Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Cerita klasik tionghoa

Produser film, the teng chun, merupakan orang pertama membuat film bersuara indonesia. dalam kariernya ia banyak mengangkat cerita klasik tionghoa yang sangat laris di singapura.

12 Maret 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

THE Teng Chun adalah salah seorang produser dan sutradara film Indonesia. Lahir sebagai anak orang kaya. Ayahnya, The Kin le, adalah tauke pengekspor hasil bumi. Tahun 1920 anak Surabaya ini dikirim sang ayah ke AS. Bukan belajar dagang, tapi cara menulis skenario di Palmer Theatre Play, New York. Lima tahun bermukim di sana. Pulangnya, tidak langsung mudik ke Indonesia, tapi mampir di Shanghai. Di Shanghai itulah Teng Chun usul kepada sang ayah untuk putar kayun dunia bisnis: impor film-film Mandarin. Maklum, waktu itu dunia diserang apa yang disebut masa maleise. Sang ayah tidak setuju: dunia bisnis film penuh risiko. Tapi di tahun 1930 pulanglah Teng Chun ke Jakarta. Dibawanya sebuah kamera - yang terbuat dari kayu dan diputar dengan tangan. Setahun kemudian dimulailah produksi filmnya: Boenga Roos dari Tjikembang, sebagai film bicara Indonesia yang pertama. (Dengan judul yang sama, film ini dibuat ulang kembali tahun lalu dengan dibintangi Yatti Octavia). Hasil filmnya yang pertama ini: caci maki pers. Dalam masa perintisan itu, film luar negeri memang lebih sempurna - dan bisa dinikmati di beberapa kota besar di Indonesia. Beberapa cerita klasik Tionghoa kemudian difilmkannya: Sam Pek' Eng Tay, dan di tahun 1935 Ouw Pe Coa (Ular Hitam Ular Putih) yang ternyata laris sekali dan berhasil diekspor ke Singapura. Kira-kira tahun 1937, Teng Chun mulai mengambil cerita biasa. O, Iboe, Gadis Terdjoeal dan Alang-Alang. Film terakhir ini adalah film lokasi luar yang pertama dibintangi oleh M. Mochtar dan Hadijah. Tahun 1940 Teng Chun mendirikan Java Industrial Film Company (JIF). Studio JIF. itu waktu studio termodern dan besar. Dari JIF lahirlah film-film buatannya seperti Matjan Berbisik, Rentjong Atjeh dan Kartinah. Dari situ pula muncul beberapa bintang film: Ratna Asmara (sudah meninggal isteri Suska. juga sudah meninggal), Astaman, Raden Ismail, Tan Tjeng Bok, Inu Perbatasari dan Andjar Asmara. Di zaman Jepang usahanya mandeg. Film buatannya berjudul Nusa Penida dirampas Jepang. Tahun 1950, bersauna Fred Young dia mendirikan studio baru dengan nama Bintang Surabaya. Cuma bertahan sampai tahun 1962: krisis film Indonesia, dan juga Teng Chun mendapat banyak saingan. Akhirnya dia tidak menggasak urusan film lagi. Di rumahnya di jalan Hayam Wuruk 86, Jakarta, Teng Chun menghidupi diri dan keluarganya dengan keahlian lain: buka kursus Inggeris. Di saat-saat Festival Film Indonesia diadakan, The Theng Chun, yang akhirnya berganti nama jadi Tahyar Idris, meninggal dunia: tanggal 26 Pebruari yang lalu. Jasadnya diperabukan di Jelambar. Tidak banyak yang kenal, dan tidak banyak yang mengantar jenazahnya. Konon cuma Soemardjono, itu tokoh dari Majelis Musyawarah Perfilman Indonesia. Kenanglah Teng Chun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus