Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Bertahan dari Penjara ke Penjara

Amrus mengisahkan kembali kehidupan di penjara sebagai tahanan politik. "Kepala saya sering pusing sesudah dipukul berkali-kali di bagian kepala. Petugas lain menendang dan memukul saya dengan rotan," ujarnya. Ia dipaksa mendengar dan melihat tahanan lain berteriak karena disiksa.

21 September 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MALAM itu, tahun 1968, saya masih ingat cuaca cukup dingin. Saya tidur pulas selepas melukis dan mencuci film dari kamera potret keliling. Rumah saya persis di belakang Universitas Trisakti, Jakarta, berdinding bambu dan berlantai tanah. Jadi, kalau terang bulan, cahaya masuk menembus dinding.

Entah pukul berapa, tiba-tiba ada orang mengetuk pintu rumah. Tok-tok-tok...! Ternyata Pak RT. Ia diapit beberapa orang berbadan tegap, saya duga tentara berpakaian sipil. Pak RT bilang, "Anda mau dimintai keterangan oleh pihak berwajib."

Saya hanya bisa menurut. Saya sudah menduga ini akan terjadi. Mereka dari tim Operasi Kalong. Tugasnya menangkapi orang yang dianggap mendukung PKI. Saya masuk daftar orang yang dicari karena saya mendirikan Sanggar Bumi Tarung, yang bernaung di bawah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) di Yogyakarta.

Isi rumah langsung digeledah. Semua surat dan barang pribadi, termasuk kamera saya untuk mencari nafkah selama tiga tahun di masa persembunyian, disita. Sejak peristiwa 1965, saya bersembunyi di daerah Senen dan Tanjung Priok, yang banyak terdapat pelacuran dan acara tari lenong. Di tempat keramaian seperti itu saya tidak dikenali sehingga berkali-kali lolos dari pengejaran.

Malam itu kebetulan lima anak saya ada di rumah dan mereka ikut terbangun. Anak saya yang ketiga dan masih kecil berteriak ingin ikut ketika saya dibawa petugas. Itu memori lama yang tidak ingin saya ingat-ingat.

Saya langsung dibawa ke satu rumah di Jalan Gunung Sahari, Jakarta. Itulah markas tim Operasi Kalong. Ketika saya tiba, sudah banyak tahanan politik di sana. Mereka menyebut rumah itu Markas Kalong. Dulu itu adalah kantor Persatuan Pengayuh Becak orang Tionghoa. Tapi, sejak 1965, rumah itu dikuasai tentara dan dijadikan tempat interogasi sekaligus penyiksaan.

"Kamu anggota Lekra!" bentak tentara yang menginterogasi saya. Saya hanya bisa diam. Saya pikir, mengaku disiksa, tidak mengaku juga sama saja. Tapi, ketimbang kepala dihajar rotan lagi, langsung saja saya mengaku. "Iya, saya orang Lekra," kata saya dalam posisi duduk.

Sejak itulah saya menjalani masa interogasi yang berujung pada penyiksaan. Tendangan, pukulan, dan cambukan saya rasakan setiap kali diinterogasi. Setiap malam saya mendengar suara orang menjerit kesakitan. Setiap hari ada saja kabar tahanan yang mati. Saya sudah pasrah jika nyawa ini harus ikut melayang.

Tak jarang saya melihat orang yang menerima siksaan justru yang tak ada kaitannya dengan PKI atau organisasi kemasyarakatannya. Kebodohan itu seperti itu menjadi bahan tertawaan kami para tapol—tentunya belakangan ini—dan menjadi kenangan "lucu" bagi kami.

Pernah suatu hari terjadi tanya-jawab antara petugas dan seorang tahanan. "Apa ormas Bapak di kampung?" Si pesakitan itu menjawab, "Ya, Pak, ia masih di kampung. Si Ormas tetangga baik saya." Lantaran dianggap menghina dengan berpura-pura tidak tahu, orang itu dipukul berkali-kali. Padahal saya tahu benar orang itu tidak tahu bahwa ormas singkatan organisasi kemasyarakatan. Delapan bulan saya menjalani masa penahanan di Markas Kalong.

Kalau pada tahap pemeriksaan awal gagal, pada tahap berikutnya akan terjadi penyiksaan yang bervariasi. Dari tampar, tinju, injak, tendang, menggunakan ekor ikan pari, sengatan listrik, atau jempolnya diimpit kaki meja, lalu seorang tapol yang lain diperintahkan main enjot-enjotan. Atau disundut, bahkan disetrum kemaluannya, yang lelaki maupun perempuan. (buku Amrus Natalsya dan Bumi Tarung karya Misbach Tamrin, 2008)

Selanjutnya saya dipindahkan ke Rumah Tahanan Chusus di Salemba dan Tangerang. Ketika di Salemba, saya menghuni sebuah sel yang berisi lima orang. Soal makan, siapa pun yang mendapat antaran dari sanak famili, maka harus dibagi rata sesama tahanan.

Di sana banyak yang meninggal karena kelaparan dan terserang penyakit. Setiap hari kami diberi sayur bayam. Bayam kami tanam sendiri di sekitar penjara. Tanah di sana subur karena pupuknya memakai kotoran kami sendiri. Mau tidak mau kami harus menjaga tanaman bayam itu agar kami tidak kelaparan.

Yang menyedihkan, di awal masuk Salemba, kami dilarang ke luar kamar. Jika ingin buang air kecil atau besar, terpaksa hanya memakai ember. Itu semua di dalam sel. Saya dan teman sesama sel saling paham jika ada bau tidak enak. Baunya sangat tercium karena luas sel hanya 1,5 x 2 meter.

Di Salemba, saya juga diwajibkan mengaji. Kalau menolak bisa dimasukkan ke sel hukuman. Buat saya tidak jadi masalah karena saat kecil saya bersekolah di sekolah Muhammadiyah di Medan. Membaca Al-Quran lumayan lancar.

Sebelum bebas, saya sempat dipindahkan ke penjara di Tangerang. Di sana saya dipaksa bekerja di sawah, tentu di bawah pengawasan tentara. Saya juga diberdayakan untuk menyelesaikan beberapa proyek patung kayu (disebut Proyek Bina Karya). Istilahnya tenaga ahli yang dibayar murah. Tapi bisa dibilang proyek ini menyelamatkan saya dari pembuangan ke Pulau Buru yang sangat tandus itu.

Sebanyak 10 ribu orang menjadi tahanan politik, di antaranya tercatat tokoh seniman Lekra seperti Pramoedya Ananta Toer, Oey Hay Djoen, Hr. Bandaharo, Rivai Apin, S. Anantaguna, Basuki Effendi, Hersri, dan Amarzan Ismail Hamid. (buku Amrus Natalsya dan Bumi Tarung karya Misbach Tamrin, 2008).

Heru Triyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus