghindar dengan lincah dan elegan. Gerak kedua tangan yang lebih terbuka, seperti sayap yang mengembang, juga mendominasi koreografi ini.
Dalam bahasa Minang, barabah adalah seekor burung. Dalam koreografinya yang tetap berbasis gerakan silat Minangkabau, Huriah mengartikan barabah sebagai sesuatu yang bebas bergerak mengarungi kehidupan dengan menciptakan karya dari ide-idenya. “Bagaimana ide itu menjadi karya yang berinteraksi dengan alam bisa lebih dikenal,” ucap Cilay.
Gerak kedua koreografi, Tari Piring dan Tari Barabah, dihadirkan berdasarkan ingatan turun-temurun mahasiswa-mahasiswanya, baik di ISI Padang Panjang maupun di IKJ. Ingatan itu diturunkan dari mahasiswa senior kepada murid atau juniornya. “Itu masih asli koreografi Ibu. Alhamdulillah masih tertata pas hingga acara malam itu,” tutur Cilay, yang bernama asli Mohamad Ichlas.
Tentu tak mudah menarikan lagi koreografi yang sudah berpuluh tahun lalu ditampilkan dan tanpa dokumentasi visual yang memadai. Namun Cilay beruntung koreografi-koreografi tersebut masih ditarikan di sanggar-sanggar tari kecil milik mahasiswa Huriah, seperti di Padang, Padang Panjang, dan Jakarta. Masih ada tiga-empat mahasiswanya yang bisa diminta memeriksa ulang gerakan koreografi Tari Piring dan Tari Barabah.
Ihwal musik pengiring kedua koreografi itu, Cilay mengaransemennya tetap berdasarkan musik etnik khas Minang dengan garapan sentuhan “modern”. Perkawinan musik etnik dengan perkusi, suling, dan alat lain menciptakan kekuatan musik yang dinamis. “Bagaimana kekuatan musik etnik itu mampu beradaptasi dengan suatu karya kontemporer sehingga tradisi tersebut tetap relevan,” katanya. Dia menjelaskan, tanggung jawabnya adalah menampilkan unsur tradisi dan modern dengan seiring sejalan. Bahkan musik tradisional bisa berkembang di masa depan.
Untuk koreografi Tari Piring, Cilay memakai talempong, alat musik yang mirip dengan gamelan tapi berukuran lebih kecil, dipadu dengan gendang dan akordion. Sementara itu, untuk Tari Barabah, pengiringnya hanya talempong dan gendang.
Selepas suguhan dua koreografi tersebut, terlihat di bawah panggung beberapa laki-laki menata perkusi. Beberapa gendang tradisional kemudian dipukul serentak. Sejenak kemudian, terdengar ketukan bertalu-talu nan rancak. Beberapa penonton terdengar berceloteh menimpali ketukan musik perkusi tersebut. Dalam ritme yang diatur sedemikian rupa, naik-turun, bergantian kemudian bersamaan, iramanya menggugah dan bersemangat. Cilay menciptakan aransemen musik tambua atau tambur dari Kabupaten Pariaman. “Saya menggarapnya menjadi musik yang rampak dan dinamis,” ujarnya.
Tari Selendang Api adalah koreografi kontemporer yang ditarikan oleh sekelompok penari. Geraknya didasarkan pada gerak pencak silat Minangkabau yang digarap secara kekinian. Koreografi ini dimulai dari sebuah sudut di panggung. Terlihat sepasang penari bergerak lambat dalam remang cahaya. Beberapa penari lain muncul dalam iringan musik yang agak nge-pop. Di panggung terdapat panggung berbentuk alur belah ketupat.
Selendang Api dalam Tribute to Huriah Adam di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 10 November 2023. Tempo/M Taufan Rengganis
Tingginya sekitar 20 sentimeter dengan lebar kurang dari semeter sehingga bagian tengah sama seperti ketinggian panggung. Dua kelompok bergantian menari di tengah panggung atau berdiri di alur panggung yang sedikit lebih tinggi itu. Gerak koreografi ini juga menampilkan gerakan silat bawah. Para penari duduk dan kaki memutar ke atas, berjongkok, lalu menelungkup dan kembali bangkit.
Dalam adegan lain, terlihat seorang anak masuk panggung dengan sebuah boneka yang kemudian ditinggalkan di panggung. Ini agak sedikit membingungkan. Kemudian muncul seorang penari yang mengibar-mengibarkan sehelai kain. Salah satu penari lalu melafazkan kata-kata puitis yang melankolis. Dia menyeru sebuah nama dan disambut teriakan anak kecil yang meneriakkan kata “ayah”.
Profil Huriah Adam pernah diabadikan dalam sebuah film dokumenter. Indonesian Dance Festival atau IDF pada 2016 pernah membuat sebuah program bertajuk “Retrospektif” yang mengangkat tema tentang Huriah dan karya-karyanya. Huriah Adam adalah koreografer asal Tanah Minang. Dia lahir di Padang Panjang pada 6 Oktober 1936, putri Syekh Adam Balai-Balai, pendiri Madrasah Irsadin Naas.
Dia tumbuh dalam keluarga yang mempunyai perhatian besar pada pengembangan kesenian Tanah Minang. Karya-karyanya antara lain Tari Piring, Tari Pedang, Tari Barabah, dan Tari Sepasang Api Cinta. Tiga karyanya bahkan dipertontonkan kepada publik saat perhelatan akbar Games of The New Emerging Forces atau Ganefo di Istora Senayan, Jakarta, pada 1963.
Namanya lebih luas dikenal setelah dia berpentas di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dengan koreografi tari yang berbasis tradisi dan silat Minang. Karya-karyanya mendapatkan pengakuan dari sejumlah koreografer dan penari senior Indonesia. Atas jasa-jasa dan karya koreografinya, dia mendapatkan sejumlah penghargaan dari pemerintah. Namanya juga diabadikan dalam sebuah studio sanggar tari dan gedung di ISI Padang Panjang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bila Cilay Mengenang Sang Ibu"