Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Tragedi Pendakian Everest

Sebuah film yang dibuat berdasarkan kisah nyata sekelompok pendaki Everest pada 1996. Kengerian dan keindahan dalam satu bingkai.

21 September 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Everest
Sutradara: Baltasar Kormàkur
Penulis naskah: Simon Beaufoy, Lem Dobbs
Pemain: Jason Clarke, John Hawkes, Robin Wright, Jake Gyllenhaal, Vanessa Kirby, Tom Goodman-Hill, Keira Knightley, Josh Brolin, Sam Worthington, Clive Standen
Studio: Cross Creek Pictures, Universal Pictures

Tubuh manusia tidak dirancang untuk berfungsi pada ketinggian jelajah melebihi pesawat Boeing 747. Everest adalah tempat paling berbahaya di dunia." Di depan regu pendaki yang dipandunya, Rob Hall (Jason Clarke) mengingatkan. Sebagai pemimpin, pendaki profesional asal Selandia Baru itu harus memastikan keamanan timnya. Ya, Everest yang menjulang 8.848 meter di atas permukaan laut itu adalah magnet. Sejak keberhasilan pendaki asal Selandia Baru Edmund P. Hillary dan Tenzing Norgy, pemandu Sherpa Nepal, pada 29 Mei 1953, banyak pendaki yang bermimpi menaklukkan puncak gunung yang memagari Tibet dan Nepal itu.

Dengan motivasi berbeda, impian itu pula yang mengendap di benak Beck Weathers (Josh Brolin), Doug Hansen (John Hawkes), jurnalis majalah Outside Jon Krakauer (Michael Kelly), dan Yasuko Namba (Naoko Mori). Doug Hansen, tukang pos yang berangkat dari duit saweran anak-anak sekolah dasar di sebelah rumahnya itu, misalnya, ingin mencapai puncak Everest agar menjadi inspirasi bagi anak-anak.

Film ini adalah kisah nyata berdasarkan buku Into Thin Air: A Personal Account of the Mt Everest Disaster, yang ditulis Jon Krakauer tentang pendakiannya pada 1996. Ketika itu, akibat angin kencang dan salju longsor, dua belas pendaki tewas, termasuk Rob Hall, Scott Fischer, Doug Hansen, dan Yasuko Namba. Krakauer selamat. "Pendakian Everest adalah kesalahan terbesar yang pernah terjadi dalam hidup saya," kata Jon Krakauer, seperti dikutip Huffington Post.

Pengalaman Krakauer dalam buku itu pernah dibuat dalam bentuk film dokumenter. Kini kisah itu kembali disuguhkan di layar lebar oleh sutradara asal Islandia, Baltasar Kormàkur. Berjudul Everest, film berdurasi 121 menit ini tak hanya dibuat berdasarkan buku Krakauer, tapi juga buku Left for Dead karya Beck Weathers, ditambah kesaksian orang-orang yang mengetahui peristiwa itu.

Kormàkur tampaknya lebih menjadikan Everest sebagai bentuk penghormatan kepada para korban. Memilih Rob Hall sebagai karakter sentral, Kormàkur mencoba menjabarkan peristiwa yang memiliki banyak versi ini tanpa menghakimi siapa yang salah. Tapi dia sedikit menyentil bagaimana kompetisi perusahaan-perusahaan pendakian komersial dan jumlah pendaki Everest yang terlalu banyak, dan ada yang tak segan membuang sampah sembarangan, sebagai salah satu sumber masalah.

Keputusan untuk bersikap netral itu tapi membuat film yang digadang-gadang sebagai drama thriller ini tak terlalu banyak mengaduk-aduk emosi lewat adegan aksi menegangkan ala film Cliffhanger, misalnya. Kormàkur lebih memilih menggali sisi drama dan pendalaman karakter, seperti pergulatan jiwa para pendaki. Buat para penikmat film thriller yang terbiasa dengan adegan aksi menegangkan, mungkin film ini kurang memuaskan.

Kormàkur, yang sebelumnya menyutradarai film Contraband dan 2 Guns, lebih memilih menciptakan keintiman antarkarakter daripada gesekan antara karakter antagonis dan protanis. Misalnya hubungan Rob Hall dan Scott Fischer yang sesungguhnya bersaing satu sama lain. Juga pergulatan batin Rob Hall tatkala menghadapi Doug Hansen yang ngotot naik ke puncak Everest meskipun melanggar waktu yang sudah disepakati. Tak ketinggalan, tentu momen-momen romantis mengharu biru seperti percakapan lewat telepon satelit antara Rob Hall yang sekarat berselimut salju tebal dengan sang istri yang sedang hamil tua.

Sebagai sebuah film yang berusaha mereka ulang kejadian nyata, Everest yang sebagian pengambilan gambarnya dilakukan di lokasi aslinya ini toh berhasil membawa penonton seolah-olah ikut merasakan perjalanan penuh penderitaan Rob Hall dan kawan-kawan.

Nunuy Nurhayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus