Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Yang Kampung, yang Avant-Garde

Spirit seniman kontemporer kita bersumber pada seni jalanan. Itu yang disajikan pameran Ethnicity Now di Galeri Nasional, Jakarta.

13 Desember 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUSEUM Seni Indah Sejati. Itu judul yang diberikan oleh perupa Samuel Indratma dari Yogya. Jika Anda memasuki ruang utama Galeri Nasional paling belakang, Anda akan melihat aneka karya berbau ”kampung” dipajang. Slebor becak ditata di dinding, pelat tambal ban sampai tukang ledeng ditata necis, gambar geber wayang digantung-gantung, hiasan wuwungan atap rumah Jawa dideret rapi.

Samuel menghimpun berbagai karya seniman jalanan dan perajin yang namanya tentu tak Anda ketahui. Mereka seniman yang membuat karya untuk keperluan praktis sehari-hari. Kurator atau kolektor mana yang kenal nama Mbah Tjipto Setiono, Mbah Tjipto Wibagso, Teguh Tamsis, Yayas, Pak B, Kery Bantul, Andreas Barnadi, dan Mas Panjang?

Inilah hal yang paling menarik dalam pameran Ethnicity Now yang digelar Garis artSpace selama 10 hari sejak Kamis dua pekan lalu. Nama para seniman jalanan di atas bersanding dengan Heri Dono, Nasirun, I Wayan Bendi, I Made Djirna, Samuel Indratma, Angki Purbandono, Indieguerillas, dan Yudi Sulistya.

Perjalanan dari kampung ke kampung sejak 1998 mempertemukan Samuel dengan mereka. Mereka orang yang tak pernah merasa jadi seniman tapi napas dan daya hidupnya adalah berkesenian. Mereka bertahan hidup sehari-hari dengan kesenian.

Samuel mengumpulkan berbagai ragam karya mereka. ”Jadi saya ini kurator, direktur, merangkap satpam museum itu,” selorohnya. Semula judul proyeknya hanya Museum Seni. ”Indah Sejati” ditambahkan dari teks sebuah plakat konsultasi supernatural yang ditempel di jalan-jalan dan pepohonan.

Sebagai seniman, lihatlah betapa variatifnya kerja mereka. Amati bentuk 62 hiasan wuwungan rumah Jawa berbahan terakota. Ada yang berwujud kepala gajah, kuda, kambing, mahkota, sampai buah pisang. Tengoklah 76 lukisan di atas slebor becak karya Tjipto Setiono. Gambar-gambarnya menampilkan hiruk-pikuk sehari-hari dengan tulisan: ”Tentrem”, ”Santun”, ”Panuju”, ”Rejeki”, dan lain-lain.

Atau perhatikan lukisan wayang karya Sutjipto Wibagso. Dari Dewa Brahma, Jatha Sura, Hanoman, Sugriwa, Resi Subali, Gunawan Wibisono, Dewi Sayempraba, hingga Dewi Anjani dilukis dalam secarik kain berukuran poster film. Lelaki 68 tahun itu sehari-hari tinggal di kamar sempit di belakang gedung pertunjukan wayang orang Taman Hiburan Rakyat Yogya, yang tiap malam mementaskan Ramayana. ”Tiap pagi beliau bersih-bersih, njemur pakaian pentas, nyapu, malamnya mentas, lalu nggambar,” kata Samuel.

Lihatlah puluhan plakat nama toko, kios, tukang tambal ban, bakul sate, tukang ledeng, dan nomor rumah berbaur dengan mainan dari terakota karya Bu Marmi Kasongan. Atau boneka-boneka balerina dari kertas koran, mirip boneka Barbie karya M. Rochman. Lukisan Subandi Giyanto dari Bantul pada seng bundar bertema punakawan: Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, membuat lebur urusan urban.

Simak karya Pak Olif, ahli rajah Arab. Japa mantra tolak bala yang biasanya ditulis di kertas sebagai jimat ia transfer ke meja, daun pintu, dan jendela. Hasilnya seperti ornamen perabotan Mesir kuno. Juga relief ukir gebyok berfragmen lakon pewayangan karya dalang muda otodidak, yang jika siang hari jadi kuli batu.

Karya-karya itu tak pernah terbayangkan masuk Galeri Nasional. Tapi karya mereka kini dipamerkan bersanding dengan karya Heri Dono, Nasirun, I Wayan Bendi, I Made Djirna, Angki Purbandono, Indieguerillas, dan Yudi Sulistya, para perupa yang sudah malang-melintang di berbagai pameran dalam dan luar negeri.

Yang menarik, pada beberapa seniman kontemporer terasa sumber inspirasinya hampir senyawa dengan para seniman kampung itu. Terasa bahwa sumber kreativitas, semangat main-main, fantasi, dan keisengan mereka senapas. Tengoklah karya Heri Dono. Raden Saleh dengan 1.000 Tenaga Kuda, yang membuat patung Raden Saleh menggunakan andong kuno.

Atau karya Nasirun, Bajaj Pasti Berlalu. Tiga buah bajaj disulap seperti kereta keraton. Nasirun berkolaborasi dengan pemahat wayang, menatah pelat aluminium yang disematkan ke sekujur tubuh bajaj. Tiga bajaj itu pun berubah wujud menjadi mahkota raja, ratu, dan naga. Satu spirit bukan?

Memang, bila kita menengok karya Indieguerillas, yang terdiri atas pasangan Santi Ariestyowanti dan Dyatmiko Bawono, agak berbeda. Mereka memboyong sebuah mobil Morris Mini Cooper Mark III 1974, yang sekujur tubuhnya mereka torehi gambar. Judulnya Radja Jalanan, Ada Duit Ada Jalan Merajah. Tapi, sebentar, perhatikan gambar mereka: Bukankah itu fragmen cerita pewayangan Petruk Dadi Ratu?

Juga Souvenir WW #1 karya Yudi Sulistya. Yudi adalah seniman yang betul-betul terampil. Karyanya adalah sebuah mobil kuno—mirip-mirip traktor kecil. Orang akan menyangka bahwa traktor itu terbuat dari baja yang kuat. Tapi cobalah mendekat, usaplah, ternyata semuanya itu terbuat dari kertas. Dahsyat! Atau perhatikan karya Angki Purbandono: TV Lovers. Ia menghadirkan 234 neon box yang menampilkan berbagai capture siaran televisi. Bukankah itu mengingatkan kita akan parade televisi di pusat penjualan barang elektronik Glodok?

Ethnicity Now berhasil menyajikan bagaimana cakrawala estetik para seniman avant-garde kita ternyata begitu dekat dengan alam pikiran seni jalanan atau seni vernacular. Inilah yang mungkin dimaksud kurator Jim Supangkat dan Hermanto Soerjanto, penggagas pameran dari Garis artSpace, bahwa ethnicity sesungguhnya tak hilang dalam karya mutakhir kita. Sementara di Barat seni rupa modern melihat seni tradisi adalah kontradiksi modernitas, di sini tidak. Sebab, sesungguhnya yang kontemporer dan yang kampungan bertolak dari sumber yang sama.

Dwidjo U. Maksum

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus