Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Derita Yang Mubazir

MA mengeluarkan surat edaran. Isinya, hakim jangan menghitung masa penahanan kopkamtib/laksusda dalam menjatuhkan vonis. Ada hakim yang menilai surat edaran tersebut akan mempengaruhi kebebasan hakim.

12 Maret 1977 | 00.00 WIB

Derita Yang Mubazir
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
TIBA-TIBA, dua pekan lalu Mahkamah Agung (MA) buka suara. Instansi ini bicara tentang Undang-Undung Perkawinan gugatan terhadap penguasa serta soal penahanan. Paling ramai adalah soal yang belakangan. Dalam Surat Edaran (SE) No 2 tahun 1977 lembaga peradilan tertinggi republik itu menganjurkan supaya para hakim tidak menghitung masa penahanan oleh Kopkamtib/Laksusda sebagai bagian waktu tahanan sementara, yang akan dikurangkan dari jumlah lama hukuman keseluruhannya. Katakanlah si Codet sudah mendekam di tahanan Kopkamtib/Laksusda selama 10 tahun. Kemudian pengadilan, setelah masa 10 tahun itu mengadilinya. Begini begitu, sehingga jatuhnya vonis penjara 13 tahun potong tahanan. Maka Codet, dalam pengertian selama ini. Hanya tinggal menjalani masa hukuman yang 3 tahun lagi, yakni 13 tahun dikurangi 10. Tapi dengan SE 25 Pebruari itu, diharapkan tidak demikian. Jadi dalam hal Codet. setelah vonis maka dia harus kembali ke penjara alias lembaga pemasyarakatan untuk 13 tahun penuh. Penahanan oleh Kopkamtib/Laksusda tidak dihitung. Penahanan Kopkamtib tak sah? Surat edaran yang khusus mengatur tahanan (sementra) G 30 S PKI itu tak berkata demikian. SE yang diteken langsung oleh Ketua MA. Oemar Seno Aji itu mula-mula menjelaskan tentang adanya dua macam penahanan. Pertama penahanan sementara yang dapat diperhitungkan dengan hukuman pidana, disebutnya tahanan yustisil atau represif. Ini diatur dalam KUHP dan Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB d/h HIR). Kedua penahanan "untuk keamanan dan ketertiban yang tidak merupakan tahanan sementara yustisil (represif)". Kewenangan ini sepenuhnya berada di tangan Kopkamtib/Laksusda, khusus untuk perkara-perkara G 30 S/PKI. Dasar hukumnya Tap MPR No. X/MPR/1973 yo. Keppres No. 9/1974. MA tetap mengakui adanya kewenangan hakim untuk menafsirkan pengertian tentang tahanan dengan turut memperhitungkan masa penahanan Kopkamtib di atas. Dalam hal Codet, seorang hakim yang memuliakan keadilan umumnya merasa tepat apabila Codet tinggal menjalani masa yang 3 tahun lagi. Namun demikian, sambung bagian terakhir dari SE tersebut. Karena masalah tersebut masih problematis sifatnya dan masih perlu dipastikan akan kebenarannya oleh Mahkamah Agung dalam tingkatan kasasi, dimintakan kepada Saudara-Saudara Hakim untuk tidak mempergunakan penafsiran demikian". Kan Kacau Begitulah: penahanan Kopkamtib itu rupanya masih ada soal atau problematis. Tapi kalau toh kepastian akan kebenarannya kelak akan diputuskan oleh MA dalam bentuk putusan kasasi - mengapa MA harus repot-repot mengeluarkan Sk tersebut? Tak ada putusan peradilan di Indonesia ini yang tak bermuara ke Mahkamah Agung. Sebab, problematis atau apapun namanya, bagi seorang tersangka yang disertai penahanan - apalagi bertahun-tahun - adalah periode yang tidak normal bagi kemerdekaan pribadinya. Padahal semua bentuk penahanan itu, seperti dikatakan Adnan Buyung Nasution merupakan satu pengertian, dalam rangka proses menuju peradilan. Kaskopkamtib Sudomo kepada TEMPO pekan lalu pun menegaskan: Pokoknya penahanan oleh Kejaksaan dan Laksus itu sama saja, dua- duanya akan diajukan ke pengadilan. Tapi Sudomo juga mencatakan bahwa Kopkamtib atau Laksus memang tidak mencampuri proses secara langsung, "sifatnya 'tut wuri handayani' saja". Iapun mengembalikan kepada asal muasal penahanan orang-orang G 30 S/ PKI tersebut. "Kalau dilepas siapa yang bisa jamin? Kan kacau? Ini persoalan pokoknya", ujar Sudomo. Polisi Kehutanan Sementara itu seorang hakim di Jakarta merasa belum faham betul akan SE tersebut. "Saya paling anti PKI", kata hakim yang minta tak disebut nama itu, "tapi sebagai manusia saya merasa perlakuan terhadap mereka itu kurang sepatutnya". Seorang hakim, betapapun, tidak harus merasa dirinya terikat oleh suatu Surat Edaran, karena SE tersebut hanya memuat anjuran dan permintaan. Tapi hakim tersebut menilai adanya unsur komando dalam SE yang satu ini. Menurutnya ini akan menyempitkan gerak hakim dalam mengemukakan keyakinan dirinya sendiri yang memang jadi salah satu faktor utama dalam memutus perkara. Beraneka ragamnya bentuk penahanan sudah lama dirasakan. Dan kalau hakim diminta MA untuk membeda-bedakan hal itu, maka akan ada penahanan Hansip, penahanan Polisi Kehutanan dan lain-lain - seperti kata Buyung. Hukum mungkin tak suka pada praktek tersebut dan petinggi-petinggi hukum bisa menilai kenyataan itu sebagai "problematis". Yang terang warga masyarakat tak kurang yang merasakannya. Kalau azas pidana masih tetap dianut - bahwa dalam beberapa hal yang tidak jelas. Kepada tertuduh harus diterapkan yang menguntungkannya maka siksaan hilang kemerdekaan hendaknya tak dianggap mubazir saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus