Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Metafor

21 September 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dodi Ambardi

Metafor atau perlambang rupanya juga mengalami musim; ada masa subur, ada masa paceklik. Setidaknya hal ini berlaku pada syair atau lirik lagu. Masa subur metafor tentang cinta dan kecantikan, misalnya, merentang dari zaman kemerdekaan sampai akhir 1980-an. Setelah itu, datanglah masa paceklik yang berlangsung sampai sekarang. Marilah kita simak beberapa lirik lagu yang digubah pada masa-masa awal itu:

Aryati dikau mawar asuhan rembulan
Aryati dikau gemilang seni pujaan (Ismail Marzuki, tanpa tahun)

Di wajahmu kulihat bulan
Menerangi hati gelap rawan (Mochtar Embut, 1960)

Ismail Marzuki menggunakan mawar untuk melukiskan sang pujaan yang berkembang dewasa bersama alam (asuhan rembulan) atau menggambarkan kecantikan yang alami; sementara Mochtar Embut memakai metafor rembulan untuk melukiskan kecantikan dan keanggunan. Raut pujaan dilukiskan bagai bulan yang cerah dengan pancaran yang mencerahkan. Tapi, aduh, sang pujaan begitu jauh. Ungkapan cinta itu pun berubah menjadi ratapan karena untuk meraih sang pujaan bak menggapai awan yang tinggi tempat bersembunyi sang bulan.

Rujukan alam sebagai perlambang ini menerbitkan keanggunan yang disukai semua kelompok usia. Karena itu, tua dan muda melantunkan lagu-lagu ini dengan nyaman tanpa perlu merasa jengah bahwa perlambang tersebut mengasosiasikan sang pelantun pada kebengalan.

Karena metafor selalu bermain dengan asosiasi, sudah pasti ia bukan dimaksudkan sebagai representasi eksak dari sesuatu. Karena itu, metafor membuka ruang humor. Dan humor yang meledek metafor rembulan itu pun sempat beredar. Konon, menurut si empunya humor, metafor itu muncul sebelum manusia mampu menginjakkan kaki di bulan. Setelah diketahui bahwa topografi bulan ternyata berkawah-kawah dan banyak lipatan jurang, metafor wajah bagai rembulan menjadi sangat mengerikan.

Metafor rembulan yang muncul setelah kemerdekaan itu kemudian menua. Generasi muda 1970-an dan 1980-an menggantinya dengan metafor-metafor baru yang justru diambil dari khazanah lama. Guruh, Eros, Keenan, dan Chrisye banyak menggali metafor dari khazanah klasik Jawa-Hindu untuk melukiskan kekasih dan perasaan cinta. Ini salah satu hasil galian generasi mereka:

Ratih dewi citra khayalku prana ...
Andika dewa, sirna duli sang 'smara (Guruh Sukarno Putra, 1976)

Kita masih menemukan keanggunan dalam metafor mereka. Kekasih tambatan hati dilambangkan dalam persona Dewi Ratih yang dalam mitologi Jawa mewakili kesempurnaan kecantikan dan cinta dari perempuan. Dan cinta adalah perasaan menggelegak tak terlawan sehingga ia berstatus mirip raja yang titahnya mesti diikuti. Gelegak hati ini dilukiskan Keenan pada masa itu dalam lirik Angin Malam (1977): "Hatiku rawan menanti kehadiran/ Dewi malam pancaran bahagia." Ungkapan hati yang rawan itu rupanya bertahan dari masa Mochtar Embut sampai 1970-an.

Generasi 1980-an meramaikan lirik lagu dengan metafor-metafor baru dengan cara main-main tapi segar—yang tampaknya digemari kaum muda saat itu. Salah satu yang produktif adalah Iwan Fals, yang sempat menjadi icon kaum muda pada masanya. Ia menggunakan metafor Mata Indah Bola Pingpong (1987) untuk menyatakan kekagumannya kepada kecantikan seorang gadis. Yang dimaksudkan Iwan tentu keindahan mata lebar yang bercahaya, bukan mata putih orang pingsan. Metafor bola untuk melukiskan keindahan mata sesungguhnya sudah digunakan Ismail Marzuki pada Sepasang Mata Bola di masa perang; tapi bahwa bolanya bola pingpong, baru Iwan yang menggunakannya. Saat lain, Iwan memakai metafor serampangan—tapi orisinal dan mengejutkan—ketika mengeluhkan gadis pujaannya yang "pergi begitu saja bagai pesawat tempur" (1988).

Kemudian, sampai ke generasi 2000-an, syair lagu tampaknya mengalami perubahan radikal. Sejumlah metafor masih ditemukan, tapi penggunaannya tidak seintens generasi-generasi sebelumnya. Lirik grup Rumor (2012), misalnya, menggunakan metafor lama yang melukiskan ketidakberdayaan seseorang yang ditinggal cinta—terombang-ambing bagai butiran debu. Juga lirik Vidi Aldiano (2013), yang memanfaatkan metafor kodian dengan meminta kekasihnya menjadi bintang yang akan menyinarinya secara abadi. Agaknya kita makin susah menemukan metafor segar di lirik-lirik lagu mutakhir; dan mungkin sekarang gaya metafor sudah memasuki masa pensiun dan diemohi para seniman muda musik pop. Yang gampang kita temukan sekarang adalah kelugasan kering semacam ini:

Mengapa hingga saat ini
Jantungku berdebar dag dig dug serr
Oh my God dirimu hot banget
Kaubuat diriku selalu jatuh cinta
Padamu woo woo (Ada Band, 2013)

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus