BEBERAPA hari di minggu pertama tahun baru, ada sebuah iklan
tentang seorang dokter ahli penyakit syaraf dan jiwa -- yang
"tutup praktek mulai 1 Januari 1979 dan seterusnya." Di tembok
rumahnya sendiri pun kini tinggal tersisa namanya saja: Dokter
R. Slamet Iman Santoso. Keterangan tentang jam praktek dan
sebagainya, dihapus.
"Saya sudah tua dan capek," ujar Prof. Slamet. Umurnya kini 72
tahun. Anak pertama mantri polisi di Kabupaten Wonosobo ini,
sebetulnya diinginkan ayahnya untuk dikirim ke Negeri Belanda
seperti kebanyakan anak priyayi Jawa waktu itu. Tapi sang ayah
tidak punya uang -- walhasil Slamet cuma bisa lulus sebagai
"dokter Jawa", 1936. Dua tahun kemudian diangkat jadi tenaga
psikiater untuk keperluan pengadilan -- yang tetap
dilanjutkannya ketika Jepang berkuasa.
Prof. Slamet kemudian tcrkenal sehagai guru besar di UI. Bahkan
hampir seluruh waktunya dihabiskannya untuk mengajar -- bahkan
setelah pensiun. Uang pensiun itu Rp 60.000. "Cukup untuk hidup,
tapi tak cukup untuk beli buku," komentarnya. Dari empat
fakultas yang diajarnya, Prof. Slamet hanya menerima honor Rp
6.000 sebulan untuk tiap mata pelajaran yang diberikannya
seminggu sekali.
"Saya tidak bisa cari kelebihan untuk menjadi kaya," katanya
lagi. Selama buka praktek pun pasiennya tidak banyak. Rata-rata
hanya 10 orang dalam sebulan. "Kalau nanti masih ada pasien yang
datang, saya pilihkan dokter lain. Betul, saya sudah capek."
Lalu apa kesibukannya setelah berhenti praktek? "Pergi ke kantor
- atau rapat," katanya. "Dan saya sudah terbebas dari tanggungan
anak" -- yang 7 orang itu.
September tahun lalu Menteri P & K Dr. Daoed Joesoef mengangkat
Prof. Slamet sebagai Ketua KDmisi Pembaharuan Sistim Pendidikan.
Dan memang. walaupun usianya sudah lnjut, gerak-geriknya masih
sigap. Tubuhnya tidak banyak berobah, juga tidak menjadi gemuk.
Hobi tertentu tidak dimilikinya, selain baca buku dan menulis.
Sesckali berlibur ke Puncak bersama anak dan cucu. Atau ke
Ancol. "Waktu kecil dulu saya senang main ketapel," katanya,
"pernah juga saya gemar berburu bajing atau burung."
Profesor Slamet terkenal sebagai orang yang terus terang dalam
bicara. "Sehingga banyak yang menyangka saya ini susah diajak
ngomong. Padahal," katanya, 'dimensinya yang lain." Dia, juga
tidak punya sekretaris atau asisten. "Susah bekerja dengan
saya, karena tak tahu kemauan saja. Rumahnya di bilangan Menteng
terhitung sederhana. Dalam garasi hanya ada sebuah mobil VW
putih keluaran 1970. Berapa honornya sebagai Ketua Komisi
Pembaharuan Sistim Pendidikan? Jawabnya dengan ketus "Untuk apa
tanya-tanya penghasilan orang?".
Bagi para mahasiswanya bukan hal aneh kalau Prof. Slamet
tiba-tiba meledak amarahnya lalu membanting pintu -- tapi segera
adem kalau ketua kelas atau salah seorang anggota senat
menghampirinya untuk memintanya mengajar lagi. Ketika TEMPO akan
melanjutkan pertanyaan, profesor yang jujur ini memotong: "Ah,
tulis saja, saya ini orang aneh!"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini