Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Petang baru saja datang di Kuta. Langit di atas pesisir Bali masih menyisakan sedikit semburat warna jingga. Pada awal minggu kedua Juni itu, di pelataran Discovery Kartika Plaza yang elok, acara Bali Fashion Week digelar dalam suasana yang menggairahkan. Inilah tempat berlaga bagi para perancang busana, sekaligus tempat merayakan ide-ide liarnya. Arena bagi lebih dari 30 perancangdalam dan luar negerimemamerkan koleksinya.
Yang segera tampak di panggung tak lain adalah karya-karya para perancang busana seperti Poppy Dharsono, Taruna K. Kusmayadi, Sofie, Oka Diputra, Musa Widyatmodjo dan Dina Midiani, Ali Charisma. Ada pula perancang muda seperti Agnes Caroline dan Putu Aliki, semuanya dari Indonesia. Dalam Bali Fashion Week (BFW) ini, kita juga menemukan beberapa perancang dari luar, misalnya Catalin Botezatu (Rumania), Peter Lau, Cecilia Yau (Hong Kong), Tatyana, Daria Razumilkhina (Rusia), Melinda Looi (Malaysia), dan beberapa yang lain.
Dibandingkan dengan pergelaran tahun-tahun sebelumnyaini merupakan yang keenamBFW kali ini agaknya yang paling meriah. Selain mengakomodasi para calon perancang yang sedang belajar di sekolah mode seperti Esmod, pergelaran ini juga dimeriahkan dengan hiruk-pikuk karnaval dan melibatkan kebanyakan orang.
Ada beberapa hal yang menarik untuk dicatat dalam pergelaran BFW VI ini. Salah satunya adalah moncernya para perancang muda seperti Putu Aliki, Agnes Caroline, Muji Ananta. Padanya, kita agaknya bisa berharap banyak akan muncul dan terpeliharanya gagasan-gagasan segar, yang nantinya bisa memasuki pusaran dunia mode internasional. Pelbagai ide dasar yang amat personal mereka tuangkan dalam karya-karya terbaru yang ikut ditampilkan.
Kesukaannya pada film "hantu-hantu bangsawan" seperti vampir pada Putu Aliki, misalnya, lewat koleksi terakhirnya, Mysterious Mistress, setidaknya berbuah manis. Ia dinobatkan sebagai desainer terbaik dalam Bali Fashion Week VI kali ini.
Tentu saja, dengan konsep dasar seperti itu, baju-baju hasil rancangannya tidak membuat perempuan yang memakainya menjadi molek bak Cinderella. Pemakainya justru lebih cocok tampil dengan tanduk merah di atas kepala. Ada fantasi lain yang lebih "edan" dalam berbagai karya Aliki, yang memberikan identitas tunggal kepada pemakainya.
Sebagaimana koleksi Aliki sebelumnya, Bitchy Witch, koleksi terbarunya ini sarat didominasi warna hitam dan bergaya gothic. Bedanya, Bitchy Witch lebih ditekankan pada look yang muda, dalam genre punk, sementara koleksi kali ini lebih terkesan dewasa. Dengan potongan asimetris, berumbai, serta detail yang cukup pelik, koleksi Aliki benar-benar sangat personal. "Style saya memang bukan style kebanyakan," ujarnya meyakinkan.
Identitas personal dalam rancang busana, atau orisinalitas karya, tampaknya memang menjadi ciri keutamaan bagi desainer yang sadar bahwa karya busana tak ubahnya karya seni. Dan kesadaran seperti ini memang menggejala di berbagai negara maju. Beruntung bagi Putu, begitu fashion show selesai, telah ada agen dari Kanada yang menawarkan untuk memasarkan produknya di Amerika Utara.
Desain unik dan personal juga ditampilkan oleh perancang Bali lainnya, Agnes Caroline. "Konsep dari style saya futuristik," kata perancang yang berusia 22 tahun ini. Tema dan gaya koleksinya ditampilkan lewat pecah pola yang asimetris, aksesori keemasan, dan detail yang memakai metal. Rancangan baju itu dipenuhi dengan lubang-lubang bulat berbingkai cincin tembaga. Koleksi bernuansa kontemporer itulah yang selama ini menarik perhatian para pembeli dari Belanda, Prancis, Yunani, dan negara-negara lain.
Yang tak kalah menarik adalah dua koleksi Muji Ananta, masing-masing untuk pria dan wanita. Dalam koleksi bertema Killer Instinct untuk wanita, Ananta tampaknya ingin membangun citra perempuan pemakainya hadir dengan nuansa keliaran. Dengan warna-warna terakota, ia menghadirkan para pemburu Afrika ke atas runaway. Garis-garis melintang dan potongan yang tak beraturan begitu menonjol.
Untuk koleksi pria berjudul I'm Back, Ananta menggagasnya atas konsep dasar kembalinya pasukan dari sebuah medan peperangan. Busana army look disajikan dengan cukup brutal. Compang-camping dengan banyak lubang, sehingga membangun imaji akan bekas tembakan atau terbakar oleh ledakan mortir.
Selain ketiga perancang tersebut, masih ada Ali Charisma yang terinspirasi oleh busana gipsi, Dina Midiani dengan pesona alam Nusantara, juga Denny Khosuma yang menghadirkan koleksi busana pria yang bermotif ombak arung jeram. Semuanya disajikan dengan cukup unik dan memiliki karakter personal yang khas.
Meski terlalu berlebihan, sering kali kita tergoda juga untuk mencoba membandingkan karya-karya generasi baru kita itu dengan apa yang hidup di kutub-kutub mode dunia. Misalnya dengan para perancang di London seperti Vivienne Westwood (bekas manajer grup punk Sex Pistols yang juga menciptakan busana punk), Alexander McQueen, atau John Galliano. Rancangan para desainer muda kita semacam memiliki benang merah, kalau tak bisa dikatakan berkiblat pada salah satu pusat mode dunia itu. Setidaknya desainer muda kita juga memilih menampilkan baju-baju yang "aneh" dan tidak biasa.
London, sebagai satu dari empat kutub mode yang diakui secara internasional, memang banyak memberi inspirasi bagi perancang muda, karena sifatnya yang dinamis dan membuka diri bagi gagasan-gagasan liar dan penuh eksperimen. Gelora ini yang jarang tampak pada para perancang tiga kutub mode lainnya, Milan, Paris, dan New York.
Dibandingkan dengan London, koleksi yang keluar dari New York dan Milan sangat "normal" dan cenderung mengutamakan daya pakai (wearable) yang tinggi. Di Asia, Hong Kong merupakan contoh yang baik untuk menunjuk wilayah yang berkiblat ke dua kota itu. Paris hingga kini masih lebih dikenal sebagai tempat mode dengan budaya haute-couture atau adibusananya yang amat mewah diagung-agungkan. Bahkan busana siap pakainya (pret-a-porter) pun dirancang dengan citarasa yang elegan dan berkelas aristokrat.
Para desainer Indonesia, khususnya yang menetap di Bali seperti Aliki, Caroline, Ali, Ananta, Oka Diputra, dan Irsan, tampaknya terkesan memilih jalur London. Karya mereka seolah-olah lebih mementingkan kreativitas ketimbang daya jual, sebagaimana yang dituturkannya kepada Tempo. "Saat berkreasi, saya tidak memikirkan pasar," ujar Aliki, dan diamini Caroline.
Ini berbeda dengan para perancang di Jakarta, tempat konsumennya adalah ibu-ibu yang akan pergi ke pesta. Di Bali, para desainer lebih mungkin untuk mengembangkan kreativitas karena pasar mereka datang dari berbagai belahan dunia dengan berbagai karakter yang unik. "Dina Midiani, misalnya. Meski dalam Bali Fashion Week bajunya mendapat perhatian, di Jakarta pasarnya tidak terlalu bagus," kata Mardiana Ika, desainer yang memprakarsai Bali Fashion Week.
"The freakish is no longer a private zone, difficult of access," demikian Susan Sontag pernah berkata. Dan hal itu mungkin karena ada karya para desainer dengan baju-baju unik seperti Aliki, Ananta, dan Caroline.
Qaris Tajudin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo