BINSAR Sitompoel dongkol. Dari arah Teater Halaman Taman Ismail
Maruki, malam Minggu pertama bulan ini, ngeloyor suara orkes
Melayu membantai paduan suara yang dipimpinnya. Musikus yang
lugu ini gelisah dan risau. Dinding Teater Tertutup TIM memang
tidak bersalah, karena suara dang-dut yang binal itu tak mampu
dibendungnya. Yang terbayang adalah komposisi acara yang
seakan-akan tidak memperhitungkan perbauran suara yang tak sedap
itu. Ataukah kekuatan untuk berkonsentrasi sudah sedemikian
loyonya sekarang?
"Saya masih menghormati anda sebagai penonton. Kalau tidak,
mungkin saya sudah mengundurkan diri. Bagaimana jadinya, di sana
orkes Melayu, di sini paduan suara?" kata Binsar. Seorang pianis
di antara penonton menjawab. Dia meninggalkan kursinya, undur ke
belakang untuk mencari jarak tangkap yang lebih bagus. Tapi toh
akhirnya dia masih saja terus memaki: "Brengsek!"
Sementara sejumlah kecil penonton yang mendukung pertunjukan
yang berlangsung 2 malam itu, sama-sama sependapat bahwa untuk
kali lain perlu perencanaan yang baik dalam lalulintas bunyi,
sehingga tidak perlu terjadi polusi. Orkes Melayu itu sungguh
mati tentunya tidak dengan sengaja ingin mengganggu.
Repertoar Pribumi Sulit
Untunglah Binsar tidak patah arang. Malam penampilan yang 4
gebrakan itu (lagu-lagu patriotik, negro spiritual, klasik dan
lagu-lagu rakyat) sempat diselesaikan dengan keplok khusus pada
nomor Joshua Fit the Battle of Jericho dari aransemen Robert G.
Olson. 13 wanita berkain merah jambu serta 14 pria mengenakan
jas resmi, yang mewakili Paduan Suara RRI malam itu, masih belum
beranjak dari apa yang mereka unjukkan pada penampilan mereka
yang terakhir - 31 Juli 1975 - di tempat yang sama. Meskipun
belum terasa ada api, belum terasa ada suasana semarak yang
bangkit dari gasakan suara mereka, setidak-tidaknya kita masih
dapat menghibur diri dengan mengatakan, bailwa rombongan yang
berdiri sejak 1957 ini masih tetap ada. Pada awalnya mereka 30
orang, kini anggotanya sudah banyak yang baru. Mereka berlatih
seminggu dua kali, dengan kadangkala hanya beberapa yang hadir,
habis masing-masing sibuk dengan pekerjaan. "Kalau dekat dengan
pertunjukan saja, giat semua", tukas Binsar dengan jujur.
Malam itu ada trio Titi Setiawati, Sri Murwanti, dan Pontas
Tobing. Piano diserahkan kepada Nyonya Hendroyono dan Sunarto
Sunaryo. Di samping Binsar juga ada An Azhar sebagai pimpinan.
Sejak lagu pertama, Merdeka Nusa (RAJ Sudjasmin), disusul oleh
Indonesia Tumpah Darahku (Ibu Sud), Maju Indonesia (C.
Simandjuntak), Kita Bangun Nusa Bangsa (B. Sitompoel), suasana
sudah kurang tenang. Kemudian paket lagu-lagu Negro Spiritual
juga lewat dengan agak payah. Apalagi memasuki bingkisan lagu
klasik, romborlgan mulai memperlihatkan kelemahan-kelemahannya
-- tidak hanya karena gangguan dangdut. Pada kesempatan ini
hanya lagu Two Hongarian Folksongs (Matyas Seiber) yang sempat
mengisi ruangan dengan baik. Belum lagi posisi terpatok kaku
dari para pendukung, yang menyebabkan bukan hanya suara, juga
pandangan mata kurang "sip". Binsar menyadari juga kelemahan
itu, tetapi ia mencoba memberi alasan: "Untuk paduan suara,
intinya pada suara dan musik, itu yang pokok. Kalau toh mau
ditambah gerak supaya enak dilihat, harus dipilihkan lagu yang
sesuai, lagu itu harus mempunyai kemungkinan untuk gerak". Dan
menurut Binsar, sulit sekali untuk mendapatkan repertoar pribumi
yang disusun untuk paduan suara. "Dengan kekurangan yang ada
ini, saudara diminta untuk tetap sabar dan mendengarkan dengan
tenang di kursi".
Tidak Terikat Gereja
Lepas dari pertunjukannya, Binsar melihat kehidupan paduan suara
pribumi masih amatiran. Padahal RRI sendiri misalnya
mencita-citakan punya paduan suara profesional yang digaji dan
tidak terikat oleh pekerjaan lain. "Tapi tidak selalu yang
amatir jelek", kata Binsar. Ia menunjuk lomba paduan suara
ibu-ibu yang dianggapnya banyak yang bagus. "Sekarang yang harus
disentil jangan kelompok paduan suaranya, tetapi pencipta
lagunya. Sebab kami hanya tenaga pelaksana, masak kita tidak
punya pencipta?" kata Binsar. Ia menuding lagu-lagu patriotik
yang ada sekarang, yang paling-paling hanya bisa diangkat dengan
2 - 4 suara saja. Itupun dengan susah payah.
Sesudah dongkol karena polusi bunyi ke arah pertunjukannya,
Binsar sempat berbisik ke telinga TEMPO bahwa ia bersyukur juga
melihat fihak TIM kini mulai menghargai paduan suara. Dengan
kerap mengadakan pertunjukan, publik dengan sendirinya terbina.
Baginya paduan suara adalah tempat yang bagus untuk membina
pendidikan musik khususnya pelajar. "Selain sifatnya massal, di
dalam kelompok itu mereka dididik untuk saling menghargai", kata
Binsar. Diakuinya memang, anak-anak kurang suka bentuk paduan
suara. Secara psikologis mereka lebih suka menyanyi solo karena
lebih gampang bisa mencuat.
Kecenderungan itu agaknya mau dilawannya. Tidak segan-segan ia
menyatakan ketidaksepakatannya terhadap penggalakan
solois-solois remaja macam yan terjadi pada penyelenggaraan
Juara Bintang Radio TV Remaja. Sedang terhadap grup paduan suara
yang masih langka, tapi berhasil hidup subur, musikus ini juga
sedikit berkeluh: "Senantiasa masyarakat menganggap paduan suara
itu berikatan dengan gereja. Kami tidak terikat gereja. Kami
terdiri dari pegawai, swasta dan pemerintah atau berjenis-jenis
pekerjaan lain".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini