Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MESTAKUNG
Sutradara: John De Rantau
Skenario: John De Rantau, Hendrawan Wahyudianto
Pemain: Sayev Muhammad Billah, Lukman Sardi, Revalina S. Temat, Indro Warkop, Ferry Salim
Produksi: Mizan Production dan Falcon Picture
Baling-baling di ladang garam itu adalah petunjuk. Di Madura, angin kini bergerak lamban, baling-baling bergerak perlahan. Ini tanda paceklik melilit. Madura harus beralih pada sumber ekonomi lain. Seperti juga Muslat (Lukman Sardi), yang seumur hidupnya mencari nafkah sebagai petani ladang garam itu, akhirnya beralih menjadi sopir truk serabutan nun di sebuah desa di Sumenep. Istrinya menyeberang ke Singapura, sebagai tenaga kerja wanita dan tak pernah terdengar beritanya.
Maka kita menemui Arif, anak lelaki pasangan ini yang baru berusia 14 tahun, yang senantiasa merindukan sang ibu. Seorang anak lelaki yang bisa mengatasi soal kecepatan cambuk karapan sapi dengan rumus fisika; atau menyelesaikan persoalan keseharian di lapangan bola dengan logika. Pendeknya, hubungan Arif dengan ilmu fisika praktis seperti hubungan tubuh kita dengan oksigen.
Sang guru, Ibu Tari Hayat (Revalina S. Temat), mendorongnya ikut tes masuk ke kelompok Fisika yang dipimpin Pak Tio Yohanes (Ferry Salim). Berbeda dengan anak-anak cerdas di Jakarta yang penuh ambisi, Arif sama sekali tak tertarik menampilkan kemampuannya di atas panggung dunia. Bolak-balik dia dibujuk Pak Tio dan Ibu Tari, akhirnya Arif tertarik hanya karena satu hal: Olimpiade Fisika akan diselenggarakan di Singapura, tempat ibunya bekerja dan menghilang.
Tema tentang anak daerah yang menginspirasi dan akhirnya berhasil di panggung nasional (atau internasional); atau anak daerah yang berhasil mengatasi rintangan apa pun dalam dunia pendidikan yang menjadi tren sebetulnya sudah dimulai oleh John De Rantau dalam Denias, Senandung di Atas Awan (2006), yang kemudian disusul oleh Laskar Pelangi (Riri Riza, 2008), yang meledak di bioskop seluruh Indonesia. Entah tema ini yang magnetis entah karena sukses komersial film (dan novel) Laskar Pelangi, cerita keluarga ini pun menjadi satu pilihan populer para produser dalam lima tahun terakhir, contohnya King (Ari Sihasale), Sang Pemimpi (Riri Riza, 2010), Serdadu Kumbang (Ari Sihasale, 2011), dan Tendangan dari Langit (Hanung Bramantyo, 2011). Masih terdengar beberapa produksi film yang juga berbau inspirasi, seperti Negeri 5 Menara, yang diangkat dari novel Ahmad Fuadi.
Premisnya selalu sama: seorang anak daerah yang tertindas oleh struktur yang pada akhir film akan tampil sebagai pemenang atau pahlawan yang mengatasi segala gerunjal hidupnya. Di antara perjuangan hidupnya itu, akan ada subplot pencarian ayah atau ibu atau kakak atau siapa pun anggota keluarga yang disayanginya.
Dalam film Mestakung, premisnya juga sama. Arif seorang jenius fisika itu tentu saja harus melalui ujian berat ketika bergabung dengan kelompok fisikawan muda asuhan Pak Tio Yohanes (yang merupakan penjelmaan Yohanes Surya, tokoh Olimpiade Fisika dan Matematika). Anggota lain adalah anak-anak SMA yang jagoan, yang tidur dan bernapas dengan fisika. Arif sengaja dibuat sebagai kontras. Anak SMP dari Madura yang tiba-tiba menemukan "rumah" saat bertemu dengan Cak Kumis, penjual ketoprak asal Madura.
Sayang, penggambaran fisika sebagai bagian dari hidup masih kurang menarik kecuali saat terakhir ketika Arif kemudian mendapat ide dari cambuk karapan sapi. Mengapa soal cambuk karapan sapi ini tidak dijelajahi lebih dalam dan lebih kental? Bukankah bagian-bagian klise soal ibu asrama itu bisa dibuang saja?
Di luar faktor-faktor yang sudah mudah ditebak tadi, sebetulnya masih ada beberapa hal yang menarik dari karya terbaru John De Rantau ini. Pertama, prinsip Mestakung temuan ilmuwan Yohanes Surya—singkatan Semesta Mendukung—yang berarti segalanya bisa terjadi dengan upaya keras, karena semesta akan mendukung, adalah satu hal yang memang menjadi pendorong bagi generasi muda pascareformasi yang sudah harus meninggalkan tradisi "serba fasilitas dan serba koneksi" warisan generasi Orde Baru. Ini seharusnya filsafat yang lebih diurai dan dijelajahi dalam konteks sosial dan politik.
Kedua, sosok Arif yang diperankan oleh Sayev Muhammad Billah, cucu penyair Zawawi Imron (yang juga tampil sekelebat sebagai kepala sekolah) adalah generasi baru Madura yang menampilkan seni peran yang jujur dan bersahaja. Semoga saja bakat Sayev tak berhenti pada film ini belaka seperti yang terjadi pada para pemain lain yang berasal dari luar Jakarta.
Tak ada yang salah dengan pilihan tema yang sedang menjadi tren ini. Tapi, wahai produser film, tak ada salahnya mencari alternatif cerita yang lain: cerita anak-anak yang penuh petualangan, kenakalan, sedikit nyeleneh tapi tetap lucu dan asyik.
Percayalah, penonton membutuhkan variasi.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo