Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI layar hitam sembilan sosok wayang orang berjejer diam. Di antara mereka ada kelompok punakawan (Petruk, Bagong, Gareng), ada juga Arjuna, Krisna, Hanoman, Sinta, Srikandi, dan Pergiwati. Mereka diam di kegelapan layar dengan iringan gesekan rebab yang nglangut. Tapi, dalam hitungan detik, satu per satu sosok itu menguap menjadi partikel-partikel kecil mulai tubuh bagian atas seperti adegan film fiksi ilmiah. Sesaat kemudian sosok tadi muncul kembali, tapi hanya tersisa tiga. Ketiganya digambarkan bergerak, toh akhirnya nasib mereka sama saja: menguap.
Krisna Murti, 53 tahun, mengangkat sembilan tokoh epik Ramayana dan Mahabharata itu ke dalam karya video instalasi bertajuk Empty Theater. Karya ini adalah salah satu dari 23 karya video, satu instalasi suara interaktif, 29 karya cetak digital, serta dua karya neon box dalam pameran yang berjudul Mediatopia di Semarang Gallery pada 3-23 Desember. Inilah pertama kali pameran seni media baru semi-retrospektif di Indonesia. Pameran yang dikurasi Rifki Effendi ini menampilkan konsistensi Krisna Murti menggauli seni media baru sejak 1993 hingga 2010.
Nasib sembilan citraan tokoh wayang orang tadi sebagaimana menguapnya nasib pertunjukan wayang orang Ngesti Pandowo di Semarang dan tontonan seni tradisi lainnya dilindas tayangan televisi. Krisna, yang menghabiskan waktu remajanya di Semarang, tahu benar, pada dekade 1960 pertunjukan Ngesti Pandowo tak cuma menjadi hiburan kaum urban, tapi juga menjadi orientasi budaya dan menumbuhkan interaksi sosial. Tiap pertunjukan Ngesti Pandowo menjadi pembicaraan hangat di penjuru kota.
Saat ini Ngesti Pandowo memang masih ada. Tiap akhir pekan mereka tetap menggelar teater tradisional ini di Taman Budaya Raden Saleh Semarang. Tapi, dalam setiap pertunjukan, jumlah penonton bisa dihitung dengan jari. ”Ini kondisi yang memprihatinkan,” kata Krisna. Saat ini tak ada pemuda yang bermimpi bisa menjadi seniman wayang orang dan bergabung dengan Ngesti Pandowo. Manakala era televisi menguasai hajat hidup tiap keluarga di dalam rumah, remaja lebih suka bermimpi menjadi bintang sinetron ketimbang menjadi bintang panggung Ngesti Pandowo.
Ada semangat melawan dominasi industri siaran televisi pada karya video Krisna Murti, sebagaimana yang dilakukan perintis seni video semacam Nam Jun Paik di Amerika Serikat pada 1960-an. Dia melakukan advokasi terhadap produk budaya tradisi yang terjungkal karena industri siaran televisi menggedor setiap pintu rumah.
Krisna adalah perupa yang sudah fasih menggunakan media video. Dia menghentikan gerak saat menggambarkan menguapnya nasib Ngesti Pandowo. Saat lain, dia melambatkan gerak pada karya Empty Time, ketika sembilan perempuan Jawa membawakan tari bedaya ketawang, satu tarian yang dimaksudkan untuk meneguhkan kekuasaan raja Jawa, baik secara politik maupun supernatural. Perupa yang menamatkan kuliah di studio seni lukis Institut Teknologi Bandung ini mengulang-ulang gerakan tari yang dia rekam di istana Kasunanan Surakarta itu dengan tempo yang ekstrem lamban sehingga penonton bisa melihat detail gerakan penari.
Lewat karya bertarikh 2002 ini Krisna mempertanyakan wacana yang mempertentangkan kelambanan budaya Jawa dengan modernisme. Modernisme selalu mempropagandakan kecepatan dengan semangat kapitalisme. Jika bekerja cepat, seseorang akan mendapat hasil berlipat. Namun, pada dimensi spiritual, teori kecepatan tidak berlaku. ”Apakah kalau Anda salat dengan cepat, Anda dikatakan modern?” ujarnya.
Krisna menggunakan teknologi modern untuk memediasi, memprovokasi, dan menstimulasi gagasan tentang masalah kebudayaan, ekonomi (Guardian of the Mount Coal, 2010), lingkungan (Hole in the Earth, 2010), sejarah (My Ancestors are Sangiran Men, 1997), politik (Learning to Queue up to The Ants, 1996; President’s Brand Party Liner, 1998), agama (Beach Time, 2003), tenaga kerja (No Hero, 1996), dan masalah lain yang luput dari perhatian kebanyakan perupa.
Keunggulan perupa dari negara berkembang semacam Krisna Murti—juga tampak pada karya Heri Dono—adalah kemampuan mengawinkan teknologi modern sederhana dengan elemen seni tradisi. Semisal, pada karyanya yang paling anyar bertajuk (Miss) Call Me, Please, Krisna mengeksplorasi elemen bunyi dengan memanfaatkan teknologi telepon seluler yang disambungkan dengan sirkuit elektronik untuk menggoyang instrument musik tradisional angklung agar berbunyi. Pada karya interaktif ini penonton bisa terlibat dengan melakukan sambungan telepon seluler ke tiap instalasi angklung tadi, yang diberi sederet nomor telepon seluler.
Krisna Murti melengkapi bahasa geraknya lewat media video justru dengan teknologi yang mematikan gerak, yakni fotografi dengan tek-nik cetak digital. Dengan teknologi ini dia dengan mudah memadukan citraan apa pun untuk mengangkat isu tertentu. Pada karya seri De-collection dia mengawinkan kontras elemen seni tradisi dengan seni pop berupa citraan tokoh wayang dengan citraan robot pada film animasi atau dengan lanskap pasar modern, lubang galian pertambangan, hingga kontras pakaian terbuka sosok Sinta dengan pakaian kelompok perempuan yang mengenakan jilbab.
Bahkan Krisna menyandingkan media video dengan media konvensional lukisan pada karyanya berjudul Airplane (2007), berupa rekaman video statis terhadap lanskap pantai di Singapura. Elemen gerak (video) pada karya ini hanya tampak ketika orang bisa menangkap gerak pesawat terbang dalam ukuran kecil yang melintas di cakrawala, gerak ombak laut, dan perubahan suasana gelap pada pukul 4 pagi secara perlahan menjadi terang dan menjadi gelap kembali pada pukul 5 sore. Dari citraan video itu Krisna membuat lukisan lanskap bak lukisan mooi indie.
Keragaman penggunaan media inilah yang jarang terdapat pada perupa yang berkarya dengan media seni media baru. Dan Krisna adalah sedikit perupa yang suntuk dan bertahan dengan media ini yang bukan merupakan media arus besar dalam seni rupa. Ini pula sebabnya hanya segelintir galeri yang mau memamerkan karya instalasi video Krisna Murti. ”Krisna beberapa kali mengeluh, sejumlah galeri berjanji memamerkan karya dia, tapi tidak pernah dilaksanakan,” ujar Chris Dharmawan, pemilik Galeri Semarang. Sebagian besar karyanya hanya tampil dalam pameran di luar negeri, dari Meksiko hingga Moskow, sebagaimana yang diinginkannya ketika pertama kali ia secara sadar memilih video sebagai media ekspresi pada 1990.
Raihul Fadjri, Sohirin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo