Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MESKI sama sekali tidak mengerti bahasa Jawa, Enisa, mahasiswi pascasarjana di Bandung, menggemari lawakan Kartolo. Mojang Priangan ini mengenal Kartolo dalam sebuah pentas di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, beberapa waktu lalu. Ia turut suaminya yang berasal dari Salatiga, Jawa Tengah, nonton Kartolo. Jika orang tertawa, ia buru-buru meminta suaminya menerjemahkan. "Apa dia bilang?" Enisa meminta suaminya menerjemahkan dialog yang membuat penonton tertawa. Setelah suaminya menerjemahkan, ia baru tertawa.
Meski telat tertawa, Enisa meminta suaminya kembali menerjemahkan saban orang-orang tergelak. Awalnya sang suami menuruti. Tapi, lama-kelamaan, Enisa "diusir" karena suaminya merasa terganggu.
Enisa menyukai Kartolo. Baginya, tampang lucu dan logat medok Kartolo saja sudah menggelikan. Apalagi jika ia diberi tahu arti lawakannya. Jika tak menonton langsung, Enisa menemani suaminya menonton Kartolo di televisi. "Ke mana sekarang, kok enggak main lagi di TVRI?" Ia mencari-cari.
Penggemar Kartolo memang bukan hanya orang Jawa Timur. Pesanan manggung datang dari mana-mana. Kartolo bersama teman-temannya—Sokran, Baseman, Kastini, dan Sapari—yang tergabung dalam Ludruk Sawunggaling biasa menggelar pentas di Jakarta hingga ke Batam, Berau, Bontang, dan Balikpapan. Menurut Kartolo, hanya pentas di Jayapura yang tidak dilayani. Itu pun karena alasan ongkos yang kelewat mahal untuk biaya transpor bagi mereka berlima.
Dari mana order itu berasal? "Mereka mengaku tahu Kartolo cs dari kaset saya yang diputar di radio-radio," ujar Kartolo saat ditemui di rumahnya di Surabaya pada awal Juni lalu.
Kaset rekaman adalah lompatan besar bagi kelompok Sawunggaling, yang saat itu cuma ludruk tobong. Sebelumnya, Kartolo cs hanya berpentas dari kampung ke kampung, dari hajatan ke hajatan. Sawunggaling masuk dapur rekaman pada 1980 atas ajakan bos Nirwana Record, Surabaya, Nelwan Subuhadi.
Kartolo mengatakan Nelwan sebenarnya hanya "berjudi" saat menawari mereka rekaman. Apabila album pertama mereka sukses, akan ada rekaman-rekaman berikutnya. Tapi, jika sebaliknya, rekaman itu akan jadi yang pertama dan terakhir. Nelwan berpesan agar Sawunggaling tidak menyisipkan lawakan berbau pornografi dan politik.
Tak dinyana, album pertama mereka, Welut Ndas Ireng (Belut Berkepala Hitam), meledak di pasar. Nelwan menepati janjinya. Sawunggaling keluar-masuk studio Nirwana. Mereka satu dapur rekaman dengan penyanyi nyentrik asal Surabaya, Gombloh, yang populer berkat album Kugadaikan Cintaku.
Sawunggaling terus rekaman. Kunci suksesnya, menurut Kartolo, tak ada materi lawakan yang sama dalam setiap album. "Supaya tidak garing dan tidak basi bila diputar beberapa tahun berikutnya," kata Kartolo. Agar tidak monoton, ia mengajak bintang tamu pelawak kondang, di antaranya Marlena, Blontang, Markeso, dan Kardjo AC-DC.
Lawakan Sawunggaling dipastikan lucu dengan mengetesnya di studio. Tiap banyolan harus bisa membuat orang-orang di studio tertawa. Tawa para pemain karawitan dimanfaatkan dan dimasukkan ke rekaman agar suasana menjadi meriah. "Ketika kasetnya diputar di tengah pasar, umpamanya, seisi pasar bisa ikut-ikutan tertawa," ujar Kartolo.
Sukses di dapur rekaman, laris pula pentas off air. Itulah puncak kejayaan Kartolo dan kawan-kawan. Dalam satu bulan, mereka bisa menerima pesanan pentas sampai 21 kali. Tak jarang ada pemesan yang rela memundurkan jadwal hajatan demi menunggu giliran.
Itu belum terhitung undangan sebagai bintang tamu di Ketoprak Siswo Budoyo, ketoprak tobong yang sedang populer kala itu, ataupun mengisi program siaran lawakan di TVRI Surabaya saban pekan. Sesekali grup ludruk yang sedang main di sebuah daerah ngebon Kartolo cs untuk menarik minat penonton. "Jadwal pentas kami padat sekali," katanya.
Rekaman dihentikan ketika mereka sudah memproduksi 112 kaset pada 1990-an. Saat itu Sokran meninggal. Lalu Basman—ayah Kastini dan mertua Kartolo—menyusul pada 1995. Tanpa Sokran dan Basman, jumlah penggemar mereka menyusut. Meski begitu, Kartolo memutuskan tidak mencari pengganti dan tetap bertahan hanya dengan sisa tiga personel. Perusahaan rekaman juga menilai secara bisnis penggemar kasetnya mulai berkurang seiring dengan munculnya stasiun-stasiun televisi swasta.
Tak lagi rekaman, panggilan manggung masih ramai, meski tak sederas dulu. Kalangan pemesannya pun semakin luas. Sejumlah instansi pemerintah, swasta, dan perorangan mengundang mereka. Tak jarang pengundangnya pejabat sipil dan militer. Namun tak semua panggilan manggung dipenuhi. Kartolo mengukur kemampuan agar tidak mengecewakan pengundang.
Salah satu panggilan yang ditampik adalah dari panitia acara pisah-sambut Panglima Komando Daerah V/ Brawijaya, Jawa Timur, dari Mayor Jenderal Ryamizard Ryacudu ke Mayor Jenderal Sudi Silalahi. Kartolo tahu Ryamizard sulit tertawa. "Saya bingung mau melawak apa jika yang saya hibur tidak bisa ketawa," ucap Kartolo.
Maret lalu, Kartolo diminta manggung di acara pesta perak pernikahan salah seorang pensiunan jenderal di sebuah hotel di Surabaya. Tamu yang hadir dalam acara itu antara lain mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto; mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Syamsul Ma'arif; Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut era Presiden Abdurrahman Wahid, Indroko Sastrowiryono; serta Kepala Staf TNI Angkatan Laut di masa Presiden Megawati Soekarnoputri, Bernard Kent Sondakh.
Saat itu Kartolo tampil dalam bahasa Indonesia, termasuk kidungannya. Seusai acara, Djoko Suyanto menanyainya. "Sekarang kok jarang tampil di televisi, Cak Kartolo?" Ternyata Djoko pernah mendengarkan kaset-kasetnya.
Setelah acara itu, Kartolo cs diundang mengisi acara TNI Angkatan Laut di Surabaya, yang dihadiri Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Ade Supandi dan mantan Kepala Staf TNI Angkatan Laut Soeparno. Tak lama berselang, mereka diundang Ade ke Tanjung Priok, Jakarta Utara, untuk menjadi bintang tamu pementasan wayang kulit oleh Ki Dalang Warseno Slank di KRI Banda Aceh. Namun lawakannya kurang sukses karena panitia juga mengundang pelawak Kirun dan Gogon, yang cenderung mendominasi panggung.
Demi Kartolo, pejabat pun bersedia menunda acara. Panitia dari Direktorat Jenderal Pajak memintanya menghibur acara Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi di Malang sepekan sebelum hari-H. Karena tidak ada konfirmasi lagi, Kartolo mengira panitia batal mengundangnya. Namun tiba-tiba panitia menanyainya sudah sampai di mana perjalanannya. Kartolo, yang sedang leyeh-leyeh di rumah, kebingungan.
Panitia ngotot agar ia berangkat saat itu juga karena sudah ditunggu Dirjen. Dirjen bersedia menunda acara selama dua jam asalkan dia datang. Agar Kartolo bisa tiba dalam dua jam, panitia meminta polisi patroli mengawalnya. "Pak Ken sendiri yang menyambut kami."
Kartolo juga pernah berkolaborasi dengan beberapa musikus, di antaranya dengan Iwan Fals di Stadion Jenggolo, Sidoarjo, Jawa Timur. Di panggung, Iwan mengajaknya ngidung. Lainnya adalah beberapa musikus jazz yang manggung bersama di acara Jazz Traffic Festival, Surabaya.
Meski kondang, Kartolo masih minder. Pada 2012, ia diajak Butet Kertaradjasa bermain dalam ludruk musikal Kartolo mBalelo di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Ia sepanggung bersama Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu, Mahfud Md. Seusai pentas, Titiek Puspa, Miing Bagito, dan Slamet Rahardjo, yang menonton pementasan itu, mencarinya di belakang panggung. Tapi ia ngumpet karena tak pede. "Wong cuma seniman tradisional kok dicari orang-orang top," ujarnya. Ia pun menolak bertemu dengan para pesohor itu.
Hingga kini, lawakan Kartolo masih laku di semua kalangan. Ia yakin semuanya karena rekaman yang dipublikasikan secara luas oleh media. Karena itu, ia tetap merasa beruntung meski tidak pernah menerima dan meminta royalti kepada Nirwana Record. Baginya, rekaman lebih dari seratus kaset adalah investasi nama yang keuntungannya ia raih hingga sekarang. "Tanpa rekaman kaset, barangkali nasib saya sebagai pemain ludruk tobong tidak berubah," katanya.
Hanya, Kartolo menyesalkan orang-orang yang mendokumentasikan aksi panggungnya dan mengunggahnya di YouTube tanpa izin. Ada pula yang merekamnya dalam cakram padat dan dijual. "Karya saya dicuri orang-orang tak bertanggung jawab," tuturnya. ENDRI KURNIAWATI, KUKUH S. WIBOWO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo