Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KERAMAIAN terlihat di sanggar Teater Populer di Jalan Kebon Pala I, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jumat tiga pekan lalu. Hari itu ada peringatan 77 tahun kelahiran mendiang Steve Liem—lebih dikenal sebagai Teguh Karya—pendiri sanggar. Ada haru dan tawa ketika Slamet Rahardjo menuturkan wasiat Teguh, sebelum wafat pada 11 Desember 2001.
"Teguh meminta saya menguburkan abu jenazahnya di sini," kata Slamet seraya menunjuk kuburan di pojok rumah tempat kelompok itu biasa berlatih. "Kamu yang harus turun sendiri untuk menanamnya," ujar Slamet, menirukan wasiat Teguh. Persoalannya, Slamet bingung, bolehkah umat Kristen dikremasi. Beberapa pendeta, termasuk pendeta asing yang dia kenal, menggelengkan kepala. Akhirnya Slamet bertemu dengan seorang pendeta Jawa di sebuah gereja di Rawamangun, Jakarta Timur. Pendeta itu menegaskan bahwa kremasi boleh dilakukan. "Ternyata pendeta Jawa lebih pintar daripada pendeta-pendeta asing itu," kata Slamet, 62 tahun.
Seusai kremasi, Slamet membawa pulang abu jenazah Teguh. Alangkah kagetnya dia ketika menemukan bahwa lubang itu kini bukan sedalam tiga meter, tapi lima meter. Rupanya, Teguh belakangan minta seorang tukang memperdalamnya. "Biar ada ruang yang cukup lega untuk mengetik skenario," kata Slamet, lagi-lagi menirukan Teguh.
Apa boleh buat, wasiat sang guru harus tetap dipenuhi. Slamet pun masuk ke lubang selebar 8 x 8 meter itu. Meski banjir keringat, ia berhasil mengubur abu jenazah Teguh tiga hari setelah ia wafat. Dia juga meletakkan epitaf bertulisan "Kreativitas Tidak Boleh Mati" di atasnya, sesuai dengan wasiat Teguh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo