Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Bush

13 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wartawan: Siapa filosof favorit Anda?

George W. Bush: Yesus Kristus.

Menyebut Yesus Kristus ”filosof” adalah sebuah tindakan yang ganjil. Seorang filosof mengamati hidup, merumuskan pandangan dan sikapnya—dan pada suatu saat digugat, dikritik, atau dibatalkan filosof lain. Seorang Kristen lazimnya tak akan menganggap Yesus seenteng itu. Bush, yang dalam kedudukannya sebagai Presiden Amerika Serikat menghidupkan ”kelompok studi Injil” di Gedung Putih, tentu menyadari itu. Tapi ia—dan juga orang-orang konservatif di sekitarnya—memang punya kecenderungan mencampur-adukkan yang ”ilahiyah” dan yang ”duniawi”. Mereka ingin mengalahkan pemisahan antara agama dan negara, antara agama dan pengelolaan masyarakat, antara agama dan ilmu.

John Ashcroft, tokoh Pantekosta yang kemudian diangkat jadi Jaksa Agung, pernah dikutip mengatakan bahwa dinding yang memisahkan gereja dan negara adalah ”dinding penindasan atas agama”. Garry Willis, dalam tulisannya untuk The New York Review of Books 16 November 2006, menguraikan bagaimana pemerintahan Bush dan orang-orang Kristen sayap kanan mencoba meluruskan—dan dengan demikian mengobrak-abrik—pengertian tentang pelbagai hal, termasuk keadilan, yang dibangun dari pengalaman manusia berabad-abad, pengalaman yang sering disertai kesengsaraan dan kebodohan.

Dalam soal diskriminasi, misalnya. Pada awal tahun 2002, Bala Keselamatan Amerika Serikat dituntut karena mengharuskan para karyawannya meyakini ajaran Yesus. Dengan kata lain, mereka yang tidak disisihkan dari kesempatan kerja. Di Amerika Serikat yang dulu, penyisihan itu adalah sebuah tindakan diskriminatif. Di Amerika Serikat pada masa Bush, apa yang dilakukan oleh Bala Keselamatan itu termasuk ”hak-hak beragama” yang dibela.

Akan menyesatkan apabila argumen untuk mempertahankan ”hak” itu—seperti halnya alasan mempertahankan ”hak bersuara” dalam penyebaran ajaran ”desain cerdas” yang dimaksudkan untuk melawan teori ilmiah tentang evolusi—berakar kepada komitmen yang mendalam terhadap demokrasi. Saya ragu akankah Kaum Kristen Kanan, jika mereka berkuasa, akan membiarkan teori evolusi Darwin diajarkan di sekolah. Demokrasi bermula dari asumsi bahwa tak ada yang kekal dalam hal menentukan siapa yang paling benar.

Ada sebuah kejadian yang sebenarnya karikatural, tapi bukan hanya khayal. Jenderal William (Jerry) Brown, pejabat tinggi di bidang intelijen pertahanan, jadi berita utama ketika pada masa Perang Irak ia berpidato di pelbagai gereja dengan pakaian tempur. Pada tahun 2000, ia bersuara berapi-api, membela Bush, membela Amerika, dan membela apa yang dianggapnya sebagai Kristen:

”Kenapa orang ini duduk di Gedung Putih? Mayoritas orang Amerika tak memilihnya. Kenapa ia di sana? ….Saya katakan kepada Anda semua pagi ini: ia ada di Gedung Putih lantaran Tuhan meletakkannya di sana dalam masa seperti ini. Tuhan meletakkannya di sana bukan saja untuk memimpin bangsa ini, tapi juga memimpin dunia….”

”Perang yang dilakukan bangsa ini adalah sebuah perang spiritual, perang bagi suka kita. Dan musuh itu adalah seseorang yang disebut Setan…. Setan itu ingin menghancurkan kita sebagai bangsa, dan ia ingin menghancurkan Bala Tentara Kristen….”

Sebuah republik yang merupakan desain Tuhan adalah sebuah republik yang sebenarnya mengandung kontradiksi. Sebab pada saat ketika republik berdiri, dan seorang presiden dipilih, yang terjadi sebenarnya adalah hilangnya asumsi bahwa Tuhan—yang selamanya benar—telah memberi jaminan atas sesuatu yang secara hakiki tak sempurna. Raja-raja sering dianggap sebagai penjelmaan kehendak Allah, dan ketika mereka dimakzulkan, yang berlaku adalah keadaan yang berdasarkan dugaan dan harapan, bukan kepastian.

Saya tidak tahu apa yang sekarang akan dikatakan orang macam William (Jerry) Brown setelah Perang Irak dengan jelas tak dapat dimenangkan Amerika Serikat—dan setelah rakyat Amerika berduyun-duyun melepaskan dukungan mereka kepada pemerintahan Bush. Brown, yang dalam versi Islam di Indonesia diwakili Abu Bakar Ba’asyir, lebih percaya bahwa demokrasi harus diabaikan, dan titah Tuhan dapat diterjemahkan secara memadai di atas bumi. Contoh yang sekarang tampak di Amerika Serikat ialah contoh tentang Tuhan yang keliru: jika benar Ia meletakkan George W. Bush di atas takhta, seraya mengabaikan kehendak mayoritas rakyat.

Garry Willis benar ketika ia menulis: ”Ada sebuah bahaya khusus dalam sebuah perang yang dikomando Tuhan. Bagaimana kalau Tuhan ternyata harus kalah?” Orang-orang Kristen Kanan, seperti halnya kaum Islam Kanan, tak membayangkan itu bisa terjadi. Mereka tak mau menerima apa yang terjadi di Irak. Mereka tak mau menerima bahwa ketika Tuhan diasumsikan mengurus langsung kehidupan manusia, ketika itu Tuhan dikebiri dan dipaksa jadi bagian dari kehidupan manusia.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus