Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font face=arial size=2>Ahmad Alamsyah Saragih:</font><br />Bila Membiarkan, Presiden Melanggar Konstitusi

DI usia yang baru menginjak tahun kedua, belum banyak yang dikerjakan Komisi Informasi Pusat. Padahal komisi yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik ini sesungguhnya menyandang tanggung jawab dan kehormatan untuk menyadarkan rakyat Indonesia akan hak-haknya memperoleh akses terhadap informasi demi kesejahteraan dan keadilan sosial.

17 Oktober 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI usia yang baru menginjak tahun kedua, belum banyak yang dikerjakan Komisi Informasi Pusat. Padahal komisi yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik ini sesungguhnya menyandang tanggung jawab dan kehormatan untuk menyadarkan rakyat Indonesia akan hak-haknya memperoleh akses terhadap informasi demi kesejahteraan dan keadilan sosial.

Namun, di antara kerja yang belum banyak itu, beberapa di antaranya cukup menarik perhatian masyarakat. Salah satunya adalah kasus rekening gendut perwira polisi. Komisi memutuskan informasi tentang rekening tersebut harus dibuka kepada publik. Kepolisian mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara, tapi kemudian mencabut banding itu. Toh, sampai sekarang tak ada eksekusi atas putusan Komisi Informasi yang seharusnya dianggap inkracht alias berkekuatan hukum tetap.

Kasus lain yang tak kalah menarik adalah "surat tugas" Badan Intelijen Negara kepada Pollycarpus dalam perkara terbunuhnya aktivis hak asasi manusia Munir. Dari hasil mediasi dengan BIN, disepakati bahwa Komisi Informasi dipersilakan datang ke kantor lembaga telik sandi itu untuk memeriksa dokumen tersebut. Kasus ini mengandung konsekuensi yang menarik bila "surat tugas" itu ada atau tidak ada. "Bila ada, berarti institusi negara melakukan kesalahan," ujar Ketua Bidang Ajudikasi Komisi Informasi Pusat, Ahmad Alamsyah Saragih. "Bila tidak ada, berarti institusi negara dipakai untuk kepentingan orang tertentu."

Ahmad Alamsyah Saragih mengakui, selain kurang sosialisasi hasil kerja Komisi di masyarakat, pihaknya mengalami kendala tentang eksekusi putusan yang harus dipatuhi lembaga negara. "Eksekusi putusan administrasi di Indonesia masih lemah," katanya. Selasa sore pekan lalu, Alamsyah menerima Yophiandi, Bagja Hidayat, dan fotografer Dwiyanto dari Tempo di kediamannya, apartemen di kawasan Sudirman, Jakarta.

Selama dua tahun ini Komisi Informasi Pusat sudah menangani beberapa kasus, tapi kenapa sedikit yang diketahui masyarakat?

Aturan main kami sudah cukup teruji dengan menyelesaikan beberapa sengketa. Kami agak percaya diri dengan lembaga ini dan fungsinya. Sekarang kami sudah diminta beberapa badan publik (termasuk lembaga negara) membuat guideline tentang keterbukaan informasi publik.

Bagaimana penanganan kasus Munir?

Komite Solidaritas untuk Munir (Kasum) sebagai kuasa hukum Suciwati, istri Munir (almarhum), meminta Komisi menangani persoalan ini. Ada dua hal yang diminta Suciwati. Sebelumnya, dia meminta kejelasan dari Badan Intelijen Negara tentang surat tugas Muchdi Purwoprandjono, yang menyatakan diperintahkan ke Malaysia. BIN tak menanggapi permintaan Suciwati. Kemudian, surat untuk Pollycarpus yang ditugasi Garuda Indonesia, yang katanya atas permintaan BIN, sebagai aviation security—petugas pengamanan. Surat itu dari Wakil Kepala BIN saat itu, As’ad Said Ali, kepada Direktur Garuda Indonesia saat itu, Indra Setiawan.

Apa hasil mediasi?

Setelah mediasi alot, BIN menyatakan surat pertama itu tak pernah ada. Kasum menerima. Tapi untuk surat kedua, Kasum mempunyai hasil forensik digital, penyidikan polisi menemukan di server BIN, ditranskrip dari bahasa komputer, ada surat penugasan Pollycarpus tersebut. Memang BIN berhak menugasi pihak-pihak tertentu melakukan pengamanan di Garuda. Mediasi menyatakan tidak ada surat itu. Untuk yang ini, Kasum bersikap lebih keras, karena di pengadilan pernah dibawa sebagai bukti. Ada atau tidak, perlu pembuktian.

Apa pendapat Komisi Informasi?

Kalau Komisi menilai ada atau tidak, ini perlu dibuktikan. Pertama, dokumennya ada atau tidak. Kemudian, bisa diberikan atau tidak. Kalau kategori rahasia, perlu uji kepentingan publik. Mengenai yang kedua ini, kedua pihak tak sepakat, maka dibawa ke ajudikasi. Kemarin (Senin pekan lalu), kami bersidang untuk mendengar argumen kedua pihak. BIN menyatakan ini sudah ada di pengadilan, untuk apa ditanyakan lagi benar atau tidaknya. Kami mengatakan, Komisi Informasi tak membuktikan ini benar atau tidak, tapi membuktikan dokumen itu ada atau tidak. Kedua pihak menerima. Jadi kami akan uji di tempat. Kami, tiga komisioner, akan ke kantor BIN. Tak boleh dihadiri penggugat.

Apa konsekuensinya jika ada atau tak ada surat tugas dari BIN itu?

Publik akan melihat bagaimana institusi ini bekerja. Bila ada dan itu perintah institusi, ada bukti bahwa institusi negara melakukan kesalahan. Kalau tidak ada, orang akan bertanya-tanya: lho, ini institusi negara dipakai untuk kepentingan orang tertentu.

Dalam peringkat keterbukaan informasi publik, BIN ada di mana?

Paling bawah. Karena indikator keterbukaan, website, tidak ada juga. Sekarang institusi ini ingin membuat ­citra yang baik. Mereka bilang, masak BIN perlu ada website segala? Saya bilang, lha, CIA saja ada, kok. Di website CIA ada bagian yang merupakan porsi informasi publik. Memang berat, karena ini perubahan pola pikir.

Bagaimana Komisi memandang Undang-Undang Intelijen?

Kami melihat dulu apa yang dimaksud kerahasiaan intelijen. Agak mirip dengan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) Pasal 17. Jadi kami melihat singgungan di kedua undang-undang itu. Sehingga, sekalipun ada Undang-Undang Intelijen, nantinya institusi itu juga tak bisa lepas dari kewajiban sebagai badan publik. Patuh juga terhadap keterbukaan informasi.

Bagaimana bila Undang-Undang KIP dan Intelijen bertabrakan?

Kontradiksi, overlapping pasti ada di mana pun. Apalagi untuk Indonesia yang menganut prinsip civil law. Selama ini kita dengar teorinya, lex specialis, lex generalis, yang sebetulnya prakteknya susah. Yang pasti bisa dipraktekkan adalah kita punya undang-undang penyelaras, itu yang kemarin kami gunakan untuk kasus rekening gendut.

Apa maksudnya penyelaras?

Itu adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Mengatur perundangan dan mengatur struktur aturan perundangan. Jadi, pasal-pasal harus patuh pada asas di sana, di Undang-Undang KIP, yaitu pasal dua. Kemudian di pasal-pasal berikutnya ada pengecualian di undang-undang lain, maka undang-undang lain setelah KIP itu patuh pada asas undang-undang KIP. Jadi, orang boleh mengecualikan dengan memakai Undang-Undang Intelijen, tapi dia harus melihat asas pada Undang-Undang KIP.

Apa asas itu?

Pertama, pengecualian harus dinyatakan dalam undang-undang tertentu. Kedua, pengecualian itu harus melalui uji konsekuensi. Untuk memeriksa, apakah pengecualian berdasarkan undang-undang lain itu masih relevan dengan Pasal 17 Undang-Undang KIP. Ketiga, uji kepentingan publik. Maksudnya, untuk membuktikan bila informasi itu dibutuhkan publik, kepentingan publik yang lebih besar harus lebih terlindungi. Tapi, bila kepentingan publik tidak terlindungi, informasi itu harus dibuka.

Di Undang-Undang Intelijen ada sanksi bagi pembocor rahasia intelijen. Hukumannya penjara di atas lima tahun dan denda ratusan juta rupiah....

Informasi rahasia juga harus berdasarkan asas kepentingan publik. Bahkan, bila orang tersebut bisa dibuktikan justru melindungi kepentingan publik dengan membeberkan informasi rahasia, dia harus dibebaskan dari semua pidana. Hal ini sesuai pula dengan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Itu semua harus dibuktikan di pengadilan.

Apakah KIP juga mengatur kasus pembocoran informasi ini?

Ya, kami mengatur bahwa asasnya harus ada pemeriksaan di depan pengadilan. Tapi, kalaupun dipidana, mestinya hukuman ringan. Di Undang-Undang KIP juga ada sanksi buat pelanggar informasi rahasia, tapi hukumannya tak sampai lima tahun. Kalau lima tahun, orang diangkut dulu baru diperiksa. Kalau kami, periksa dulu baru ditahan.

Siapa yang bisa menentukan ini informasi rahasia atau bukan?

Hakim. Polisi, intelijen, bisa mengklaim itu informasi rahasia, tapi kita uji di pengadilan. Memang, kita sekarang punya persoalan, yaitu kurang percaya kepada hakim. Apalagi dengan masalah rahasia negara dan sebagainya.

Pers selama ini membuka informasi rahasia untuk kepentingan publik, tapi sekarang terancam....

Dari dulu saya sudah mengajak Dewan Pers bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Kalau ada wartawan yang mendengar informasi rahasia dan ada kepentingan publik yang dibela, dia harus dikategorikan sebagai whistle blower dan dilindungi. Apalagi kalau bisa membuka kepentingan lebih besar.

Mungkinkah informasi publik disalahgunakan?

Kita dalam transisi, akan bisa seperti itu. Di negara demokratis mana pun, aturannya terbuka. Tapi, di negara yang lebih dewasa, orang lebih berhati-hati. Itu saja bedanya. Tapi, siapa bisa menjamin tak ada penyalahgunaan di sisi lembaga publik? Tingkat keterbukaan kepada publik paling rendah sekarang ini justru lembaga negara. Di atasnya LSM, di atasnya lagi lembaga bisnis, paling atas justru media. Itu tak bisa kita hindari karena kondisi negara kita seperti ini.

Bagaimana bila undang-undangnya tak mendukung pembukaan informasi untuk kepentingan publik?

Ada mekanisme judicial review. Tapi mesti matang betul penggodokannya. Bisa dikategorikan mengancam konstitusi, karena pertama mengancam kebebasan berpendapat, kedua mengancam akses kebebasan informasi.

Kita beralih ke kasus rekening gendut polisi. Kelihatannya kasus ini menggantung?

Ya, katanya banding, tapi juga tak melakukan banding. Sebab, skema proses peradilan kita juga tak jelas. Kalau untuk KIP, bandingnya ke mana? Ini juga kelemahan Undang-Undang KIP. Sebentar lagi akan keluar Peraturan Mahkamah Agung untuk skema banding ini. Tapi, karena kepolisian mencabut gugatan banding di PTUN, Maret atau April lalu, semestinya putusan sudah inkracht.

Kalau sudah inkracht, siapa yang mengeksekusi?

Ada opsi, kalau pengadilan yang memutuskan, silakan pengadilan yang mengeksekusi. Tapi memang lucu di negara ini, putusan administrasi susah dieksekusi, seperti kasus pengadilan yang tak bisa mengeksekusi putusan membuka hasil pemeriksaan susu berbakteri. Berbeda dengan di luar negeri, pejabat publik akan terkena sanksi sosial-politik, dan jabatannya dicopot. Kita belum punya budaya seperti itu. Malah pejabat lain bisa ikut tak melaksanakan putusan. Kalau perdata seperti sita rumah, lebih gampang, karena ada fisiknya. Tapi perdata yang berkaitan dengan dokumen tetap susah eksekusinya.

Apakah tidak ada solusi?

Ada, dong. Semua badan publik berada di bawah presiden. Seharusnya presiden yang menginstruksikan harus patuh pada hukum. Orang bilang, masak apa-apa ke presiden, sih? Lha, memang begitu kok kondisinya. Struktur negara dan hukum kita seperti itu. Mau enggak mau perintah presiden akan memaksa menteri dan para pembantunya mengikuti. Presiden kan yang menandatangani undang-undang itu? Sama dengan kasus GKI Yasmin.

Bagaimana kalau presiden tak mau memberi instruksi?

Presiden mesti tegas, karena dia yang mengesahkan aturan hukumnya. Ini adalah trouble shooting yang mesti dilakukan. Bila tak dilakukan dan menumpuk, lama-lama presiden akan dianggap membiarkan pelanggaran undang-undang. Akibatnya, bisa dianggap membiarkan pelanggaran hak-hak konstitusi. Dan presiden bisa dianggap melanggar konstitusi.

Apa perkembangan kasus Blok Cepu?

Nah, ini unik. Mestinya LSM-nya bisa mengadu ke kepolisian daerah saja. Karena berbeda dengan kasus rekening gendut, kan bukan polisi yang terkena? Tapi, akibat konflik di level daerah, ada ketakutan karena pejabat daerahnya, misalnya sekretaris daerah, masih ada hubungan dengan pemilik modal. Mereka tak ingin berkonflik. Maka mereka meminta Komisi ikut menyelesaikan. Seperti kasus dana Bantuan Operasional Sekolah yang diadukan Indonesia Corruption Watch. Mereka melapor ke kepolisian daerah dan Ombudsman. Ombudsman proaktif duluan, memediasi kepala sekolah dan kepala dinasnya. Putusannya sudah inkracht. Tapi tiba-tiba kepala sekolahnya ngeyel tidak mau kasih data, cuma ringkasan. Sekarang Ombudsman menaikkan statusnya menjadi investigasi, dan ada rekomendasi yang bisa sampai ke pemecatan dan mutasi orang.

Ahmad Alamsyah Saragih
Tempat dan tanggal lahir: Pekanbaru, 27 September 1966 Pendidikan: Sarjana Ekonomi, Fakultas Ekonomi-Universitas Padjadjaran. Bandung Pekerjaan: l Komisioner Komisi Informasi Pusat: (2009- sekarang) l Ketua Bidang Ajudikasi Komisi Informasi Pusat (2011-sekarang) l Komisi Informasi Pusat (periode 2009-2011): a. Ketua Majelis Komisioner Kasus Rekening Gendut (ICW vs Mabes Polri) b. Ketua Majelis Komisioner Kasus SPJ Dana BOS (ICW vs Dinas Pendidikan DKI) c. Ketua Majelis Komisioner Kasus Penerimaan CPNS (LBH vs Pemkot Medan) d. Ketua Majelis Komisioner Kasus Munir (KASUM vs BIN) l Local Governance Specialist, pada Initiative for Local Governance Reform (ILGR), Bank Dunia (2002-2009)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus