Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berkaca Cara Mister Lee

13 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SINGAPURA hampir setengah abad silam dikenal sebagai negara miskin. Pendapatan per kapita penduduknya hanya US$ 443, atau sekitar sepertiga Indonesia sekarang. Ketika mewarisi kekuasaan dari Inggris pada Juni 1959, Partai Aksi Rakyat (PAP) mendapati birokrasi yang korup dan tak efektif. Gaji rendah, plus inflasi tinggi, bahkan membuat korupsi merajalela sejak Perang Dunia berakhir.

Wajah ”bopeng” Singapura itu kini berubah drastis. Survei tahunan Transparansi Internasional secara rutin memasukkannya dalam jajaran negara paling bersih di dunia bersama Finlandia, Selandia Baru, dan Swedia. Ia juga masuk dalam jajaran negara maju dan kaya dengan pendapatan per kapita US$ 26.600 pada tahun lalu.

Apa rahasia sukses Singapura? Menurut Prof Jon S.T. Quah, peneliti dari Universitas Nasional Singapura, itu karena upaya pemerintah menjalankan program antikorupsi secara menyeluruh sejak 1959. Lee Kuan Yew, pemimpin PAP dan perdana menteri pertama Singapura, berhasil mengubah birokrat bermental korup menjadi bersih dan berorientasi kemajuan. Melalui reformasi birokrasi, pegawai negeri sipil yang semula tak peduli atas negaranya terdorong memajukan bangsa.

Pada tahap awal reformasi, PAP membentuk Pusat Studi Politik sebagai pusat pendidikan mental bagi pegawai ne-geri. Lee mengajak mereka mengubah mental bangsa terjajah. ”Saya ajak Anda bekerja sama memecahkan masalah dengan membuat birokrasi yang lebih sensitif dan responsif atas kebutuhan rakyat,” katanya.

PAP kemudian menerapkan sistem meritokrasi atau pengisian jabatan semata-mata berdasarkan kinerja. Bahkan, Lee secara tegas menekankan soal efisiensi dan tidak menghiraukan senioritas dalam promosi jabatan. ”Saya tak peduli berapa tahun seseorang di posisinya,” ujar Lee, seperti dikutip Malay Mail pada Juli 1961. ”Kalau dia orang terbaik untuk posisi itu, letakkan di situ.”

Untuk menekan korupsi, Lee mengawali dengan mengamendemen Peraturan Pemerintah tentang Pencegahan Korupsi menjadi Undang-Undang Pencegahan Korupsi, pada 1960. Undang-undang ini cakupannya lebih luas. Sanksinya pun keras dan ada kewenangan yang lebih besar pada pemerintah untuk menindak birokrat korup. ”Korupsi ibarat kanker, harus diberantas segera setelah terdeteksi,” kata Lee.

Sebagai konsekuensinya, mulai 1972 pemerintah menaikkan gaji pegawai negeri sipil secara bertahap agar setara dengan swasta. Mereka mendapat gaji ke-13 laiknya bonus di perusahaan swasta. Pada 1994, atas persetujuan parlemen, gaji menteri dan pejabat senior pun didasarkan pada rata-rata gaji tertinggi enam sektor swasta, seperti perbankan, akuntan, pengacara, dan perusahaan multinasional.

Dampaknya, gaji pejabat Singapura menjadi tertinggi di dunia. Pejabat tertinggi di golongan V digaji US$ 34.571 per bulan pada 1994. Sedangkan pejabat setingkat di Amerika Serikat hanya digaji US$ 7.224. Pada 2000, gaji Perdana Menteri Singapura mencapai US$ 1,1 juta per tahun. Jumlah ini lima kali lipat gaji Presiden Amerika Serikat.

Lee pernah bicara di parlemen, pada Maret 1985, tentang pentingnya menaikkan gaji para menterinya. Bagi Lee, pilihannya cuma dua. Pejabat digaji tinggi dan pantas agar mereka jujur dan pemerintah bersih, atau mereka digaji rendah dengan risiko terserang penyakit korupsi, seperti di negara dunia ketiga.

Soal ini, mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Kwik Kian Gie, punya cerita. Seorang menteri dan sahabat Lee pernah terbukti disuap oleh pengusaha Indonesia sekitar US$ 50 ribu. Meski sahabat Lee, ia dipecat dan dipenjarakan. ”Di tahanan, menteri tersebut bunuh diri karena malu,” katanya kepada Tempo, pekan lalu.

Itulah harga yang harus dibayar Singapura. Tapi, hasilnya: Negeri Singa itu kini menjelma menjadi negara dengan pemerintah yang bersih, birokrasi sederhana, iklim probisnis, dan infrastruktur efisien. Tak mengherankan, 7.000 perusahaan multinasional dari Amerika, Jepang, dan Eropa berlomba membenamkan uang di sana. ”Upaya Singapura menekan korupsi berhasil menarik investasi,” ujar Paul A. Volcker, ekonom dunia, seperti dikutip Koran Tempo September lalu.

Heri Susanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus