TIBA-TIBA, dua pekan lalu Mahkamah Agung (MA) buka suara.
Instansi ini bicara tentang Undang-Undung Perkawinan gugatan
terhadap penguasa serta soal penahanan. Paling ramai adalah soal
yang belakangan.
Dalam Surat Edaran (SE) No 2 tahun 1977 lembaga peradilan
tertinggi republik itu menganjurkan supaya para hakim tidak
menghitung masa penahanan oleh Kopkamtib/Laksusda sebagai
bagian waktu tahanan sementara, yang akan dikurangkan dari
jumlah lama hukuman keseluruhannya. Katakanlah si Codet sudah
mendekam di tahanan Kopkamtib/Laksusda selama 10 tahun. Kemudian
pengadilan, setelah masa 10 tahun itu mengadilinya. Begini
begitu, sehingga jatuhnya vonis penjara 13 tahun potong
tahanan. Maka Codet, dalam pengertian selama ini. Hanya
tinggal menjalani masa hukuman yang 3 tahun lagi, yakni 13 tahun
dikurangi 10. Tapi dengan SE 25 Pebruari itu, diharapkan tidak
demikian. Jadi dalam hal Codet. setelah vonis maka dia harus
kembali ke penjara alias lembaga pemasyarakatan untuk 13 tahun
penuh. Penahanan oleh Kopkamtib/Laksusda tidak dihitung.
Penahanan Kopkamtib tak sah? Surat edaran yang khusus
mengatur tahanan (sementra) G 30 S PKI itu tak berkata
demikian. SE yang diteken langsung oleh Ketua MA. Oemar Seno Aji
itu mula-mula menjelaskan tentang adanya dua macam penahanan.
Pertama penahanan sementara yang dapat diperhitungkan dengan
hukuman pidana, disebutnya tahanan yustisil atau represif. Ini
diatur dalam KUHP dan Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB
d/h HIR). Kedua penahanan "untuk keamanan dan ketertiban yang
tidak merupakan tahanan sementara yustisil (represif)".
Kewenangan ini sepenuhnya berada di tangan Kopkamtib/Laksusda,
khusus untuk perkara-perkara G 30 S/PKI. Dasar hukumnya Tap MPR
No. X/MPR/1973 yo. Keppres No. 9/1974.
MA tetap mengakui adanya kewenangan hakim untuk menafsirkan
pengertian tentang tahanan dengan turut memperhitungkan masa
penahanan Kopkamtib di atas. Dalam hal Codet, seorang hakim yang
memuliakan keadilan umumnya merasa tepat apabila Codet tinggal
menjalani masa yang 3 tahun lagi. Namun demikian, sambung
bagian terakhir dari SE tersebut. Karena masalah tersebut masih
problematis sifatnya dan masih perlu dipastikan akan
kebenarannya oleh Mahkamah Agung dalam tingkatan kasasi,
dimintakan kepada Saudara-Saudara Hakim untuk tidak
mempergunakan penafsiran demikian".
Kan Kacau
Begitulah: penahanan Kopkamtib itu rupanya masih ada soal atau
problematis. Tapi kalau toh kepastian akan kebenarannya kelak
akan diputuskan oleh MA dalam bentuk putusan kasasi - mengapa
MA harus repot-repot mengeluarkan Sk tersebut? Tak ada
putusan peradilan di Indonesia ini yang tak bermuara ke
Mahkamah Agung.
Sebab, problematis atau apapun namanya, bagi seorang tersangka
yang disertai penahanan - apalagi bertahun-tahun - adalah
periode yang tidak normal bagi kemerdekaan pribadinya. Padahal
semua bentuk penahanan itu, seperti dikatakan Adnan Buyung
Nasution merupakan satu pengertian, dalam rangka proses menuju
peradilan. Kaskopkamtib Sudomo kepada TEMPO pekan lalu pun
menegaskan: Pokoknya penahanan oleh Kejaksaan dan Laksus itu
sama saja, dua- duanya akan diajukan ke pengadilan. Tapi Sudomo
juga mencatakan bahwa Kopkamtib atau Laksus memang tidak
mencampuri proses secara langsung, "sifatnya 'tut wuri
handayani' saja". Iapun mengembalikan kepada asal muasal
penahanan orang-orang G 30 S/ PKI tersebut. "Kalau dilepas siapa
yang bisa jamin? Kan kacau? Ini persoalan pokoknya", ujar
Sudomo.
Polisi Kehutanan
Sementara itu seorang hakim di Jakarta merasa belum faham betul
akan SE tersebut. "Saya paling anti PKI", kata hakim yang minta
tak disebut nama itu, "tapi sebagai manusia saya merasa
perlakuan terhadap mereka itu kurang sepatutnya". Seorang hakim,
betapapun, tidak harus merasa dirinya terikat oleh suatu Surat
Edaran, karena SE tersebut hanya memuat anjuran dan permintaan.
Tapi hakim tersebut menilai adanya unsur komando dalam SE yang
satu ini. Menurutnya ini akan menyempitkan gerak hakim dalam
mengemukakan keyakinan dirinya sendiri yang memang jadi salah
satu faktor utama dalam memutus perkara.
Beraneka ragamnya bentuk penahanan sudah lama dirasakan. Dan
kalau hakim diminta MA untuk membeda-bedakan hal itu, maka akan
ada penahanan Hansip, penahanan Polisi Kehutanan dan lain-lain -
seperti kata Buyung. Hukum mungkin tak suka pada praktek
tersebut dan petinggi-petinggi hukum bisa menilai kenyataan itu
sebagai "problematis". Yang terang warga masyarakat tak kurang
yang merasakannya. Kalau azas pidana masih tetap dianut - bahwa
dalam beberapa hal yang tidak jelas. Kepada tertuduh harus
diterapkan yang menguntungkannya maka siksaan hilang kemerdekaan
hendaknya tak dianggap mubazir saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini