Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua kata yang telah dua tahun bercerai itu kini bersanding kembali: ”G30S” dan ”PKI”. Bulan lalu, pemerintah menetapkan bahwa setiap penulisan sejarah Gerakan 30 September dalam buku pelajaran sejarah harus dilengkapi dengan keterlibatan Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalamnya.
Buku pelajaran sejarah yang sudah telanjur menyebar di ruang-ruang kelas produk kurikulum 2004 itu memang tak menunjukkan keterkaitan keduanya. Buku untuk kelas tiga SMP dan MTs (Madrasah Tsanawiyah) terbitan Tiga Serangkai, misalnya, hanya menyodorkan: ”peristiwa sekitar Gerakan 30 September 1965 dan upaya penumpasannya” (halaman 133). Buku sejarah SMA untuk kelas XII terbitan Erlangga muncul dengan tulisan, ”sebagai pimpinan dari Gerakan 30 September 1965, Letnan Kolonel Untung mengambil suatu keputusan...” (halaman 98).
Bahkan, pada buku pertama, pemberontakan PKI di Madiun 1948 tak disinggung sama sekali. Sebaliknya buku ini menjelaskan pelbagai pemberontakan lain: pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di Jawa Barat, pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)/Permesta.
Maka, akhir tahun lalu puluhan ulama dari Jawa Timur dan Jawa Tengah pun menyatakan kecurigaan bahwa penulisan itu sengaja dilakukan untuk menghapus sejarah kelam PKI di Tanah Air. Mereka menemukan 22 buku yang dicetak oleh 10 penerbit tak menyertakan kata ”PKI” dalam penyebutan ”G30S”.
Merasa ”tersengat”, Bambang lalu menugasi Badan Standar Nasional Pendidikan untuk menelitinya. Badan ini kemudian membentuk tim ad hoc pelurusan mata pelajaran sejarah yang beranggotakan lima orang ahli sejarah dari sejumlah universitas dan diketuai Djoko Suryo, sejarawan Universitas Gadjah Mada.
Enam bulan bekerja, tim itu sepakat mengoreksi isi buku dan menetapkan satu versi untuk penulisan sejarah PKI. ”Menggunakan versi pemerintah, semua penulis harus menulis G30S PKI, bukan G30S saja. Pemberontakan PKI di Madiun juga harus diuraikan seperti pemberontakan-pemberontakan lainnya,” ujar Djoko, Rabu dua pekan lalu.
Djoko mengatakan, penyatuan dua kata itu untuk menghindari salah tafsir oleh siswa. ”Ini terkait dengan anak didik yang belum bisa diajak berpikir analitis,” dia memberi alasan. Menurut dia, pada pendidikan pangkal pertama (SD sampai SMA), siswa belum bisa berpikir secara analitis dan terbuka dengan mengajarkan banyak versi soal PKI.
Djoko juga menyebut Tap MPRS No. XXV/1966 dan keputusan pengadilan 1967, bukti hukum bahwa PKI memang terlibat da-lam Gerakan 30 September. Bukti formal itulah yang menjadi pegangan tim. Berdasar rekomendasi dari tim ini, Menteri Bambang pun pada bulan lalu memutuskan menarik buku pelajaran sejarah produk kurikulum 2004.
Mengapa kurikulum 2004 melerai kata ”G30S” dan ”PKI”? Kepala Pu-sat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional, Diah Hariyanti, menjelaskan bahwa kurikulum 2004 merupakan kurikulum perintisan atau masih dalam uji coba menuju kurikulum tingkat satuan pendidikan yang mengacu pada standar isi, yang dijadwalkan berlaku pada 2006. ”Pada kurikulum 2004, penulis tidak diharuskan menggunakan satu versi untuk menjelaskan sejarah PKI, penulis boleh menggunakan versi mana saja,” kata Diah.
Sejarawan senior Anhar Gonggong menilai tidak ada kesalahan dalam penulisan Gerakan 30 September. Sebab, secara faktual metodologi penulisan G30S tanpa PKI tetap benar. ”Dalam pandangan saya, tidak membahayakan apa-apa kok terhadap negara,” ucap Anhar.
Berdasarkan fakta, kata Anhar, ketika gerakan itu dilakukan pada 30 September, Dewan Revolusi menamainya Gerakan 30 September, tanpa menambahkan PKI. Begitu juga pada 1 Oktober saat pengumuman gerakan itu, Letnan Kolonel Untung bersama Dewan Revolusi hanya menyebutnya Gerakan 30 September. ”Jadi, namanya adalah Gerakan 30 September,” kata Anhar sambil menyebutkan kata PKI ditambahkan di belakang G30S oleh kekuatan Orde Baru.
Walau demikian, Anhar memahami kebijakan pemerintah menarik buku-buku itu. Karena, ”kebijakan muatan kurikuler untuk pendidikan dari SD sampai SMA selalu berada di tangan pemerintah,” ujarnya. Namun, dia mengingatkan agar pemerintah dan para guru memberi gambaran suasana historis dalam kedua istilah itu. ”Yang salah, jika pendidik tidak tahu suasana historisnya,” ujarnya.
Sunariah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo