THE Teng Chun adalah salah seorang produser dan sutradara film
Indonesia. Lahir sebagai anak orang kaya. Ayahnya, The Kin le,
adalah tauke pengekspor hasil bumi. Tahun 1920 anak Surabaya ini
dikirim sang ayah ke AS. Bukan belajar dagang, tapi cara menulis
skenario di Palmer Theatre Play, New York. Lima tahun bermukim
di sana. Pulangnya, tidak langsung mudik ke Indonesia, tapi
mampir di Shanghai.
Di Shanghai itulah Teng Chun usul kepada sang ayah untuk putar
kayun dunia bisnis: impor film-film Mandarin. Maklum, waktu itu
dunia diserang apa yang disebut masa maleise. Sang ayah tidak
setuju: dunia bisnis film penuh risiko.
Tapi di tahun 1930 pulanglah Teng Chun ke Jakarta. Dibawanya
sebuah kamera - yang terbuat dari kayu dan diputar dengan
tangan. Setahun kemudian dimulailah produksi filmnya: Boenga
Roos dari Tjikembang, sebagai film bicara Indonesia yang
pertama. (Dengan judul yang sama, film ini dibuat ulang kembali
tahun lalu dengan dibintangi Yatti Octavia). Hasil filmnya yang
pertama ini: caci maki pers. Dalam masa perintisan itu, film
luar negeri memang lebih sempurna - dan bisa dinikmati di
beberapa kota besar di Indonesia.
Beberapa cerita klasik Tionghoa kemudian difilmkannya: Sam Pek'
Eng Tay, dan di tahun 1935 Ouw Pe Coa (Ular Hitam Ular Putih)
yang ternyata laris sekali dan berhasil diekspor ke Singapura.
Kira-kira tahun 1937, Teng Chun mulai mengambil cerita biasa. O,
Iboe, Gadis Terdjoeal dan Alang-Alang. Film terakhir ini adalah
film lokasi luar yang pertama dibintangi oleh M. Mochtar dan
Hadijah.
Tahun 1940 Teng Chun mendirikan Java Industrial Film Company
(JIF). Studio JIF. itu waktu studio termodern dan besar. Dari
JIF lahirlah film-film buatannya seperti Matjan Berbisik,
Rentjong Atjeh dan Kartinah. Dari situ pula muncul beberapa
bintang film: Ratna Asmara (sudah meninggal isteri Suska. juga
sudah meninggal), Astaman, Raden Ismail, Tan Tjeng Bok, Inu
Perbatasari dan Andjar Asmara.
Di zaman Jepang usahanya mandeg. Film buatannya berjudul Nusa
Penida dirampas Jepang. Tahun 1950, bersauna Fred Young dia
mendirikan studio baru dengan nama Bintang Surabaya. Cuma
bertahan sampai tahun 1962: krisis film Indonesia, dan juga Teng
Chun mendapat banyak saingan. Akhirnya dia tidak menggasak
urusan film lagi. Di rumahnya di jalan Hayam Wuruk 86, Jakarta,
Teng Chun menghidupi diri dan keluarganya dengan keahlian lain:
buka kursus Inggeris.
Di saat-saat Festival Film Indonesia diadakan, The Theng Chun,
yang akhirnya berganti nama jadi Tahyar Idris, meninggal dunia:
tanggal 26 Pebruari yang lalu. Jasadnya diperabukan di Jelambar.
Tidak banyak yang kenal, dan tidak banyak yang mengantar
jenazahnya. Konon cuma Soemardjono, itu tokoh dari Majelis
Musyawarah Perfilman Indonesia. Kenanglah Teng Chun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini