Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Wanita Jawa dan Bali, Konon dan Kini

Penari-penata tari Retno Maruti dan Ayu Bulantrisna menggabungkan bedaya dan legong, mementaskan legenda Calonarang. Interpretasi baru pantas diupayakan.

30 November 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tirai tipis membelah ke samping panggung Gedung Kesenian Jakarta. Di belakangnya para pemusik gamelan Jawa dan Bali duduk berjajar, sementara di belahan depan 18 wanita penari beraksi mengisahkan kembali legenda-tragis Calonarang penuh percaya diri. Dua penari-penata tari wanita Indonesia, Retno Maruti dan Ayu Bulantrisna, berkolaborasi mengusung dua genre tari klasik: bedaya Jawa dan legong Bali, yang masing-masing merupakan representasi kecantikan wanita tradisi di kedua wilayah budaya.

Dalam pentas di Gedung Kesenian Jakarta, 18-19 November 2009, untuk Festival Schouwburg VIII, Maruti berperan sebagai Bahula, murid setia Empu Barada, dan Bulantrisna sebagai Mangali, putri cantik janda Dirah yang dalam dogeng dikenal sebagai Calonarang, sang juru tenung. Setia pada tradisi bedaya dan legong, tak seorang pria pun tampak di panggung depan. Semua peran—baik pria maupun wanita, baik saleh maupun bengis—dimainkan oleh wanita.

Tontonan tari sepanjang 75 menit tanpa jeda itu tersaji dalam 10 babak yang mengalir, silih-berganti menampilkan garap-kreatif gerak tari dan iringan musik Jawa dan Bali. Bedaya Jawa yang anggun-elegan merepresentasikan Barada dan Bahula dari Padepokan Lemah Tulis Jawa. Sedangkan legong Bali yang lincah dan cerah dipakai memperagakan janda Calonarang beserta para sisya-nya dari Padepokan Walunateng Dirah.

Cerita yang mengambil latar Kerajaan Kahuripan (Jawa Timur abad ke-11) ini diawali adegan janda Dirah yang marah karena menjadi korban fitnah kekuasaan Erlangga, putra Raja Udayana di Bali, sehingga orang takut mengawini putri tunggalnya nan molek, Ratna Mangali. Janda Dirah pun menyebarkan tenung yang membuat rakyat bergidik. Tak kuasa melawan magi-hitam Calonarang, Erlangga meminta bantuan Pendeta Barada untuk membinasakan Calonarang. Tipu daya pun diupayakan: Barada mengirimkan Bahula—murid setianya yang tampan—untuk bersandiwara melamar Mangali. Tujuan sesungguhnya: mencuri Kitab Magi Hitam Calonarang.

Pinangan Bahula diterima dengan gembira. Pelaminan ditegakkan bukan tanpa korban. Taat kepada suami memaksa Mangali mengkhianati cinta, bakti, dan hormatnya kepada sang ibu: mencuri ”kitab rahasia magi” Calonarang. Mission accomplished, dan Mangali pun dicampakkan. Dengan bangga Bahula menyerahkan kitab rahasia Calonarang kepada gurunya; dengan kitab itulah ia membinasakan mertuanya.

Dengan piawai, Bulantrisna menata kembali legong sesuai dengan tuntutan cerita. Tarian yang dalam tradisi ditarikan oleh dua atau tiga penari itu ia susun kembali rapi bagi sembilan penari. Kostum tari, musik, dan iringan lagu sudah tentu bergaya Bali, tapi ditampilkan dengan interpretasi baru. Busana khas legong yang berwarna cerah (merah, hijau, ungu) dengan lukisan daun-daun dan hiasan bunga-bunga emas di kepala yang bergoyang mengikuti setiap gerakan dan getaran bahu penari disederhanakan dengan dominasi warna hitam-putih. Kecuali tata lantai yang digarap bagi tiga perangkat legong, struktur legong yang terdiri atas 4-5 bagian itu ia sebar berselang-seling dengan garap bedaya Maruti yang anggun dan elegan.

Mengikuti konvensi bedaya Jawa, Maruti menggunakan sembilan penari wanita dalam balutan kain batik dan kemben sebagai penutup bagian atas tubuh gaya baru serta sampur yang diikatkan di pinggang mereka dalam dominasi hitam-putih. Rambut ditata secara tradisi Jawa yang disebut gelung-tekuk, dihias wangi bunga melati. Namun, mengingat keperluan cerita, struktur bedaya tak dipertahankan ketat. Para penari Maruti bahkan berdialog dalam tembang Jawa yang tampaknya tabu bagi penari-penari Bali Bulantrisna.

Di bagian awal para penari Bulantrisna dan Maruti bergerak dalam tatanan gerak yang simetris lambat. Dalam adegan berikutnya mereka menari dengan suasana yang lebih ceria untuk menggambarkan adegan Mangali dan Bahula dimabuk cinta. Di bagian akhir yang disebut pesiat-legong para penari bergerak sigap dalam pertempuran sisya-sisya Calonarang yang berubah wujud menjadi burung gaok—simbol magi hitam—melawan cantrik-cantrik Barada yang bergerak tenang dalam bingkai bedaya Jawa yang menyimpan tenaga dalam.

Dari sudut artistik atau garap-wujud, secara cantik Retno Maruti dan Ayu Bulantrisna berhasil memadukan gamelan dan tarian tradisi Jawa dan Bali: bedaya yang elegan dan legong yang dinamis. Hemat saya, Bedaya-Legong Calonarang memenuhi batasan kebudayaan menurut Edward Said. Pertama, karya ini merupakan ungkapan seni yang salah satu tujuannya adalah sebagai hiburan estetik. Kedua, karya ini merupakan perwujudan dari suatu konsep yang mencakup pemurnian dan pengayaan elemen-elemen, sebuah kumpulan dari yang terbaik dalam masyarakat Jawa dan Bali yang telah diketahui dan dipikirkan.

Yang perlu dikaji kembali, bagi saya, adalah garap-isi yang tergambar dari paparan akhir cerita yang setia pada legenda: Calonarang yang gigih memperjuangkan haknya sebagai warga negara dan wanita akhirnya binasa di tangan pria Barada yang menjadi alat kekuasaan negara. Dan cinta Mangali-Bahula pun luruh sebelum berkembang penuh. Fiksi atau faktakah ini? Boleh jadi cerita ini mengangkat fakta masa lalu tapi yang pada masa sekarang sudah menjadi fiksi kalau bukan fantasi. Lirikan sekejap kepada konteks historis bisa memberikan interpretasi cerita yang lebih sesuai dengan masa kini.

Janda penyihir Calonarang yang secara tradisi digambarkan (oleh kekuasaan yang pada masa lalu selalu identik dengan pria) sebagai Rangda yang kejam berpenampilan menakutkan sebenarnya adalah Ratu Mahendradatta, putri Raja Jawa yang cantik dan mempesona. Ia bersedia dinikahi Erlangga, putra Raja Udayana dari Bali, dengan satu kondisi: Raja takkan mengambil istri kedua setelah menikahinya. Erlangga gagal memegang janji. Ia mengambil istri kedua ketika Mahendradatta hamil tua. Marah karena dikhianati, Mahendradatta membunuh Erlangga dengan ilmu hitam. Murka, Udayana membuang Mahendradatta ke hutan bersama Mangali, putrinya yang masih bayi. Pengkhianatan, perlakuan tak adil dari suami, dan hukuman dari ayah mertua mengubah Mahendradatta dari istri dan menantu yang baik menjadi pendendam dan mempraktekkan ilmu hitam.

Di Jawa dan Bali, legenda Calonarang telah diceritakan turun-temurun dalam ketidaksetaraan gender dan perspektif yang didominasi oleh pria. Dalam masyarakat feodal Jawa dan Bali, wanita menempati posisi lebih rendah daripada pria dalam hidupnya. Karena itu, boleh kita pertanyakan apakah ada keadilan dalam pencitraan, penyingkiran, dan pembunuhan Calonarang. Untuk menghubungkan legenda masa lalu dengan era pascafeodal dan pascakolonial kita, sebuah interpretasi atau cara melihat baru pantas diupayakan. Maruti dan Bulantrisna sepantasnya memberikan suara baru bagi Mahenradatta-mahendradatta masa kini, yang tetap banyak dilecehkan dan direndahkan. Meminjam cara pandang Pornrat Damrhung dari Thailand, Calonarang bisa saja digambarkan secara lebih kaya dan lebih jauh dari kanon tradisi dan konvensi, untuk dibawa lebih dekat dengan permasalahan dan cita-cita wanita Jawa dan Bali yang hidup saat ini.

Saya sadar sepenuhnya bahwa di dalam kesenian penguasaan artistik merupakan syarat penting, sangat perlu, dan aku setuju. Sebab, format dan bahasa artistik itulah yang membedakan ungkapan pribadi seorang seniman dengan yang bukan seniman. Tapi, sebagaimana disarankan Said, keterampilan dan kepekaan artistik harus diimbangi dengan kepekaan membaca konteks sejarah, budaya, dan masyarakat tempat karya seni itu diciptakan. Seorang seniman tak cukup hanya bermewah-mewah dengan rasa indah. Ia dituntut sensitif menangkap masalah mendesak masa kini. Tugas seorang senimanlah untuk memberikan kesaksian pribadi tentang masalah-masalah itu.

Tari sebagai ungkapan seni memang alat yang jitu untuk mengajak pemirsa bertamasya ke dunia fantasi yang sering membuat mereka terpana, melupakan fakta dan realitas kehidupan yang keras serta tak nyaman. Namun, untuk menjadi relevan, citra dan posisi wanita Jawa dan Bali masa lalu itu pantas diinterpretasikan kembali sesuai dengan citra, posisi, dan cita-cita wanita Indonesia masa kini.

Sal Murgiyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus