Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH dua tahun ini Agus Setyo Purnomo memutar otak. Ternyata tak gampang menyalurkan kredit di atas Rp 100 juta, meski dengan embel-embel tanpa agunan. Nasabah yang dapat digaet manajer tim personal loan sebuah perusahaan agen penyalur pinjaman di bawah Standard Chartered Bank, untuk area Malang, Jawa Timur, itu tak juga bertambah.
Sudah lewat 24 purnama, hanya satu orang yang bisa digaet. ”Baru September kemarin kami mendapat debitor Rp 150 juta,” katanya kepada Tempo, pekan lalu. Padahal, Agus adalah ujung tombak pemasok debitor StanChart. Melalui tangannyalah banyak nasabah bisa dijaring.
Di Ibu Kota, kondisinya tak jauh beda. Dalam enam bulan terakhir, Puji Hartono dari ABN Amro Bank belum juga bisa menggaet satu pun calon debitor untuk pinjaman Rp 100 juta. ”Kebanyakan pinjaman Rp 20 juta-30 juta,” katanya.
Walhasil, bank-bank yang semula bernafsu membidik debitor di kisaran Rp 100 juta kembali ”balik badan”. Ceruk rezeki lama, para peminjam duit puluhan juta rupiah, kembali dilirik. Dan ternyata, peminatnya justru kian membludak. Agus dan Puji pun tak perlu banyak keluar keringat. ”Sejak Januari lalu, per bulan rata-rata kami bisa mendapat 30-40 nasabah,” katanya. ”Nilai totalnya sekitar Rp 600 juta sebulan.”
Siapa saja nasabah yang kini kian diincar itu? Menurut Lani Darmawan, General Manager Credit Cards and Personal Loans StanChart, mereka adalah para karyawan berpenghasilan tetap minimal Rp 2,5 juta. ”Mereka target utama kami,” ujarnya. Sebagai iming-iming, berbagai syarat pinjaman dipermudah: cukup menunjukkan fotokopi kartu identitas dan slip gaji terakhir. Duit utangan pun segera mengucur.
Dalam soal kredit tanpa agunan, StanChart memang terbilang salah satu jagonya. Bank beraset total Rp 11,2 triliun itu bahkan merupakan salah satu pelopor. Kredit jenis ini, kata Lani, kini telah mendominasi alokasi kreditnya: di atas 33 persen dari total kredit per Maret lalu, yang mencapai Rp 7,2 triliun. ”Kredit tanpa agunan kami per tahunnya rata-rata tumbuh 40 persen,” ujarnya.
Itu sebabnya StanChart bahkan berani menaikkan plafon kredit dari semula Rp 100 juta menjadi Rp 150 juta. Sejumlah bank asing lain pun kini gencar membidik segmen ini. Sebut saja Citibank, ABN Amro Bank, dan Bank Bumiputera. Namun, tak seperti StanChart, ketiganya cuma berani mematok plafon pinjaman maksimal Rp 100 juta. ”Jika plafon dinaikkan, risikonya jadi lebih besar,” kata Rico Usthavia Frans, Country Marketing Head Citibank, pekan lalu.
Kredit konsumsi tanpa agunan sejatinya bukan barang baru. Sejak dua tahun lalu, bank umum telah masuk ke bisnis yang masuk kategori pinjaman pribadi ini. Tapi, pertumbuhannya memang sempat terpukul. Salah satunya, kata Fauzi Ichsan, ekonom StanChart, disebabkan melonjaknya suku bunga patokan Bank Indonesia dari kisaran 7,5 persen menjadi 12,75 persen tahun lalu, untuk meredam gejolak inflasi.
Dengan bunga setinggi itu, jelas biaya pinjaman ke bank menjadi sangat mahal. Nah, dengan terus menurunnya suku bunga BI—pekan lalu kembali diturunkan 50 basis poin (0,5 persen) menjadi 10,25 persen—bisa jadi inilah saatnya kredit konsumsi, termasuk yang tanpa jaminan, kembali digenjot.
Getolnya bank asing memasarkan kredit konsumsi ini tecermin pada data Bank Indonesia setahun terakhir. Secara umum, kredit konsumsi mengalami peningkatan. Sementara awal tahun lalu posisinya masih di angka Rp 152,5 triliun, per Agustus silam telah membengkak menjadi Rp 214,5 triliun. Kenaikan itu antara lain andil bank asing dan campuran. Pada Januari lalu jumlah yang dikucurkan kelompok bank ini baru Rp 16,8 triliun, namun per Agustus lalu jumlahnya sudah bertambah sekitar Rp 2,5 triliun.
Danto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo