MARIA Ulfah menerima beberapa orang gadis di rumahnya. "Saya
sudah 9 bulan bekerja di pabrik Anu. Tapi masih terus-terusan
dalam masa percobaan", seorang mengadu. "Lho, itu tidak benar",
sahut wanita tua itu dari balik kacamatanya. "Mestinya kalian
sudah diangkat menjadi karyawan tetap ".
Menurut Maria, para pemilik pabrik memang suka terus-menerus
mempertahankan status masa percobaan bagi buruh-buruhnya,
terutama yang wanita. Karena, di samping bisa memeras tenaga
mereka dengan upah yang lebih rendah, juga sewaktu-waktu pihak
perusahaan ingin menendang para calon itu, mereka bebas dari
kewajiban membayar pesangon. Bagi gadis-gadis itu, tak ada
pilihan lain kecuali berdiam diri. "Buat apa ribut-ribut. Kalau
dipecat toh tidak ada yang membela", kata mereka. "Mencari
pekerjaan saja sekarang susah sekali".
"Perusahaan swasta selalu menyalahgunakan pengangguran", kata
Maria. Karena itu pula ia menyediakan diri sebagai tempat
bertanya. Juga sebagai "konsultan", tanpa bayar, bagi wanita
yang mendapat kesulitan dalam menerin1a pelaksanaan
Undang-undang Perkawinan.
Bagi Maria ada 3 kelompok wanita pekerja. Pertama, yang memang
harus bekerja untuk menanggulangi kesulitan ekonomi. "Ini
umumnya dari kalangan rakyat jelata". Kedua, yang ingin
memanfaatkan ilmu yang ia dapat. "Untuk kelompok ini sangat
diperlukan pengertian dari pihak suami", komentarnya. Ketiga,
wanita tenaga sukarela yang bekerja sebagai hobi, misalnya untuk
menolong sesama.
Poligami
Tampaknya pandangan terhadap wanita pekerja kini sedang berubah.
Dulu, kata Maria, kalau ada wanita kalangan menengabi atau atas
be kerja, orang mencibir. Tapi sekarang, tak jarang wanita yang
sudah bersuan1i juga bekerja. Bahkan ada yang mampu mencapai
karir atau gelar yang tinggi.
Di kalangan rakyat jelata, banyak sekali isteri yang juga
mencari nafkah di samping suami. Walaupun kemajuan dunia modern
belum tentu menguntungkan kaum wanita. "Masuknya mesin huler ke
desa- desa misalnya, membuat para wanita penumbuk padi
kehilangan mata pencaharian".
Bersama dra. SK Trimurti,. Maria ikut aktif dalam Yayasan Tenaga
Kerja lndonesia (YTKI) di sektor ketenagakerjaan wanita. Usaha
yayasan meliputi lokakarya, seminar dan penerangan kepada wanita
tenaga kerja tentang hak-hak serta perlindungan hukum bagi
mereka. "Ternyata banyak yang tak tahu sama sekali", keluh
Maria.
Dalam hal pernikahan. "Di kalangan rakyat jelata, perceraian
lebih banyak terjadi daripada poligami. Kalaupun ada poligami,
motifnya biasanya hanya karena keluarga itu membutuhkan tenaga
kerja". Maksudnya, dalam masyarakat tradisionil, sebuah keluarga
bisa mendapat tambahan rizki kalau lebih banyak pula yang
bekerja: isteri kedua, ketiga, dar. anak-anak mereka tentu.
Tetapi menurut Maria, poligami lebih banyak terjadi di kalangan
menengah. "Semula saya mengira, penyebabnya kaum pria saja.
Maklum ketika itu saya masih muda dan hanya melihat dari satu
sudut. lapi setelah tua begini, justru saya berpendapat, kalal
sekiranya kaum wanita solider tidak mau menjadi isteri kedua,
ketiga atau keempat, maka tak akan ada poligami.
Tentang remaja puteri, Maria berkomentar: "Anak-anak muda
hendaknya didekati secara lebih akrab". Kepada remaja puteri
yang kebetulan sedang menjadi pimpinan, Maria menganjurkan agar
belajar lebih banyak supaya tidak memalukan remaja yang lain.
Lalu ia ambil contoh seorang puteri yang diwawancarai TV-RI
minggu terakhir Januari kemarin. "Tampaknya ia tak tahu banyak
pergerakan wanita di Indonesia. Ia tokoh KNPI. Saya tak tahu apa
tak ada up grading dan latihan-latihan di kalangan mereka".
Perhatian YTKI tentu juga terarah pada wanita pekerja di Bali,
yang sering mengerjakan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan
tangan lelaki: mengangkut batu, menjadi kulit pasar dan
sebagainya. "Lalu para penaddi banjar-banjar, apakah dibayar
secara layak? Ini juga kita persoalkan", kata Maria. Itulah
sebabnya YTKI menyelenggarakan lokakarya ketenagakerjaan di
Bali, "untuk menarik perhatian pemerintah daerah hingga
memperhatikan dan melindungi para wanita pekerja di sana.
"Memang ada kaum pria yang mengejek: kerja keras bagi wanita
'kan pelaksanaan dari emansipasi yang murni? Baiklah, tapi
bukankah
pria juga tidak diwajibkan mengandung dan melahirkan?"
"Kalau sekiranya tubuh wanita pekerja itu jadi rusak akibat
kerja keras, apa jadinya anak-anak yang mereka kandung dan
lahirkan?".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini