Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Diplomat, Teman Para Seniman, dan Wartawan

26 Agustus 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bukan cuma birokrat dan diplomat yang dikenal Andrzej Wawrzyniak. Semasa bertugas di Indonesia, dia suka bergaul dengan kalangan budayawan. Perkenalannya dengan mereka tidak hanya di Jakarta, tapi juga di sejumlah di daerah.

Pada 1963 dan 1964, misalnya, secara berturut-turut Andrzej menghadiri acara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) di Sumatera Utara. "Saat itu saya bertemu dengan penulis novel hebat Pramoedya Ananta Toer dan sineas Sjumandjaja."

Andrzej melanjutkan, "Sahabat saya yang ada mungkin masih banyak, tapi saya lupa nama mereka. Mereka dari berbagai profesi." Berikut ini penutur­an Amarzan Loebis dan Aristides Katoppo, dua wartawan senior yang mengenal Andrzej.

Amarzan Loebis

Saya berkenalan dengan Andrzej pada awal 1963. Saya masih di Medan ketika itu. Dia menjabat Sekretaris 1 Kedutaan Besar Polandia di Indonesia dengan kedudukan di Jakarta. Dia datang ke Medan mungkin dalam rangka menyambangi kantor Konsulat Polandia di Medan. Waktu itu hubungan Indonesia dengan negara-negara Eropa Timur (sosialis) sedang mesra-mesranya.

Ketika itulah, awal 1963, saya diminta pengurus Badan Hubungan Kebudayaan Indonesia-Uni Soviet (BHKIS) Sumatera Utara mendampingi seorang diplomat Polandia yang akan meninjau beberapa tempat di Sumatera. Selain saya, ada satu lagi yang mendampingi dia, yaitu Payung Bangun, Ketua Pertindo Sumatera/Ketua BHKIS Sumatera Utara/anggota DPR.

Saya tentu saja bangga diminta mendampingi seorang diplomat Eropa Timur bersama Payung Bangun, tokoh terpandang dan orang berpengaruh di Sumatera Utara. Payung Bangun adalah mantan Panglima Lasykar Harimau Liar yang sangat terkenal dalam perang kemerdekaan di Sumatera Utara.

Usia saya ketika itu baru 22 tahun. Pada tahun itu (1963) memang sedang berlangsung Konferensi Lembaga Sastra Indonesia, bagian dari Lekra. Acara itu setelah kunjungan Andrzej yang pertama. Dia sejak awal sudah tertarik pada Indonesia. Saya tidak tahu kenapa. Dia pernah mengkoordinasi pameran lukisan Indonesia di Warsawa, juga mengusahakan penerjemahan puisi-puisi Indonesia ke bahasa Polandia, di antaranya puisi-puisi saya.

Saya dan Payung Bangun menemani Andrzej mengunjungi dua tempat wisata, yaitu Danau Toba dan Tanah Karo. Di Danau Toba, dia sangat terpesona, sampai bertanya, "Di balik pulau itu (Pulau Samosir) apakah masih ada danau?" Saya bilang, "Namanya juga pulau, artinya dikelilingi air." Kami seharian bersama dan dia tidak punya kesulitan dengan makanan Sumatera Utara.

Setelah saya pindah ke Jakarta, Juni 1963, kami sering bertemu di kantor Lekra. Setelah 1965, hubungan saya dengan Andrzej putus total.

Aristides Katoppo

Pertama kali saya bertemu dengan Andrzej ketika sama-sama mengunjungi pameran lukisan. Saya agak lupa tempat pameran itu, tapi waktu itu acaranya ada di Jakarta sekitar 1963. Saya bersama Umar Kayam (budayawan) dan Onghokham (sejarawan). Saya sudah menjadi wartawan waktu itu. Dalam obrolan, kesan saya orang ini sangat perhatian terhadap Indonesia, terutama dalam urusan kebudayaan.

Presiden Sukarno saat itu memang dihormati oleh orang-orang Eropa Timur, mungkin Andrzej ini salah satu yang mengaguminya. Dia mencintai Indonesia melalui budaya, apalagi Sukarno memang gemar terhadap kebudayaan. Jadi nyambung bila Andrzej dan Sukarno kemudian menjalin persahabatan.

Ketika itu, politik adalah panglima. Umumnya diplomat, apalagi dari Eropa, di mana-mana selalu berbicara tentang politik. Nah, si Andrzej ini lain. Dia sebagai diplomat tapi berusaha membaur melalui kebudayaan, sehingga banyak temannya dari kalangan budayawan, wartawan, dan seniman.

Setelah melihat pameran lukisan, seingat saya, obrolan dilanjutkan sambil minum kopi di sebuah restoran. Andrzej ikut serta. Senangnya ngobrol dengan Andrzej tidak melulu tentang politik. Dia memang senang pada benda seni. Tapi soal keris tidak menjadi pembicaraan secara spesifik.

Saya kira dia mencari benda seni banyak di pasar. Saat itu, banyak benda budaya berharga yang dijual. Sebab, banyak orang butuh duit untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Benda seni waktu itu bisa dijual murah di Pasar Rumput dan Jalan Surabaya, Jakarta.

Dia terlihat menaruh minat bergaul dengan orang-orang Indonesia melalui pendekatan kebudayaan. Tidak kelihatan ideologi komunisme (Polandia ketika itu hingga 1989 dikuasai rezim komunis). Bahkan yang muncul adalah nasionalisme Polandia yang dibungkus dengan kegemarannya menggeluti kebudayaan.

Elik Susanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus