Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Bung Karno Mendorong Saya Mengoleksi Benda Seni

Andrzej Wawrzyniak bisa disebut diplomat Polandia paling nekat karena tetap berhubungan dengan Bung Karno setelah Peristiwa G-30-S pada 1965. Kedekatannya dengan Presiden RI pertama itu sudah seperti anggota keluarga. Bahkan hubungan dia dengan Bung Karno hingga menyentuh selera seni. Pensiun dari diplomat, Andrzej memilih menggeluti pernak-pernik benda pusaka dari Indonesia dan sejumlah negara kawasan Asia dan Pasifik. Rupa-rupa keris, parang, tombak, batik, lukisan, dan patung hasil buruannya selama hampir satu dasawarsa (1961-1971) di Indonesia dikumpulkan di The Asia and Pacific Museum, Warsawa. Koleksinya menjadi bagian paling utama dari museum. Pada umurnya yang lebih dari 80 tahun, kakek satu cucu ini kini dirawat intensif di rumah sakit di Warsawa karena diabetes. Dia dicegah oleh dokter agar tidak beranjak dari ranjang perawatan. Namun, ketika mendengar ada orang Indonesia hendak bertamu dan berkunjung ke museumnya, dia berontak kepada dokter minta izin menemui. Berikut ini penuturannya kepada wartawan Tempo Elik Susanto, yang mengunjunginya di Warsawa.

26 Agustus 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pria tua itu duduk menunggu di gazebo sudut taman kompleks Museum Asia dan Pasifik di Jalan Solec 24, Warsawa. Ketika Tempo mengucapkan selamat pagi, dijawabnya dengan spontan, "Selamat siang. Ini sudah siang." Andrzej Wawrzyniak, nama laki-laki itu, mengoreksi kesalahan pengucapan salam.

Saat itu, Selasa, 2 Juli, jarum jam menunjukkan pukul 11.30. Tempo bersama beberapa wartawan menemui Andrzej, yang duduk di kursi kayu panjang ruang gazebo berhiaskan lampion. Dia mencoba memandangi wajah tamunya satu per satu. Rupanya tidak ada satu pun yang dikenal. "Terima kasih mau datang ke sini," katanya sambil menyorongkan tangan kanannya untuk bersalaman.

Setelah basa-basi, Andrzej langsung mengajak ngobrol tentang museum yang sedang dibangun dan memperlihatkan koleksi keris yang ditaruh di atas meja. Setumpuk katalog dalam dua bahasa—Inggris dan Polandia—disiapkan.

Dia sangat hafal setiap bentuk keris yang tersusun rapi dalam kotak kayu dan berselimut kain beludru itu. "Keris koleksi saya yang paling tua dari zaman Majapahit. Itu pemberian Bung Karno dua minggu sebelum meninggal," tutur lelaki berewok yang seluruh rambutnya berikut kumis dan jenggot lebatnya sudah memutih itu.

Selain menjadi kurator, di museum ini dia dinobatkan sebagai direktur seumur hidup. Bahasa Indonesia Andrzej cukup fasih walau terkadang ia lupa menyebutkan satu-dua kata karena lama tidak diucapkan. "Sudah 40 tahun tidak praktek bahasa Indonesia. Di sini tidak ada lawan yang bisa saya ajak bicara (berbahasa Indonesia)," ujar Andrzej, yang kerut mukanya menampakkan uzur.

Berikut ini cerita Andrzej saat ditemui pada awal Juli lalu. Wawancara dengan Tempo dilanjutkan melalui surat elektronik.

1 1 1

Sudah tiga bulan saya tergeletak di rumah sakit. Sebenarnya dokter melarang saya pergi. Hari ini (Selasa, 2 Juli) saya minta izin keluar dari ruang perawatan karena ada orang Indonesia datang ingin bertemu. Setelah ini saya harus kembali ke rumah sakit. Insya Allah, kalau penyakit gula (diabetes) sembuh, saya akan ke Indonesia lagi.

Sewaktu di Jakarta, rumah saya dekat dengan tempat tinggal Menteri Pringgodigdo (Abdoel Gaffar Pringgodigdo, Menteri Kehakiman yang menjabat pada 21 Januari-6 September 1950) di Jalan Teluk Betung, Menteng. Ibu Pringgodigdo (Nawang Hindrati) ahli dalam urusan benda seni, terutama keris. Koleksi pusakanya banyak.

Hampir tiap bulan saya bertemu untuk berdiskusi dengan Ibu Pringgodigdo. Dia selalu menunjukkan keris-keris barunya kepada saya. Di sini saya belajar tentang kebudayaan Indonesia. Mengenali benda budaya yang antik dan unik merupakan kegemaran saya. Pengalaman bertemu dengan Ibu Pringgodigdo sangat membantu saya menambah wawasan terhadap benda seni Indonesia yang ragamnya luar biasa banyak.

Tidak semua keris koleksi saya merupakan peninggalan kerajaan di Nusantara. Ada keris yang dibuat setelah Indonesia merdeka. Keris kuno dan keris baru mempunyai ciri khas masing-masing. Keris modern berjulukan Balebang luk 7 (lekukan tujuh) buatan Surakarta, contohnya. Jenis keris ini karakternya seperti air menggenang, tidak mengalir. Mitologinya, pemilik pusaka ini dipercayai rezekinya awet.

Koleksi keris saya sekitar 500 buah, terbuat dari macam-macam bahan baku. Pembuatannya dibutuhkan keahlian. Ada kalanya proses pembuatannya dengan didahului prosesi bertapa (berdoa). Seniman pembuat keris biasa disebut empu. Dia menguasai seni tempa, seni ukir, dan perlambang.

Selain dipengaruhi zaman pembuatannya, kehebatan seni keris terbaca dari bahan bakunya. Ada keris dengan unsur logam baja, besi, nikel, emas, karbon, hingga meteorit. Dari bahan yang terkandung, ada keris dipercayai memiliki pengaruh rasa berani bagi seseorang yang memegangnya. Mereka merasa tambah perkasa dan memiliki keyakinan diri.

Koleksi keris saya yang paling tua peninggalan Kerajaan Majapahit, pemberian Bung Karno dua minggu sebelum beliau meninggal. Ukurannya kecil, sekitar 20 sentimeter. Dulu, ke mana-mana saya bawa. Ini jimat saya. Potongannya kecil, bahan dari besi sehingga terkesan berat. Warnanya hitam kebiru-biruan. Pegangannya (warangka) lepas.

Ada pula keris dari Bali, yang ukurannya lebih panjang dibanding keris khas Jawa. Lekukan keris selalu ganjil, tidak pernah genap. Paling sedikit 3 kelokan atau lekukan, dan paling banyak 13. Dianggap tidak lazim apabila ada keris memiliki kurang dari 3 atau lebih dari 13 luk.

Keris yang lain saya peroleh dari berbagai tempat selama saya tinggal di Indonesia (1961-1971). Kenapa saya senang mengoleksi keris? Karena saya mencintai Indonesia dan budayanya. Selama 10 tahun itu merupakan periode penting kehidupan saya. Punya banyak sahabat dari berbagai suku, agama, dan budaya. Saya begitu bersemangat mempelajari kebudayaan sebuah negeri bernama Indonesia.

Selain keris, ada banyak senjata tradisional yang juga menarik. Benda-benda ini terawat dan terdokumentasi. Itu saya dapatkan dari berbagai daerah, dari Sabang sampai Merauke. Ada badik dari Bugis, tombak dari Papua, dan masih banyak lagi. Semua ada di sini (Andrzej menunjukkan katalog tebal berisi gambar senjata tradisional lengkap dengan penjelasan asal-usulnya).

Dalam pencarian senjata tradisional, salah satunya saya sering ke Toraja, Sulawesi Selatan. Menempuh perjalanan darat berangkat dari Makassar. Pernah tiga jam naik mobil terjebak hujan lebat. Jalannya tidak baik ketika itu. Tapi saya senang. Toraja sangat bagus dan saya punya banyak teman di sana.

Saya juga pernah ke Belitung, tempat Bung Karno pernah diasingkan. Di Belitung pemandangan alamnya sangat indah. Saat ke Sumatera, saya juga suka ke Danau Toba dan jalan-jalan ke Bukittinggi. Saya pernah ke Aceh atau Serambi Mekah. Di sana ada banyak rencong. Saya juga ke Manado. Di sana wanitanya cantik-cantik.

1 1 1

Dilahirkan di Warsawa, 3 Desember 1931, Andrzej memilih menjadi pelaut ketika usianya baru belasan tahun. Dia mulai berkelana di dunia bahari semenjak bergabung dengan kapal dagang Dar Pomorza. Sedikitnya 12 kapal dagang pernah dia ikuti mengarungi samudra. Pindah dari satu kapal ke kapal lain membawa Andrzej menjelajah jauh. Pada usia 18 tahun, untuk pertama kali kakinya menjejak bumi Asia.

Pendidikan diplomatnya ditempuh di Sekolah Dinas Luar Negeri di Warsawa. Pada 1956, Andrzej menjadi pegawai Kementerian Luar Negeri Polandia dan kemudian kuliah untuk meraih gelar doktor pada ilmu sosial di Warsawa. Selama 30 tahun dia menjalankan tugas diplomatiknya ke sejumlah negara di Asia dan Timur Tengah, antara lain Laos, Nepal, Namibia, dan Afganistan. Andrzej rajin mengumpulkan berbagai benda etnografis dari negara-negara tersebut.

Andrzej juga pernah menjadi pengamat internasional pada Perserikatan Bangsa- Bangsa semasa pemilihan umum di Namibia pada 1989. Jabatan Kepala Kantor Lapangan Organisasi Keamanan dan Operasional Misi Eropa untuk Bosnia dan Herzegovina pernah dipegang pada 1996. Pernah pula Andrzej menjadi pengamat PBB untuk Timor Timur pada 1999 serta konsulat kehormatan untuk Sri Lanka di Polandia.

Jabatan pertama Andrzej bertugas di Jakarta adalah atase kebudayaan Polandia di Indonesia periode 1961-1965. Posisinya naik menjadi wakil duta besar dan kuasa usaha Polandia pada 1967-1971. Sebelum ke Indonesia, dia bertugas di kantor perwakilan Polandia dalam Komisi Pengawasan dan Pengendalian Internasional di Vietnam (1956-1960). Ini sekaligus penugasan pertama dia di luar negeri.

Total 30 tahun menjalani karier diplomat di berbagai negara Asia dan Pasifik, Andrzej menganggap Indonesialah negeri yang paling istimewa. Salah satu keistimewaannya, dia dekat dengan Presiden Sukarno dan keluarganya. Saking dekatnya, dia mendapat tambahan nama Nusantara, dan dengan bangga memakai nama itu. "Bung Karno memberi pengaruh besar terhadap diri saya," kata Andrzej.

1 1 1

Nama lengkap saya menjadi Andrzej Nusantara Wawrzyniak (dia menunjukkan sebuah katalog yang di bagian bawah kata pengantar tertera nama lengkapnya). Kartu nama saya juga memakai kata itu. Kata "Nusantara" membuat saya makin dikenal oleh orang-orang Indonesia. Itu pemberian langsung Bung Karno dan selalu saya gunakan sampai sekarang.

Dengan Bung Karno, saya seperti anggota keluarga. Saya terus berkomunikasi dengan Bung Karno saat ia sakit. Sampai akhirnya beliau meninggal pada 21 Juni 1970 karena menderita gagal ginjal. Kalau dengan Presiden Soeharto saya kenal, tapi tidak terlalu dekat. Ya, dia berbeda dengan Bung Karno.

Pengalaman bersama Bung Karno saya jalin dengan penuh persahabatan. Saya banyak belajar kepada Bung Karno. Dia guru bahasa Indonesia saya dan tempat saya belajar memahami kebudayaan Indonesia. Kedekatan dengan keluarga Bung Karno karena saya sering berkunjung ke Istana dan mengenal anak-anaknya.

Megawati Soekarnoputri, waktu itu usianya sekitar 13 tahun, saya sudah mengenalnya bersama saudara-saudaranya. Ketika berkunjung ke Polandia, dia panggil saya Om. "Hello, Om Andrzej...." (Megawati datang ke Polandia pada 2003 saat menjadi presiden.)

Saya juga kenal Ibu Sukarmini Wardoyo. Dia tante Megawati. Sebagai kakak kandung Bung Karno, Ibu Wardoyo sangat dekat dengan saudara Megawati, seperti Guntur, Sukmawati, Rachmawati, dan Guruh. Mereka semua mengenal saya, karena saya sudah seperti anggota keluarga.

Bung Karno menginspirasi saya dalam masalah budaya. Dia kolektor banyak lukisan dari perupa-perupa terkenal. Dia juga akrab dengan banyak budayawan dan sastrawan. Bung Karno yang mendorong saya mengoleksi benda seni selain pusaka dan senjata. Karena itu, saya mengumpulkan topeng, wayang golek, wayang kulit, boneka teater, keramik, seni pahat, dan masih banyak lagi.

Saya juga mengoleksi mainan tradisional anak-anak Indonesia, seperti congklak dan peralatan tari jatilan. Saya juga rajin mengumpulkan patung kayu dan batu, kain batik, songket, ikat, baju, dan perhiasan tradisional. Miniatur rumah adat Minangkabau, rumah khas suku Bugis, serta ukiran khas Yogyakarta ada semua. Ada pula lukisan, gambar, dan grafik.

1 1 1

Menurut Andrzej, hubungan Indonesia dengan Polandia melalui seni budaya sudah terjalin lama. Dalam katalog Museum Asia dan Pasifik terbitan 2003 disebutkan, interaksi seniman Polandia dan Indonesia terjalin sebelum Perang Dunia II berakhir. Hal ini dibuktikan dengan adanya perupa Polandia bernama Czeslaw Mystkowski, yang meninggal di Jakarta pada 1938. Selama di Indonesia, dia menikmati keindahan Bali dan Jawa, yang dijadikan obyek lukisannya.

Salah satu karyanya, Potret Wanita Bali, menghiasi dinding kantor Andrzej Wawrzyniak. Selain Mystkowski, seniman Polandia beberapa kali menggelar pameran yang diilhami oleh kebudayaan dan keindahan alam Indonesia. Misalnya seniman Riman Oplako, Jozep Kulesza, dan Elzbieta Szolomiak, yang menyelenggarakan pameran di museum Andrzej. Karya mereka juga masuk koleksi Galeri Nasional di Jakarta.

Bahkan, bila menengok lebih jauh ke belakang, seni lukis berciri khas Eropa mulai bermunculan di Jawa pada abad ke-17, menyusul kedatangan kolonial Belanda ke Nusantara. Banyak pelukis Eropa bekerja menjadi pegawai pemerintah Belanda ataupun sebagai pedagang. Mereka antara lain pelukis dokumenter, yang umumnya tertarik pada pemandangan alam Indonesia yang indah.

Kedatangan seniman Eropa mendapat respons perupa pribumi. Salah satunya Raden Saleh (1807-1880). Dia kemudian dikenal sebagai perintis seni rupa Indonesia yang tertarik pada kesenian Eropa. Pernah tinggal di Belanda selama bertahun-tahun, Raden Saleh menikmati karya-karya pelukis romantik, seperti Eugène Delacroix. Kemudian disusul Basoeki Abdullah (1915-1992), yang dikenal pelukis wanita cantik dan bangsawan.

Dalam buku Indonesian Painting, Wakil Direktur Museum Asia dan Pasifik Warsawa Joanna Wasilewska menjelaskan, setelah Perang Dunia II, kehidupan berkesenian di Indonesia tumbuh pesat. Banyak perkumpulan pencipta seni, selain berkarya, memiliki program berkaitan dengan sikap politik, terutama pada ideologi nasionalisme dan komunisme.

Pada 1950-an, sebuah akademi seni rupa didirikan di Yogyakarta, yang merupakan kelanjutan dari cita-cita bangsa Indonesia yang antikolonialisme. Tiga tahun sebelum Akademi Seni Rupa Yogyakarta berdiri, ada Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung. Tapi peranan khusus fakultas ini baru mulai kelihatan pada 1960-an.

1 1 1

Sebelum ke Indonesia, saya bertugas selama empat tahun di Vietnam. Mulai 1956 sampai 1960, saya menjadi anggota Komisi Supervisi dan Pengawasan Internasional untuk Vietnam. Setahun kemudian tiba di Jakarta dan tinggal di Jalan Teluk Betung, Menteng. Setelah tidak bertugas di Indonesia, hampir setiap tahun saya me­ngunjungi Indonesia, yang sudah menjadi rumah kedua saya.

Di sini saya berkenalan dengan sejumlah seniman dan budayawan. Di antara sahabat itu ada seniman muda. Namanya Nyo­man Gunarsa, yang kemudian menjadi salah satu pelukis terkenal. Bersama dia pernah bikin pameran pada 1970. Nyoman Gunarsa adalah pelukis sekaligus ahli grafis dan pencipta lukisan tradisional. Saya mengoleksi 127 buah karya pelukis Bali itu.

Mempunyai banyak sahabat membuat saya makin giat berburu berbagai benda seni. Saya mengoleksi karya pelukis hebat, seperti Affandi, S. Sudjojono, Hendra Gunawan, Mochtar Apin, Battara Lubis, Srihadi Sudarsono, dan Yap Hian Tjay.

Dari persahabatan dengan banyak orang di Indonesia, koleksi lukisan saya terus bertambah. Hingga akhirnya jumlahnya mencapai 350 buah. Koleksi lukisan ini bisa disebut kumpulan karya perupa pada 1950-an, 1960-an, dan 1970-an. Di antaranya Potret Wanita dan Potret Ni Lussudi karya Tatang Ganar pada 1961 dan 1962 serta lukisan Gadis Bali karya Dullah pada 1962.

Karya Nyoman Gunarsa adalah lukisan Semar dan Dalang dan Petruk. Ada juga lukisan Mara Karya berjudul Wanita Jawa, yang dibuat pada 1967. Koleksi lukisan Ladang di Jawa Barat karya perupa kelahiran 1928, Yap Hian Tjay, juga masuk daftar koleksi Museum Asia dan Pasifik di Warsawa.

Elik Susanto (Warsawa)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus