IA wanita Indonesia pertama yang bergelar meester in de rechten
alias sarjana hukum. Ia juga wanita pertama yang duduk sebagai
menteri. Ia pula wanita pertama yang menjadi anggota DPA. Dan ia
satu-satunya wanita yang untuk menikah perlu minta izin terlebih
dulu kepada kepala negara. Ia adalah Maria Ulfah. Memang hebat,
biarlah.
"Sebenarnya orang tua saya menginginkan saya menjadi dokter.
Tapi saya sendiri takut melihat darah", kata Maria (66 tahun).
Lalu karena melihat begitu banyak kaum wanita yang diperlakukan
semena-mena, ia pun berniat melindungi kaumnya dari sudut hukum.
Dan ia pun berhasil menggondol gelar meester itu di negeri
Belanda.
Ketika Sutan Sjahrir membentuk kabinet (Maret 1946), Maria
diminta duduk sebagai menteri sosial. Begitu pula ketika Sjahrir
membentuk kabinet lagi (Oktober 196), kursi menteri sosial
diserahkan lagi kepada Maria. Sembilan tahun kemudian, Maria
dikenal orang sebagai anggota DPA.
Suaminya yang pertama, Mr. Santoso, adalah bekas sekjen
Departemen P dan K (menikah 28 Pebruari 1938 di Kuningan). Gugur
di Yogya dalam agresi Belanda ke II, 1948. Dan pernikahannya
yang kedua dengan Soebadio Sastrosatomo, tokoh PSI (Partai
Sosialis Indonesia) itu - yang dilakukan dengan minta izin dulu
kepada Presiden Soekarno -- memang rada menarik.
Soebadio, sejak zaman revolusi bersenjata memang akrab dengan
keluarga Santoso-Maria Ulfah. Tahun 1941 keluarga Maria pindah
ke jalan Guntur 49, sementara Soebadio sejak zaman kolonial
sudah di jalan yang sama, nomor 23. Persahabatan cukup akrab,
terutama karena sama-sama seide, meski Maria belum secara resmi
menjadi anggota PSI. Dan di kalangan orang PSI pun, sepeninggal
Santoso, hubungan Maria Soebadio sudah diketahui sebagai
'membunga'.
Nasihat Soebandrio
"Waktu itu saya merasa sudah bebas, karena anak angkat saya yang
sudah insinyur sudah pula melangsungkan pernikahan itu tahun
1959. Jadi fikiran untuk berumah-tangga timbul kembali" tutur
Maria kepada Mansur Amin dari TEMPO. Dengan Santoso, Maria tak
dianugerahi seorang anak pun. Maka diangkatnya kemenakan
Santoso, Darmawan, menjadi anak.
Sampailah saatnya, awal 1962, Soebadio ditahan pemerintah.
Soekarang di Madiun bersama-sama Mr. Moh. Roem Prawoto
Mangkusasmito, Mochtar Lubis dan lain-lain. Para tahanan tentu
saja dijenguk oleh isteri dan keluarga masing-masing. "Lha pak
Badio itu tak punya isteri. Paling-paling dijenguk oleh kakak
dan ibunya", kata Maria. "Kan lain keadaannya? Dan saya selalu
tertarik pada orang yang sedang dalam kesulitan", katanya.
Maka kunjungan-kunjungan ke Madiun pun dilakukannya, meski tidak
selalu lancar. Sebab hanya isteri saja yang secara teratur,
sebulan sekali, boleh berkunjung "Lalu atas nasihat dr.
Soebandrio, yang juga saya kenal, saya menulis surat kepada Bung
Karno agar diijinkan menikah dengan Soebadio", tutur Maria.
Maklum, menikah dengan tahanan politik. Dr. Soebandrio ketika
itu adalah wakil perdana menteri dan ketua Biro Pusat Intelijen
(BPI) yang justru menahan Soebadio.
"Keputusan menikah itu saya ambil kira-kira akhir tahun 1963,
bulan Oktober atau Nopermber". Dan rupanya Bung Karno
mengijinkan. Lalu Soebadio dikasih cuti 10 hari. Dikawal oleh
Djoko Santoso, orang BPI, tanggal 8 Januari 1964 Soebadio tiba
di Jakarta. Tanggal 10 akad nikah dilangsungkan di rumah Maria
dan tinggal di sana sampai habis masa cuti. Kemudian, tentu
saja, harus kembali ke rumah tahanan di Madiun.
Maria lahir di Serang 18 Agustus 1911 dari keluarga Banten yang
cukup terpandang. Sejak kecil sudah tampak hatinya yang keras.
Sering kali timbul perbedaan pendapat dengan ayahnya. Tapi sang
ayah, Moehammad Achmad bupati Kuningan, lebih sering membenarkan
pendapat puterinya. Masih muda belia, Maria sudah terjun dalam
pergerakan wanita. Ia hadir pula dalam Kongres Perempoean
Indonesia di Yogya. Ketika itu ia mengajar di Perguruan Rakyat
dan Perguruan Muhammadiyah Jakarta.
"Dalam kongres itulah saya berkenalan pula dengan tokoh-tokoh
pergerakan kebangsaan seperti Wilopo, Soemanang dan lain-lain",
tuturnya. Dan karena kongres itu oleh Belanda dianggap salah
satu kegiatan dari pergerakan kebangsaan, maka PID (Politieke
Inlichtingen Dienst, polisi rahasia Belanda) mengawasinya. Maria
sendiri tak luput dari inceran PID, meski ia bukan anggota
sesuatu partai politik.
Gerwani-Getol
Walhasil, ayah Maria yang bupati dipanggillah oleh residen van
der Plaas untuk dimintai pertanggungjawaban atas polah-tingkah
anaknya. "Ayah saya menjawab: dia sudah dewasa sekarang dan saya
tak bisa melarangnya", Maria bercerita. "Saya berbahagia punya
ayah yang progresif dan tidak pernah melarang saya ikut
pergerakan kebangsaan".
Pikiran maju sang bupati memang kemudian terbukti. Setelah
pensiun, Moehammad Achmad nasuk Parindra (Partai Indonesia
Raya) yang ketika itu cukup terkenal sebagai partai nasionalis.
"Akibatnya, waktu itu banyak yang jadi heboh mempersoalkan
seorang pensiunan bupati kok malah justru ikut pergerakan
kebangsaan melawan penjajah", kata Maria lagi dengan bangga.
Perkenalannya dengan tokoh-tokoh kebangsaan di zaman Belanda
mendorong Maria ke dunia politik. Kemudian, "saya juga kenal
baik Bung Sjahrir dan sangat tertarik dengan ide-idenya", kata
Maria. "Tapi ketika itu saya belum masuk PSI". Pada waktu masih
menjanda pun, Maria sibuk dengan organisasi-organisasi wanita.
Pertama kali, ia aktif dalam Perwari. Sehingga pada saat
diangkat sebagai menteri sosial, "saya tidak mewakili GWS,
melainkan saya semata-mata orang Perwari", Maria menjelaskan.
GWS atau Gerakan Wanita Sosialis adalah organisasi wanita PSI.
Dia juga aktif dalam Kowani (Kongres Wanita Indonesia) sebagai
wakil perorangan. Selama 11 tahun, sejak 1952, ia aktif memimpin
itu perkumpulan. "Tapi semasa Gerwani/PKI getol menguasai
Kowani, saya sudah mengundurkan diri sama sekali". Sekarang,
Maria masih aktif dalam Kowani meski hanya tercatat sebagai
sesepuh. Baru tahun 1955 ia aktif masuk organisasi politik. Ia
masuk PSI.
Dengan Soebadio, Maria juga tidak dikaruniai seorang anak pun.
Dan kini ia hidup dengan sejumlah uang pensiun sebagai bekas
menteri dan anggota DPA, plus uang pensiun suaminya yang bekas
anggota DPR. Berapa yang ia terima sebulan? Hanya dengan senyum
ia menjawab. Cukupkah? "Yah, dicukup-cukupkanlah", katanya.
Tentu saja lebih dari lumayan, sebab keluarga kecil ini sejak 10
tahun lewat juga punya simpanan deposito di sebuah bank seharga
sebuah rumah di daerah Menteng.
Rumah di jalan Guntur yang dihuninya kini, terletak di kawasan
yang tak terlalu tenang. Bis-bis kota tak pernah sunyi lewat di
depannya. Tapi rumah tua itu diatur dengan apik. Ruang tamu
berisi 2 stel kursi antik dari kayu jati dengan alas rotan. Di
sebelahnya berdiri lemari dan meja kecil, juga dari jati dan
antik. Benda-benda porselin membebani lemari dan meja kecil itu.
Dan 2 lampu duduk menambah lengkapnya peralatan.
Selama beberapa bulan terakhir, suaminya mengadakan perjalanan
keliling di luar negeri. Ia sedang studi untuk penulisan sebuah
buku mengenai periode perjuangan kemerdekaan yang beberapa di
antaranya belum ditulis orang. Diperkirakan pertengahan Pebruari
ini sudah tiba kembali di tanah air. Dan sementara itu Maria
kembali ke profesi yang sejak muda dicita-citakannya: melindungi
kaum Hawa secara hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini