Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum pelaksanaan proyek patung kaligrafi itu, saya berpikir keras apa jenis kayu yang tahan cuaca karena patung itu akan terpajang di luar ruangan. Ketika itu saya langsung menjatuhkan pilihan kepada kayu ulin (kayu besi) yang terdapat di Kalimantan Selatan.
Waktu itu saya hitung-hitung harga patung yang akan dibuat 80 ribu dolar Amerika. Harga itu sudah saya bicarakan dengan istri (Sulastri, istri kedua; setelah istri pertama, Prayati, meninggal) dan dia setuju. Ketika tiba hari kesepakatan dengan Farsi, saya ajukan lima gambar sketsa patung kaligrafi ke dia, dan dia menyukai semuanya.
Mohammed Said Farsi adalah kolektor seni ternama yang membuat Jeddah sebagai kota galeri seni dunia.
Saking senang sekaligus grogi, saya justru lupa hitung-hitungan harga 80 ribu dolar Amerika yang sudah saya bicarakan dengan istri itu. Ketika menuju kesepakatan final yang bertempat di rumah Gubernur (DKI Jakarta) Tjokropranolo, malah saya kebingungan sendiri dan asal menyebut saja harga semua patung saya itu. "Bagaimana dengan 20 ribu dolar Amerika?" kata saya, Farsi menjawab," Deal". Dan akhirnya sepakat dengan harga itu. Sampai di rumah, saya ditempeleng Sulastri.
Namun dengan harga itu pun saya bisa membelikan istri dan anak televisi bagus dan kamera. Sebagian duit lain saya pakai ke hutan di Kintap, Pelaihari, sekira 300 kilometer dari Banjarmasin, untuk mencari kayu ulin. Proyek ini saya anggap besar, tapi saya sudah punya pengalaman dengan proyek sejenis. Saya pernah mendapat order membuat patung kayu dari Hotel Duta di Jakarta pada 1963, yang langsung dikerjakan sambil bermukim di lokasi pengambilan kayu di hutan Lampung.
Ke Kalimantan dari Jakarta, saya tidak membawa peralatan dan satu tenaga kerja pun. Dalam pikiran saya, nanti bisa merekrut tenaga kerja kasar di sekitar lokasi. Sebenarnya saya ingin dibantu oleh Misbach Tamrin, tapi dia baru saja menikah, jadi susah diminta bantuan, dan waktunya juga terbatas.
Di hutan, saya bermukim seadanya dengan membangun bedeng. Saya menghimpun lima tenaga kerja untuk mendapatkan lima-tujuh batang kayu ulin berdiameter satu meter menggunakan chainsaw (gergaji mesin). Setelah enam bulan di hutan, dan membuat ukiran kasar di lima pohon itu, yang menjadi tantangan saya selanjutnya adalah bagaimana mengangkut lima patung kaligrafi yang tingginya mencapai 8 meter tersebut.
Dengan peralatan serba manual, semua patung itu terangkat ke atas truk, dan diangkut menuju pelabuhan Banjarmasin sejauh 300 kilometer. Dalam perjalanan, saya menghadapi burung-burung putih alias polisi lalu lintas yang mendeteksi bahwa angkutan saya melebihi berat maksimum. Walhasil, saya harus menyiapkan salam tempel, pelumas, uang kopi, uang rokok berkali-kali sebelum sampai pelabuhan.
Dari pelabuhan Banjarmasin, patung itu harus melalui pelabuhan Surabaya sebelum dikirim dengan kontainer ke pelabuhan Jeddah. Maka saya harus menyediakan lagi biaya transportasi dan biaya pelicin agar perjalanan lancar. Bersama lima pekerja, saya berangkat dengan pesawat terbang tiba lebih dulu di Jeddah. Saya merasa cukup beruntung pergi ke Jeddah tanpa diungkit status tahanan politik saya, juga ketika mengurus paspor.
Enam bulan lamanya di Jeddah, saya dan pekerja lain mengerjakan penyelesaian akhir lima patung kaligrafi itu. Ketika selesai, saya amat bangga melihat patung kaligrafi itu berdiri di tempat-tempat strategis di Jeddah. Saya satu-satunya seniman patung asal Indonesia yang karyanya bersanding dengan seniman dunia di Jeddah, seperti Joan Miró, Henry Moore, Hans Arp, dan Alexander Calder.
Di sela membuat patung, saya juga ikut umrah dengan pekerja lain di Tanah Suci. Ketika itu rute umrah di sana masih gundul, tidak rimbun seperti sekarang.
Diistilahkan Misbach Tamrin, Amrus adalah seorang Tapol Naik Haji. Meski agak keberatan dengan label itu, setelah umrah, Amrus memang lebih rajin melakukan salat dan berpuasa, baik wajib maupun sunah.
Masa-masa sekembali Amrus dari Tanah Arab ke Pasar Seni Ancol cukup menyibukkan. Di samping sebagai senirupawan, ia juga ditugasi untuk mengkoordinasi seniman taman hiburan yang secara periodik bertemu. Pada 1985 banyak penyewa kios di PSA menunggak pembayaran, dan Amrus meminta manajemen mempertimbangkan kesulitan para seniman. Ternyata manajemen PSA menolak keras, bahkan memecat Amrus dari warga PSA. (buku Amrus Natalsya dan Bumi Tarung karya Misbach Tamrin, 2008)
Setelah keluar dari Pasar Seni Ancol, saya kembali ke rumah Grogol, rumah yang dibangun dari proyek patung kaligrafi Allahu Akbar. Di rumah itu saya mendirikan bengkel kerja. Saya kemudian berhubungan lagi dengan Gumilang (pengusaha minyak). Sebelum 1965, Gumilang adalah kolektor karya saya. Ia berani memajang karya lama yang berjudul Peristiwa Djengkol dan Melepas Dahaga Petani di Mata Air yang Bening meski tragedi kemanusiaan 1965 masih hangat.
Gumilang memiliki dua galeri di Kemang Utara, Jakarta, Galeri Oet dan Galeri Ikawati. Karya saya dan puluhan lukisan kayunya dipajang dalam ruangan khusus di Galeri Oet, di antaranya patung Bahtera Nabi Nuh. Hubungan kerja saya dengan Gumilang berlangsung mulai 1985 sampai 1995.
Meskipun telah meraih ketenaran, Amrus tetap tampil dengan cirinya—celana pendek selutut, topi pet, dan terkadang sandal karet bekas ban mobil—yang tetap dipertahankannya hingga kini.
Sejak debut pertama pameran tunggal patung-patung kayunya di lapangan terbuka di Jakarta pada 1957, Amrus telah menciptakan ratusan patung. Tubuh renta yang telah menggerogoti Amrus tak menghentikan tekadnya dalam berkarya. Ia masih melakukan aktivitas yang digemarinya sejak muda, yakni melukis, baik di kanvas maupun kayu, di ruang kerjanya. Ia juga baru saja meluncurkan kumpulan puisinya dalam buku. "Sulit untuk membayangkan bagaimana hidup tanpa berkarya," katanya.
Heru Triyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo